Awan kelabu membayangi industri pembiayaan (multifinance). Pertumbuhan industri kian melambat karena kesulitan mendapatkan akses pendanaan. Di sisi lain, kondisi permintaan juga masih lesu. Campuran problem ini membuat penyaluran piutang pembiayaan tidak bisa tumbuh tinggi.
Riset PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) yang dipublikasikan Kamis (20/8) lalu menyebutkan, perusahaan pembiayaan menghadapi tantangan baru ke depan. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pendanaan di tengah risiko likuiditas. Kesulitan ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan industri pembiayaan sejak tahun lalu.
Pefindo melihat perlambatan ini dari penyaluran kredit atau piutang pembiayaan yang hanya tumbuh 7% tahun lalu. Lebih lambat dari pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 7,7%. Adapun, sepanjang kuartal I tahun ini pertumbuhannya hanya 7,5%, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 9,1%.
Perusahaan pembiayaan cukup sulit meningkatkan penyaluran kredit karena pendanaan yang terbatas. Selama ini perusahaan pembiayaan mengandalkan pendanaannya paling besar dari pinjaman perbankan, yang porsinya mencapai 64%. Sisanya sebesar 18,4% dari penerbitan surat utang, 13,1% dari ekuitas perusahaan, dan 4,5% dari lembaga keuangan non-bank.
Masalahnya, saat ini perbankan sudah mulai selektif dan mengurangi penyaluran kredit ke lembaga keuangan, termasuk perusahaan pembiayaan. Pefindo mencatat pertumbuhan kredit perbankan ke lembaga keuangan sepanjang kuartal I tahun ini hanya 7,7%, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu sebesar 10,4%.
Perbankan juga meningkatkan pengawasan atas portofolio kreditnya ke industri pembiayaan, akibat kredit bermasalah yang tinggi. Hingga Maret 2017, kredit bermasalah di sektor ini mencapai Rp 2,8 triliun. Nilai tertinggi dalam lima tahun terakhir. Ketidakpercayaan bank kepada multifinance tambah diperburuk dengan terungkapnya kasus pembobolan 14 bank oleh SNP Finance hingga mencapai Rp 14 triliun.
(Baca: Banyak Pengaduan Masyarakat, OJK Dorong Transparansi Produk Keuangan)
“Kami sedang membuat strategi dengan asset registry untuk meyakinkan perbankan agar bisa kembali memberikan pinjaman kepada multifinance,” kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno kepada katadata.co.id, Selasa (25/9). Registrasi aset ini merupakan data jaminan aset nasabah perusahaan pembiayaan yang bisa dijaminkan ke bank. Dengan begitu, aset yang sudah dijaminkan kepada satu bank, tidak bisa lagi dijaminkan ke bank lain.
Karena pendanaan dari bank terbatas, perusahaan pembiayaan menggenjot pendanaan dari surat utang.Dalam beberapa tahun terakhir, penerbitan obligasi jangka menengah atau medium term notes (MTN) cukup masif dilakukan perbankan dan perusahaan pembiayaan. Hingga akhir Agustus tahun ini saja, Pefindo mencatat sudah ada 33 perusahaan yang menerbitkan surat utang dengan total nilai Rp 58,42 triliun.
Perusahaan pembiayaan terbilang paling aktif menerbitkan MTN, mengingat penerbitan surat utang ini tidak memerlukan izin dari OJK. Tak juga melalui penawaran umum, perusahaan penerbit langsung menjalin kesepakatan dengan para investornya. Besaran bunga yang diberikan penerbit pun ditentukan oleh hasil negosiasi. Tingkat bunga MTN cenderung lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat bunga obligasi untuk tenor yang sama. Hal inilah yang membebani keuangan perusahaan penerbit di saat pendapatan dari bisnisnya melambat.
Risiko gagal bayar pun membayangi penerbitan surat utang tersebut. Mei lalu, pasar MTN tersentak oleh kasus gagal bayar bunga MTN PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membekukan operasional SNP Finance sejak 14 Mei 2018 karena perusahaan memberikan informasi yang tidak benar sehingga merugikan kepentingan debitor, kreditor, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk OJK.
SNP Finance, perusahaan pembiayaan milik Grup Columbia, mengalami gagal bayar bunga MTN V SNP Tahap II senilai Rp 5,25 miliar 9 dan bunga MTN III seri B senilai Rp 1,5 miliar. Keduanya jatuh tempo pada 9 dan 14 Mei 2018. Adapun nilai pokok MTN V SNP Tahap II mencapai Rp 200 miliar sedangkan MTN III Seri B Rp 50 miliar.
(Baca: Likuiditas Ketat, Pefindo Pangkas Peringkat Multifinance Grup Trakindo)
Sejak Januari hingga Agustus 2018, sudah ada lima perusahaan pembiayaan yang dicabut izin usahanya dan 6 perusahaan lainnya dibekukan. Perusahaan multifinance yang dicabut izin usahanya yaitu, PT Garishindo Buana Finance Indonesia, PT Prioritas Raditya Multifinance, PT Surya Nordfinans, PT Arthabuana Margausaha Finance dan PT Patra Multifinance. Sedangkan multifinance yang dibekukan adalah PT Tossa Salimas Finance, PT Sunprime Nusantara, PT Pracico Multifinance, PT Capitalinc Finance, PT Mega Finanada, PT PANN Pembiayaan Maritim.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank II OJK Bambang W Budiawan mengatakan sebagian besar pembekuan dan pencabutan itu dilakukan karena perusahaan pembiayaan tersebut menjalankan proses bisnis target bisnis yang tidak tepat. Akibatnya rasio pembiayaan menyebabkan kredit macet (NPL) yang tinggi. Kondisi keuangan perusahaan pembiayaan terganggu karena mereka cukup gencar menerbitkan MTN untuk membiayai bisnisnya.
Hal ini menjadi catatan buruk di tengah derasnya penerbitan MTN dalam beberapa tahun terakhir dan menunjukkan kerentanan para penerbit MTN. Investor perlu lebih selektif memilih MTN sebagai portofolio investasinya dan tidak sekadar menadah bunga tinggi. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang manajer investasi memutar dana kelolaannya di MTN.
Larangan ini tertuang dalam surat edaran bernomor S-697/PM.21/2018 tentang Investasi Reksa Dana Pada Efek Bersifat Utang atau Efek Syariah Berpendapatan Tetap yang Ditawarkan Tidak Melalui Penawaran Umum. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa otoritas melarang manajer investasi menerbitkan reksa dana pasar uang dan terproteksi menggunakan underlying asset MTN.
Kesulitan pendanaan ini membuat industri pembiayaan pesimistis dengan target pertumbuhan tahun ini. Awalnya APPI menargetkan pertumbuhan tahun ini bisa mencapai kisaran 8-10%. “Kalau melihat kondisi sekarang, mungkin tumbuh 7-8% saja sudah oke,” ujar Suwandi. Pefindo juga memprediksi pertumbuhan industri ini pada rentang yang sama. Untuk tahun depan, perkiraannya hanya tumbuh 6,5%.