Utang BUMN Mengancam Keuangan Negara

rudall30/123RF
Penulis: Safrezi Fitra
19/10/2018, 08.54 WIB

Langkah pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur dengan menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berpotensi membahayakan keuangan negara. Kebutuhan dana yang besar, membuat perusahaan pelat merah agresif berutang yang secara tidak langsung bisa menimbulkan risiko fiskal dan membebani anggaran negara. Sementara defisit anggaran negara masih tinggi, karena penerimaannya rendah dan tak pernah mencapai target.

Laporan dari Organisasi Negara untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dirilis di sela pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali, pekan lalu, menyoroti permasalahan ini. OECD menilai ada risiko fiskal yang akan muncul dari beban keuangan sejumlah BUMN untuk mendanai proyek infrastruktur pemerintah. “Kerentanan keuangan mulai meningkat di sejumlah BUMN,” seperti dikutip dari Laporan Survei Ekonomi OECD Indonesia 2018.

Menurut OECD, pemerintah menjadikan BUMN unsur penting dalam strategi infrastruktur dan pembangunan dalam beberapa tahun terakhir. Asumsi ini berdasarkan rencana tahun 2016 dalam mempercepat 245 Proyek Strategis Nasional (PSN). Sekitar 30% dari proyek-proyek tersebut mengandalkan pembiayaan dari BUMN.

Belanja modal BUMN ditargetkan hampir 3% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun ini, lebih dari dua kali lipat dari porsi belanja 2015. Pemerintah memang memberikan dukungan, terutama suntikan modal dan program revaluasi aset untuk pembiayaannya. Namun, itu saja belum cukup. Kebutuhan dana yang besar membuat BUMN mencari pendanaan lain dari perbankan dan pasar modal. Walhasil tingkat utang beberapa BUMN mengalami peningkatan yang cukup drastis.

(Baca: Menimbang Beratnya Beban Utang BUMN Karya)

Dalam tiga tahun terakhir surat utang perusahaan pelat merah mendominasi pasar. Berdasarkan data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), total obligasi dan sukuk BUMN hingga Agustus tahun ini, sudah mencapai Rp 251,8 triliun. Nilai ini sudah setara dengan 50,4% dari total outstanding obligasi korporasi yang beredar saat ini Rp 499,9 triliun. Padahal, di 2013 nilainya baru Rp 71,5 triliun atau setara 33% dari total obligasi korporasi

Meski nilai emisi obligasi BUMN tahun ini rata-rata tergolong jumbo, tapi minat investor tinggi, sehingga bisa terserap sepenuhnya. Sepanjang semester pertama saja, ada 6 emiten BUMN yang terbitkan obligasi dengan total nilai Rp 14,92 triliun. Bulan lalu, PT Waskita Karya Tbk menerbitkan obligasi III Tahap III tahun 2018 senilai Rp 2 triliun. Surat utang ini merupakan bagian dari obligasi berkelanjutan yang akan diterbitkan senilai total Rp 10 triliun.

Kepala Divisi Pemeringkatan Korporasi Pefindo Niken Indriarsih mengatakan nilai surat utang yang diterbitkan BUMN umumnya lebih tinggi dibandingkan korporasi swasta dalam beberapa tahun terakhir. Makanya, nilai outstanding-nya meningkat dengan cepat. Beberapa BUMN yang sejak lama tidak pernah menerbitkan obligasi, menjadi sangat aktif dalam tiga tahun belakangan.

Emisi obligasi BUMN kebanyakan berasal dari sektor konstruksi, utilitas dan transportasi. Sejumlah BUMN perbankan juga gencar menerbitkan obligasi untuk membiayaan BUMN sektor riil. Terutama kepada BUMN yang kurang mampu mengakses pasar surat utang karena peringkatnya yang kurang bagus.

Tingginya emisi obligasi oleh BUMN berpotensi menyebabkan struktur keuangan BUMN menjadi sangat ketat, seiring meningkatnya rasio utang BUMN. Makanya, pemerintah memberikan jaminan kepada beberapa surat utang BUMN, agar investor berminat membeli. Salah satunya PT Hutama Karya yang sebelumnya memiliki peringkat A- dari Pefindo. Karena mendapat jaminan pemerintah, Pefindo menaikkan peringkatnya ke level tertinggi, yakni AAA.

Laporan OECD menyatakan kewajiban kontinjensi (utang bersyarat) yang diakui dari beberapa BUMN hanya 0,01% terhadap PDB Indonesia pada 2017. Ini karena keterbatasan pinjaman yang dijamin pemerintah. Faktanya, banyak BUMN yang sangat membutuhkan suntikan modal dari negara. “Potensi kebutuhan suntikan modal merupakan bentuk risiko fiskal tidak langsung,” kata OECD.

(Baca: BUMN Butuh Modal, Bappenas Ingatkan Jangan Andalkan Uang Negara)

Pemerintah mulai jor-joran memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN pada 2015. Dari Rp 3 triliun di 2014, pemerintah meningkatkan PMN kepada BUMN di 2015 menjadi Rp 50,5 triliun. Alokasi suntikan modal ini kembali ditambah pada 2016 yang mencapai 64,5 triliun. Tahun lalu dan tahun ini anggaran PMN dikurang menjadi Rp 6,4 triliun dan 3,6 triliun. Namun, kembali ditambah tahun depan menjadi Rp 17,8 triliun. Pemberian PMN terus menerus akan menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih defisit.

Dengan tambahan modal, kemampuan BUMN menarik utang (leverage) menjadi lebih besar untuk mendanai pembangunan. Pada awal 2018, Standard and Poor (S&P) melaporkan kemampuan berutang atau leverage level 20 BUMN naik signifikan. Rasio utang terhadap pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA)  BUMN-BUMN tersebut naik menjadi 5 kali dari 1 kali pada 2011. Tahun ini total utang BUMN diperkirakan mencapai Rp 5.253 triliun, dari Rp 4.825 triliun tahun lalu.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menyadari langkah pemerintah menugaskan BUMN, agar pembangunan proyek infrastruktur bisa dipercepat. Alasannya, pembangunan proyek infrastruktur yang selama ini diserahkan ke swasta, banyak yang mangkrak dan tidak berjalan. Masalah kemampuan pendanaan BUMN yang terbatas perlu mendapat jaminan dari pemerintah, salah satunya dengan suntikan modal.

Untuk BUMN konstruksi, penugasan dari pemerintah menggarap proyek infrastruktur bisa membuat kinerja keuangannya naik. Namun, peningkatan utang mengakibatkan kewajiban (liabilitas) mereka membayar pun meningkat. (Baca juga: Pemerintah Yakinkan Pembangunan Infrastruktur Tak Buat BUMN Kolaps)

Dengan kondisi ini, BUMN-BUMN tersebut harus lebih berhati-hati dalam mengelola arus kasnya. Percepatan penyelesaian proyek akan membuat tagihan-tagihan dari pemasok barang dan pihak ketiga juga lebih cepat. Belum lagi, ketika suku bunga kredit naik. Mereka harus bisa menjaga kasnya untuk membayar utang yang jatuh tempo. Biasanya, utang ini akan ditutupi dengan utang baru.

"Risiko arus kasnya menjadi lebih penting daripada solvabilitasnya (kemampuan membayar utang)," kata Anton kepada katadata.co.id, di Jakarta, Kamis (18/10).

Permasalahan lain dihadapi oleh BUMN sektor energi, yakni PT Pertamina dan PLN yang juga mendapatkan penugasan membangun infrastruktur kelistrikan dan migas. Langkah pemerintah membatasi harga listrik dan bahan bakar minyak (BBM) telah membuat kinerja keuangan dua perusahaan ini anjlok.

(Baca: Kementerian BUMN: Rugi PLN Tak Akan Ganggu Arus Kas)

Sepanjang enam bulan pertama tahun ini PLN sudah mencatatkan rugi Rp 5,36 triliun. Padahal periode yang sama tahun lalu masih untung Rp 2 triliun. Sementara laba bersih Pertamina sampai pada semester I-2018 tidak sampai Rp 5 triliun. Masih sangat jauh dari target dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun ini sebesar Rp 32 triliun.

Lembaga pemeringkat utang Fitch Rating memprediksi keuangan keuangan Pertamina akan semakin tertekan tahun ini hingga tahun depan, lantaran kebijakan pemerintah menahan harga BBM Solar dan Premium. Dalam laporan resmi yang dipublikasikan Selasa (16/10), Fitch memprediksi pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) Pertamina tahun ini tidak akan mencapai US$ 6 miliar. Padahal, tahun lalu bisa mencapai US$ 6,9 miliar.

Di tengah harga minyak dunia yang naik dan nilai tukar melemah saat ini, Pertamina harus menjual BBM 60-75% di bawah harga keekonomiannya. Pemerintah melarang Pertamina menaikkan harga. Padahal, sejak 2015, pemerintah mengeluarkan aturan yang menghapus subsidi untuk Premium. Subsidi hanya diberikan untuk Solar. Alhasil, Pertamina terpaksa menanggung selisih harga tersebut.

(Baca: Chatib Basri: Kontrol Harga BBM dan Risiko Utang BUMN Menekan Rupiah)

Kondisi ini akan berdampak juga pada peringkat utang Pertamina. Fitch memberikan sinyal akan menurunkan peringkat utang Pertamina dari level sekarang BBB-, jika tidak ada peningkatan profitabilitas di bisnis hilir.  apalagi Pertamina program ekspansi besar. Arus kas operasional yang lemah cenderung menghasilkan pendanaan utang yang lebih tinggi dari investasinya. Hal ini akan menghambat rencana Pertamina menerbitkan obligasi global pada akhir tahun ini.

Dengan kondisi keuangan yang rentan dan tingkat utang yang tinggi, Anton menyarankan pemerintah tidak terlalu memaksakan percepatan penyelesaian proyek infrastruktur yang ditugaskan kepada BUMN. Misalnya, proyek listrik 35 gigawatt yang ditugaskan kepada PLN diperpanjang waktu penyelesaiaannya.

Cara lainnya adalah dengan mencari sumber pendanaan lain untuk membiayai proyek pemerintah, di luar utang. Dia mengapresiasi langkah pemerintah mengadakan even Indonesia Investment Forum di sela pertemuan IMF-World Bank di Bali, pekan lalu. Dalam even ini, pemerintah berhasil mendapatkan komitmen investasi asing untuk proyek-proyek infrastruktur senilai Rp 200 triliun.

“Jadi, tidak terlalu tergantung lagi dengan bank BUMN. Pendanannya harus dibagi, sebagian dari pasar modal, sebagian dari instrumen lain, seperti melibatkan dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan,” kata Anton.

Pelibatan sektor swasta yang lebih besar dalam proyek infrastruktur seharusnya bisa mengurangi tekanan pada BUMN. Pemerintah telah meningkatkan penggunaan skema kerja sama pemerintah-badan usaha (KPBU). Pada tahun lalu terdapat 11 KPBU yang sedang berjalan senilai US$ 15,4 miliar.

(Baca: Kementerian BUMN Rancang Wadah Pendanaan Infrastruktur)