Defisit keuangan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terus membesar dan dikhawatirkan akan berdampak pada pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah mencari berbagai cara untuk menyelamatkan keuangan lembaga ini, mulai dari suntikan dana hingga perbaikan sistem manajemen.
Tahun lalu defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,4 triliun. Tahun ini defisit membengkak hingga Rp 16,5 triliun. September lalu, pemerintah memberikan tambahan dana kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 triliun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan dana tersebut sudah habis, satu hari setelah dicairkan. Dana ini sudah disalurkan seluruhnya kepada ribuan rumah sakit di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). "Total Rp 4,9 triliun sudah habis diserap per 29 September 2018. Sekarang berproses masuk tagihan baru," kata Fahmi saat rapat di Gedung DPR, Senin (29/10).
Dana bantuan pemerintah ini memang tidak cukup menambal defisit. Masih ada triliunan rupiah lagi utang yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Belum lagi utang kepada perusahaan farmasi yang hingga Juli lalu tercatat Rp 3,5 triliun. Sementara, ada denda 1% per bulan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan bila telat membayar tagihan kepada para mitranya.
(Baca: Utang Jatuh Tempo Rp 7,2 Triliun, BPJS Kesehatan Butuh Dana Segera)
BPJS Kesehatan dianggap tidak mampu mengelola dana bantuan dari pemerintah untuk menutup defisitnya. Padahal, BPJS dan Kemenkes telah berkomitmen untuk segera melakukan beberapa langkah perbaikan. Hal ini membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram, karena harus turun tangan langsung mengurusi masalah ini.
Bahkan, Jokowi sampai menegur Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dan Fahmi. "Mestinya sudah rampunglah di (tingkat) Menkes, di Dirut BPJS. Urusan pembayaran utang RS (rumah sakit) sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya," kata Jokowi saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta, Rabu (17/10).
Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak bisa seenaknya meminta tambahan dana dari pemerintah. Jokowi pun memperingatkan kondisi ini tidak boleh terulang lagi tahun depan dan meminta BPJS untuk segera memperbaiki sistem manajemen yang ada. Jika sistem telah diperbaiki, pengelolaannya bisa lebih mudah. Dengan begitu, Jokowi yakin BPJS Kesehatan bisa keluar dari masalah defisit keuangan.
(Baca: Jokowi: Nilai Klaim BPJS Kesehatan Terlalu Besar)
Defisit BPJS Kesehatan terjadi karena pendapatan iuran dan dana kelolaannya yang diperoleh lebih kecil dari klaim yang harus dibayarkan. Ada beberapa faktor yang membuat defisit ini terjadi, salah satunya iuran BPJS Kesehatan belum naik sejak 2016. Padahal, dalam Peraturan Presiden Nomor 19 dan 28 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, disebutkan maksimal dalam kurun dua tahun iuran program jaminan kesehatan dievaluasi.
Direktur Pelayanan dan Perluasan Kepesertaan BPJS Kesehatan Andayani Budi Lestari menjelaskan biaya pelayanan rumah sakit yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk tahun lalu, rata-rata Rp 41.240 per orang. Sementara iuran rata-rata per orang hanya Rp 34.766. Artinya BPJS Kesehatan harus nombok Rp 6.474 per orang. Adapun total peserta BPJS Kesehatan tahun ini sebanyak 203 juta orang, targetnya bisa mencapai 250 juta orang pada tahun depan.
(Baca juga: Bola Salju Masalah Defisit Menahun BPJS Kesehatan)
Penerima Besaran Iuran (PBI) atau peserta BPJS yang disubsidi pemerintah hanya Rp 23 ribu per orang. Hasil perhitungan aktuaria dan rekomendasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2016, seharusnya iuran tersebut mencapai Rp 36 ribu per orang. Kemudian peserta yang Bukan Penerima Besaran Iuran (BPBI) kelas II Rp 51 ribu, dari yang seharusnya Rp 63 ribu. Masalahnya, BPJS Kesehatan tidak bisa begitu saja menaikkan besaran iuran. Keputuan mengenai penyesuaian besaran iuran ini berada di tangan Presiden. Sementara Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 yang diterbitkan September lalu, menetapkan besaran iuran PBI tidak naik.
Faktor lain yang membuat pendapatan BPJS Kesehatan rendah adalah sekitar 54% peserta mandiri menunggak iuran. Belum lagi masyarakat yang baru mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan setelah masuk rumah sakit. BPJS Kesehatan harus menanggung biaya kesehatannya, meski peserta tersebut baru membayar satu kali iuran.
Defisit terjadi bukan hanya dari sisi pendapatan, tagihan klaim yang harus dibayarkan pun dianggap terlalu besar. BPJS Watch pernah mengungkapkan adanya kecurangan (fraud) dari pihak rumah sakit mitra BPJS Kesehatan. Mereka diduga menggelumbungkan (mark up) biaya pelayanan rumah sakit dan menggandakan klaim peserta BPJS. Hal ini menyebabkan tagihan kepada BPJS Kesehatan membengkak.
Saat rapat bersama Komisi IX DPR kemarin, Fahmi mengungkapkan pihaknya sudah menyiapkan strategi khusus untuk keluar dari jeratan defisit keuangan. BPJS Kesehatan akan mencari pendanaan dari perbankan melalui program supply chain financing. Program pembiayaan ini diberikan khusus kepada fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan untuk membantu percepatan penerimaan piutang. Saat ini BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 13 perbankan dan 2 perusahaan pembiayaan (multifinance).
(Baca: BPJS Kesehatan Nilai Rujukan Online Memiliki Banyak Keuntungan)
Selain itu, BPJS Kesehatan juga telah mempersiapkan kebijakan dan program yang ditargetkan bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 3 triliun. Beberapa diantaranya adalah perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik. Dengan sistem ini peserta BPJS kesehatan akan memperoleh layanan rumah sakit disesuaikan dengan kompetensi, jarak dan kapasitas rumah sakit tujuan rujukan berdasarkan kebutuhan medis pasien.
Program lainnya adalah mengefisiensikan pengeluaran pada layanan katarak, fisioterapi, dan bayi sehat pada kasus sectio atau persalinan, hingga mengefektifkan audit klaim dan audit medis pada kasus-kasus yang diduga ada kecurangan (fraud). "Kami juga mengembangkan bagaimana memberikan sanksi administrasi bagi peserta non-mandiri yang menunggak iuran," kata Fahmi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2013 sebenarnya sudah mengatur pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk mengatasi Dana Jaminan Sosial Kesehatan bernilai negatif. Ada tiga tindakan khusus tersebut, yakni penyesuaian iuran, pemberian suntikan dana, dan penyesuaian manfaat.
Penyesuaian iuran telah diusulkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat diundang Jokowi ke Istana September lalu. Jokowi menyatakan hal ini masih dipertimbangkan dan dihitung kembali oleh pemerintah. Opsi kedua, pemberian suntikan dana telah diberikan oleh pemerintah. Sementara penyesuaian manfaat, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Dirjampelkes) terkait layanan kesehatan pada pasien katarak, bayi baru lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Dengan demikian, tak ada lagi pembatasan atau penataan manfaat terhadap tiga pelayanan tersebut.
Meski begitu, pemerintah tetap berupaya membantu BPJS Kesehatan keluar dari masalahnya. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan pihaknya telah menyiapkan 6 bauran kebijakan yang bisa menekan defisit keuangan BPJS Kesehatan hingga 2,9 triliun. (Baca: Kemenkeu Siapkan Enam Kebijakan Perkecil Defisit BPJS Kesehatan)
Pertama, intercept atau mencegat tunggakan pemerintah daerah. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil. Dari kebijakan ini, dana masuk ke BPJS Kesehatan ditargetkan mencapai Rp 264 miliar sepanjang 2018. Adapun realisasi sampai dengan Oktober sebesar Rp 229,57 miliar.
Kedua, penggunaan paling sedikit 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) melalui PMK 222 Tahun 2017. Hingga 18 Oktober 2018 penyaluran DBH CHT mencapai Rp 2,22 triliun kepada 354 daerah di 18 provinsi. Targetnya akan bertambah Rp 750 miliar lagi sampai akhir tahun ini. Pemanfaatan dana tersebut diharapkan bisa berkontribusi dalam menekan besarnya nominal klaim.
Ketiga, efisiensi dana operasional BPJS berdasarkan PMK Nomor 209 Tahun 2017. Perhitungan Kemenkeu efisiensinya bisa mencapai Rp 198 miliar. Keempat, percepatan pencairan dana iuran peserta BPJS Kesehatan kategori PBI. Hal ini seiring pemberlakuan PMK Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan PBI. Per 31 Juli, iuran sudah dibayarkan untuk 12 bulan sebesar Rp 25,5 triliun.
(Baca: Jokowi Keluarkan Aturan Cukai Rokok Tambal Defisit BPJS)
Kelima, potongan pajak rokok yang dikirimkan langsung ke rekening Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Hal ini sesuai PMK Nomor 128 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan. Pada triwulan III, DJS Kesehatan telah menerima Rp 1,34 Triliun dari 28 provinsi. Dalam waktu dekat, akan ada tambahan lagi sebesar Rp 83,61 miliar dari 6 provinsi.
Keenam, efisiensi pembayaran layanan kesehatan melalui sinergi dengan badan penyelenggara lainnya. PMK ini sudah ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan sedang dalam proses pengundangan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari kebijakan ini, ada potensi penghematan sebesar Rp 120 miliar.
Di luar 6 bauran kebijakan Kemenkeu, akan ada revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jamsos Kesehatan. Dengan revisi aturan ini, ada potensi tambahan dana talangan dari aset BPJS sampai dengan maksimal sebesar Rp 1,3 triliun.
Dengan langkah-langkah ini, pemerintah belum bisa memastikan berapa besar pengurangan defisit BPJS Kesehatan hingga akhir tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani baru saja menyurati Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan review atau kajian tahap 2 terhadap keuangan BPJS Kesehatan. "Sekarang masih berjalan review-nya, dan tanggal 5 kami akan dapat hasil dari BPKP," kata Mardiasmo.
(Baca: Pemerintah Prediksi Defisit BPJS Kesehatan Rp 10,98 Triliun pada 2018)