Angin Segar untuk Pasar Modal di Tengah Ancaman Naiknya Risiko

Setsiri Silapasuwanchai/123rf
Penulis: Safrezi Fitra
9/11/2018, 09.30 WIB

Pasar modal Indonesia mulai bergairah. Investor asing mulai memborong portofolio saham dan obligasi  di Indonesia. Prediksinya, fenomena  ini akan terus berlanjut di tahun politik 2019. Meski arus modal asing mulai masuk kembali, tekanan dari naiknya risiko investasi masih membayangi.

Dalam beberapa pekan terakhir, investor asing mulai memborong saham di pasar modal Indonesia. Berdasarkan data RTI, dalam sepekan terakhir investor asing mencatatkan beli bersih (net buy) sebesar Rp 4,99 triliun. Total net buy dalam sebulan mencapai Rp 8,1 triliun. Meski belum bisa mengimbangi total jual bersih (net sell) asing sejak awal tahun yang mencapai Rp 47,99 triliun, setidaknya ini menjadi awal yang baik di penghujung tahun.

Sejak 19 Oktober lalu, dana asing mulai mengalir deras ke surat utang negara (SUN). Aliran dana yang masuk nyaris mencapai Rp 20 triliun per 5 November 2018. Arus masuk disebut-sebut imbas beragam faktor, yaitu kian menariknya SUN seiring harga yang murah dan tawaran imbal hasil (yield) tinggi, kuatnya kondisi ekonomi domestik, hingga meredanya intensi perang dagang.

Arus modal asing diprediksi akan kembali masuk ke pasar obligasi maupun pasar saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, seiring dengan meredanya tekanan di pasar finansial pada kuartal IV-2018. Indikasi ini terlihat dari pembelian bersih (net buy) investor asing di bursa saham sebesar Rp 1,3 triliun dan di pasar obligasi sebesar Rp 5,86 triliun sepanjang pekan lalu.

(Baca: Kuartal IV 2018, Arus Modal Asing Kembali ke Pasar Negara Berkembang)

Di tengah sentimen global dan domestik, Morgan Stanley memberi rekomendasi overweight ke Indonesia. Lembaga keuangan internasional ini menyarankan kliennya memperbesar portofolio investasinya di Indonesia, ketimbang negara-negara emerging market lainnya. Rekomendasi yang dirilis dalam laporan berjudul “Indonesia:the Case for Outperfomance, Going OW” Senin (5/11) ini menjadi salah satu faktor yang turut membuat indeks saham (IHSG) menguat belakangan ini, bahkan nyaris menyentuh 6.000 pada perdagangan kemarin (9/11).

Arus keluar modal (capital outflow) asing dari pasar saham Indonesia terjadi lebih cepat dalam 11 bulan dibandingkan negara-negara berkembang. Sejak pertengahan 2017, arus dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia mencapai US$ 7,7 miliar. Kepemilikan asing pada saham mengambang (free-float) indeks MSCI Indonesia juga turun dari 75% menjadi 72,5% atau setara US$ 65 miliar. Ini membuka peluang investor asing kembali menambah portofolionya di Indonesia.

(Baca juga: Investor Asing Belanja Saham Rp 1,1 Triliun, IHSG Makin Dekati 6.000)

Langkah-langkah yang diambil pemerintah secara moneter maupun fiskal dinilai positif. Beberapa diantaranya, langkah BI yang menggeser arah kebijakannya dari pertumbuhan menjadi kestabilan ekonomi, menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin, dan kelonggaran kredit sektor properti. Kemudian kebijakan pemerintah mengurangi impor dengan mewajibkan penggunaan 20%  biodiesel, menaikkan tarif impor untuk 1.000 barang, dan menunda sejumlah proyek infrastruktur.

Analis Morgan Stanley Asia Sean Gardiner menyebut pertumbuhan positif juga tampak pada barang konsumsi dan pinjaman di tengah dinamika ekonomi global sepanjang tahun ini. Dampaknya, para investor memandang pasar saham Indonesia sangat prospektif di bandingkan saham-saham di emerging market lainnya.

Indeks saham Morgan Stanley (MSCI) Indonesia diprediksi akan naik, setidaknya 7% dari dari posisi saat ini, ke level 6.906 di akhir tahun. Pada 2019 indeks MSCI Indonesia berpeluang tumbuh 11% dengan potensi pertumbuhan laba saham mencapai 14%. (Baca juga: Kuartal III, Laba Bersih 519 Perusahaan Terbuka Capai Rp 244 Triliun)

Saham sektor perbankan dan telekomunikasi menjadi yang paling diminati. Saham perbankan bakal terdongkrak oleh pertumbuhan kredit yang positif. Sementara saham telekomunikasi bangkit seiring berakhirnya perang tarif dan makin tingginya penggunaan data mobile. Sedangkan saham sektor material dan bahan baku tergolong underweight hingga tahun depan.

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan arus modal asing akan kembali masuk ke Indonesia, seiring sentimen investor terhadap negara emerging market semakin baik. Valuasi pasar negara berkembang juga sudah murah dan menambah keyakinan investor bahwa fundamental ekonomi Indonesia stabil.

(Baca: Aliran Masuk Dana Asing dan Penguatan Rupiah Diuji Jelang Akhir Tahun)

Meski terseret sentimen negatif, Indonesia masih menunjukkan indikator ekonomi yang relatif kuat. Penerimaan pajak yang hingga September lalu tumbuh 17%, mengindikasikan pemerintah masih mampu membiayai anggaran negara secara internal. Di samping itu, data domestik seperti penjualan mobil dan motor membaik dan kredit perbankan per September 2018 juga tumbuh 12,6% dari periode yang sama tahun lalu.

Valuasi bursa saham di Indonesia dianggap murah karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah terkoreksi 7,07% sejak awal tahun. Sementara, imbal hasil (yield) obligasi rata-rata mencapai 8,29% per tahun. Berdasarkan data RTI, penurunan IHSG lebih baik dibandingkan Indeks Komposit Bursa Shanghai yang longsor 20,4% dan Indeks Strait Times Singapura yang anjlok 10,78% pada periode yang sama.

“Koreksi di pasar saham yang cukup dalam membuat valuasi IHSG dan saham menjadi menarik. Investor pun mulai kembali untuk masuk ke pasar saham dan obligasi,” kata Budi, Senin (5/11).

(Baca: Kurs Rupiah Menguat Lagi ke Level Rp 14.000 Berkat Pasar Valas Berjangka)

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan harga SUN sudah relatif murah bila dibandingkan obligasi negara lain yang kondisi fundamentalnya sama. Kondisi Indonesia yang lebih baik dari negara lain yang setara, juga menjadi faktor yang melatarbelakangi serbuan dana asing ke pasar SUN. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III sedikit di atas ekspektasi. Selain itu, pemberlakuan pasar valas berjangka Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) turut membantu menstabilkan kurs rupiah.

Menurutnya, beberapa faktor global akan turut mendorong arus masuk dana asing ke pasar modal Indonesia. Pemilihan umum paruh waktu (mid-term election) di AS memengaruhi keputusan investor dalam menanamkan dananya, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Perhitungan kami tahun depan (pasar saham dan obligasi Indonesia) relatif lebih baik, apalagi kondisi eksternal dan domestik sudah mendukung," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (7/11). (Baca: Pertama dalam 9 Bulan, Cadangan Devisa Oktober Naik US$ 400 Juta)

Halaman: