Skandal Meikarta yang Menggoyang Pohon Bisnis Grup Lippo

123rf.com | Ioulia Bolchakova
Editor: Yura Syahrul
23/10/2018, 06.00 WIB

Bisnis retail ini pun tak lepas dari masalah. Moody's sudah menurunkan peringkat MPPA dari B2 menjadi B3. Menurut Analis Moody's Maisam Hasnain, penurunan peringkat ini mencerminkan peningkatan risiko likuiditas dan berkurangnya fleksibilitas keuangan.

Dengan laba negatif dan utang meningkat, profil kredit MPPA terus melemah karena mengeksekusi strategi transformasi untuk menghidupkan operasi, termasuk diskon harga yang curam dan rasionalisasi inventaris. Tapi, manfaat potensial masih harus direalisasikan.

Sebelumnya, MPPA berencana menerbitkan saham baru (rights issue) senilai Rp 802 miliar pada April 2018 untuk mendanai modal kerja. Namun, Moody's memperkirakan aksi korporasi itu kemungkinan akan tertunda.

"Tanpa rights issue, kami melihat MPPA akan mengandalkan utang untuk membiayai operasinya," kata Maisam. Akibatnya, leverage MPPA, yang diukur dengan utang yang disesuaikan untuk EBITDA, akan meningkat menjadi sekitar 7-8 kali pada akhir tahun ini. Tingkat seperti ini tidak dapat mendukung peringkat B3 perusahaan retail tersebut.

Moody's juga memperkirakan likuiditas MPPA akan semakin melemah, jika rights issue tertunda. Sebab, proyeksi kas dari operasi perusahaan kemungkinan akan tetap negatif hingga akhir tahun ini.

Bahkan, jika right issue berhasil meraup dana Rp 802 miliar sesuai yang direncanakan, Moody's memperkirakan, MPPA tidak akan memiliki cukup uang untuk membiayai operasinya, melunasi utang jatuh tempo terjadwal dan belanja modal.

(Baca: Moodys: Kasus Meikarta Makin Menekan Likuiditas Lippo Karawaci)

Analisis Katadata terhadap laporan keuangan emiten Grup Lippo, nilai penjualan keenam perusahaan mesin uang Grup Lippo tersebut mengalami tren penurunan selama lima tahun terakhir. LPCK, MLPL, dan MPPA mencatatkan pertumbuhan penjualan yang negatif tahun lalu. Sedangkan LPKR, SILO, dan LPPF masih meraih pertumbuhan positif, namun jauh melambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

LPKR misalnya, mencatatkan penjualan Rp 10,9 triliun pada 2017, atau hanya tumbuh 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, pada 2016, perusahaan properti ini mampu mencetak pertumbuhan penjualan 23,5%.

Di sektor retail, LPPF juga mengalami kondisi yang sama. Penjualannya tahun lalu hanya tumbuh 1,3%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 9,9%.

Meski masih meraup keuntungan, dua emiten properti Grup Lippo yakni LPKR dan LPCK menderita penurunan laba bersih dibanding tahun sebelumnya. LPCK membukukan laba bersih Rp 366,8 miliar pada 2017 atau merosot 32% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan laba bersih LPKR tahun lalu sebesar Rp 715,3 miliar atau turun 18,8%.

Menyusutnya pendapatan dan laba bersih sejumlah perusahaan diperburuk oleh beban utang yang tinggi. Akibatnya, kemampuan perusahaan membayar utang melalui hasil pendapatan operasional semakin melemah.

Indikator yang bisa digunakan adalah rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA). Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan melunasi utangnya. Makin tinggi rasio utang terhadap EBITDA maka bakal semakin berat beban perusahaan untuk melunasi kewajibannya.

Ada tiga emiten Grup Lippo yang menanggung beban utang besar dengan rasio tinggi. LPKR memiliki utang terbesar dengan nilai Rp 13,8 triliun. Sedangkan rasio utang terhadap EBITDA sebesar 7,32 kali. Artinya, beban utang yang ditanggungnya 7,3 kali lebih besar dibandingkan perolehan profitnya.

Rasio ini terus meningkat dalam empat tahun terakhir, yaitu pada 2014 sempat menyentuh rasio terendah sebesar 2,6 kali. (Baca: Daya Tahan Enam Perusahaan Grup Lippo Menanggung Utang

Sementara itu, dengan kerugian yang diderita MLPL dan MPPA, kedua perusahaan ini masih harus menanggung beban utang tinggi yaitu masing-masing Rp 5,2 triliun dan Rp 1,4 triliun. Alhasil, rasio utangnya negatif: MLPL minus 4,9 kali dan MPPA minus 1,2 kali. Ini akan semakin menyulitkan perusahaan untuk melunasi utangnya.

Potensi Kebangkrutan

Secara umum, kondisi keuangan yang memburuk dan beban utang besar menjadikan perusahaan-perusahaan Grup Lippo kesulitan secara likuiditas jangka pendek dan menengah. Ujungnya, hal ini mengancam keberlangsungan usaha.

Rasio yang sering digunakan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan adalah Altman Z-score. Jika skor Z di bawah 1,8, maka probabilitas perusahaan mengalami kebangkrutan sangat tinggi. Sementara skor di atas 3 berarti probabilitas bangkrut sangat kecil.

Berdasarkan analisis Katadata terhadap koefisien rasio dari laporan keuangan 2017, beberapa emiten Grup Lippo ternyata memiliki Skor Z Altman yang lebih rendah dari 1,8. Lippo Karawaci misalnya, memiliki skor hanya 1,50 atau probabilitas kebangkrutan yang tinggi.

MPPA bahkan mencatatkan Skor Z Altman hanya 1,44. Adapun, MLPL bahkan hanya mencatat skor sebesar 0,89. Sedangkan LPCK memiliki skor 1,78, sedikit di bawah ambang batas. Berbeda dengan SILO dan LPPF, mengantongi skor yang kuat masing-masing 8,53 dan 10,44.

Meski demikian, hal ini tidak lantas berarti perusahaan akan kolaps. Untuk LPKR misalnya, Moody's memperkirakan kasus dugaan suap memiliki dampak terbatas terhadap keuangan Lippo Karawaci yang merupakan induk di sektor properti.

Peringkat utang Lippo Karawaci di B3 dan prospek negatif yang diberikan Moody's pada September lalu tidak terpengaruh kondisi ini. Sebab, tidak memperhitungkan tambahan aliran kas dari proyek Meikarta maupun Lippo Cikarang.

Pada 18 September lalu, LPKR juga sudah mengumumkan penjualan sahamnya di Bowsprit kepada OUE Limited dan OUE Lippo Healthcare Limited (OUELH). Bowsprit merupakan pengelola aset Dana Investasi Real Estate (DIRE) atau Real Estate Investment Trust (REIT) senilai 202 juta dolar Singapura atau setara Rp 2,18 triliun. Sejumlah gedung seperti Life Tower dan Berita Satu Plaza di Jakarta merupakan salah satu asetnya.

(Baca: : Tiga Raksasa Properti Terseret Masalah Akibat Terpuruknya Rupiah

(Arief Kamaludin | KATADATA)
 

QUE mengambil alih 40% saham Bowsprit Capital Corporation Limited senilai 99 juta dolar Singapura. Sementara anak usaha OUELH, yakni OLH Healthcare Investments Pte Ltd, juga mengakuisisi 10,6% kepemilikan First Reit dari Bridgewater International Limited. Bridgewater merupakan anak usaha yang dimiliki secara tak langsung oleh LPKR. Nilai transaksinya 103 juta dolar Singapura.

Menurut Ketut Budi Wijaya, Presiden Direktur LPKR, prosesnya diharapkan tuntas pada akhir November 2018. Setelah rampung, kepemilikan LPKR di First REIT akan berkurang menjadi 10,6% dari sebelumnya 28,2%. Adapun, likuiditas LPKR akan meningkat dengan penjualan saham tersebut.

Sebelumnya, dalam keterangan resminya, Vice President Head of Corporate Communication Lippo Karawaci Danang Kemayan Jati menyatakan, perusahaan menyayangkan keputusan lembaga pemeringkat rating yang menurunkan peringkat kreditnya. Alasannya, fundamental perusahaan sejatinya tidak banyak berubah.

Meski demikian, LPKR berkomitmen untuk bekerja sama dengan para lembaga pemeringkat untuk menanggapi pendapat konstruktif mereka. LPKR juga menegaskan komitmen untuk memperkuat likuiditas dan neraca perusahaan sehingga memperoleh kembali peringkat sebelumnya dengan prospek stabil.

Untuk Matahari Putra Prima, meski likuiditasnya mengkhawatirkan, Moody's melihat perusahaan tersebut memiliki rekam jejak yang selalu berhasil memperbarui fasilitas pinjaman ketika jatuh tempo. Sebagai contoh, pada Januari 2018, MPPA memperpanjang fasilitas utangnya senilai Rp 300 miliar dengan Bank of China, hingga Januari tahun depan.

Halaman: