Sejak dua tahun terakhir, lelang blok minyak dan gas bumi (migas) yang digelar pemerintah selalu sepi peminat. Jika kondisi ini terus berlarut-larut maka akan mengancam produksi migas di masa depan. Padahal, di beberapa negara lain, lelang blok migas tetap diminati meski harga minyak masih rendah.   

Rendahnya harga minyak bumi dalam beberapa tahun terakhir inilah yang menjadi alasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terhadap sepinya peminat lelang. Karena itu, pemerintah memperpanjang masa tenggat lelang blok migas tahun ini.

“Karena harga minyak rendah diberikan waktu cukup untuk melakukan evaluasi keekonomian,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Tunggal, di Jakarta, Rabu (19/7).  

Ia menambahkan, mundurnya masa penawaran wilayah kerja ini merupakan keingingan investor. Permintaan ini kemudian dilaporkan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan. (Baca: Pemerintah Perpanjang Masa Lelang Blok Migas)

Alhasil, lelang untuk penawaran langsung diperpanjang hingga 15 September mendatang. Sebelumnya, batas akhir pengambilan dokumen untuk penawaran blok konvensional adalah 17 Juli lalu, sementara nonkonvensional 12 Juli 2017.

Jika melongok ke belakang, harga minyak memang masih rendah. Saat ini harga minyak dunia bertahan di bawah level US$ 50 per barel. Padahal, pertengahan 2014 lalu, harga emas hitam itu bisa menyentuh angka US$ 100 per barel.

Dari data Kementerian ESDM, pemerintah pada tahun 2015 melelang 8 blok migas konvensional. Dari proses lelang saat itu hanya ada dua perusahaan yang berminat dan mendaftar. Namun, mereka gagal memenangkan lelang karena penawarannya yang rendah dari persyaratan pemerintah. 

Begitu juga 2016, pemerintah melelang 14 blok migas konvensional melalui skema penawaran langsung dan reguler.  Dari 14 blok yang ditawarkan itu, pemerintah hanya berhasil menggaet satu investor.

Meski harga minyak masih rendah, bukan berarti kelesuan investasi migas melanda semua negara. Sebaliknya, di beberapa negara malah "diserbu" investor untuk menanamkan modalnya di lapangan-lapangan migas.

Salah satu negara yang sukses menggelar lelang blok migas di tengah lesunya harga minyak adalah Meksiko. Namun, awalnya hasil lelang blok migas di negara itu tidak berjalan mulus.

Pada Desember 2014, hanya ada dua kontrak yang berhasil ditandatangani dari 14 blok laut dangkal yang dilelang, Kontraktor tersebut yakni Sierra Oil dari Meksiko dan Talos Energy yang berkonsorsium dengan Premier Oil dari Inggris.

Kegagalan itu menjadi pembelajaran. Pada lelang berikutnya yang berlangsung Februari 2015, Meksiko berhasil menggaet tiga kontrak dari lima blok migas. Adapun perusahaan yang menandatangani kontrak adalah Eni Internasional dari Italia, konsorsium Pan American Energy dengan E&P Hidrocarburos y Servicios, serta Fieldwood energy & Petrobal.

Tidak berhenti di situ, lelang pada Mei 2015 juga laku keras. Tercatat dari 25 blok migas darat (onshore) yang dilelang, semuanya laku oleh perusahaan Meksiko. Berbeda dengan yang sebelumnya memakai kontrak bagi hasil, lelang kali ini menggunakan kerja sama berbentuk izin.

Tujuh bulan berikutnya, Meksiko juga melelang 10 blok yang berada di laut dalam dengan model kerja sama izin. Hasilnya, ada delapan yang laku. Bahkan, pemenangnya merupakan perusahaan migas kelas kakap seperti ExxonMobil Corp., BP Plc, Total SA, Chevron Corp, dan China National Offshore Oil Corp (CNOOC).

Yang terbaru, pada lelang blok migas putaran dua di Meksiko pada 19 Juni lalu. Dari 15 blok migas air dangkal yang dilelang, sebanyak 10 blok mendapatkan investor.  Blok tersebut tersebar di sepanjang pantai teluk di Meksiko. Dari blok yang laku itu, sembilan di antaranya telah dilengkapi dengan komitmen pengeboran sumur eksplorasi. 

(Baca: Lelang Blok Migas Tak Laku Bukan Gara-Gara Harga Minyak Rendah)

Kunci sukses Meksiko

Larisnya lelang blok migas di Meksiko ini bukan tanpa sebab. Menurut riset S&P Global Ratings bertajuk Key Takeaways From Mexico's First Oil Auction yang dirilis 9 Desember 2016, lelang pertama di akhir 2014 sepi peminat karena dipengaruhi beberapa faktor.

Faktor-faktor itu antara lain, penurunan harga minyak, ukuran bloknya terlalu kecil, adanya pembatasan jumlah perusahaan dalam satu konsorsium dan tingginya jaminan yang diminta pemerintah, yakni sekitar US$ 6 miliar.

Namun, kegagalan lelang tersebut menjadi pelajaran bagi pemerintah Meksiko. Kesalahan yang terjadi pada periode tersebut diperbaiki. Alhasil, setelah melakukan beberapa pembenahan, lelang bisa kembali menarik.

Dalam presentasi khususnya di hajatan Indonesian Petroleum Association (IPA) ke 41 Mei lalu, Director General of Investor Relations, Ministry of Energy Mexico Nicole Palau juga turut membagikan resep agar investor migas mau datang. Kunci sukses Meksiko ini tidak terlepas dari reformasi di sektor migas sejak 2013 lalu.

(Baca: Jonan Dapat Masukan Kunci Sukses Meksiko Menarik Investasi Migas)

Empat tahun lalu, pemerintah Meksiko akhirnya mengakhiri dominasi Pemex sebagai perusahaan negara satu-satunya yang mengelola ladang migas. Dominasi itu telah berlangsung 75 tahun. Mereka membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor dan mulai berorientasi kepada pasar, dari yang sebelumnya bersifat inklusif.

Dalam reformasi itu, pemerintah Meksiko telah mengubah tiga Undang-undang dan 22 aturan turunannya. Salah satunya bentuk reformasi itu adalah penunjukan badan pengatur oleh Senat, bukan lagi pemerintah. Jadi tidak bergantung pada Presiden dan bebas politik.

Mereka juga melakukan pendekatan yang berbeda ketika berkerja sama dengan kontraktor. Jadi, kontrak blok migas di Meksiko ditetapkan berdasarkan wilayah kerja, sehingga berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal ini pun diterapkan ketika memberikan insentif.

Upaya tersebut berbuah manis. Tahun 2016, pemerintah Meksiko mengantongi penerimaan sebesar US$ 34 miliar yang berasal dari investasi 48 perusahaan migas di 14 negara ke Meksiko. Jika dihitung sejak 2013 nilainya mencapai US$ 70 miliar. Sementara produksi minyak bisa  1,1 juta barel per hari (bph).

Lesunya kegiatan hulu migas Indonesia

Berbeda dengan Meksiko, investasi migas di Indonesia terus merosot.  Sejak awal Januari hingga akhir Juni tahun ini, investasi hulu migas baru mencapai US$ 3,98 miliar, dengan rincian US$ 3,96 untuk blok eksploitasi, sisanya eksplorasi. Sedangkan target dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) tahun ini adalah US$ 13,80 miliar.

Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, capaian tersebut juga masih rendah. Sepanjang semester I tahun 2016, realisasi hulu migas mencapai US$ 5,65 miliar. Rinciannya investasi di blok eksploitasi sebesar US$ 5,51 miliar, sisanya blok eksplorasi.

(Baca: Selama Enam Bulan 2017, Investasi Hulu Migas Baru 29% dari Target)

Produksi siap jual (lifting) minyak semester satu juga hanya 802 ribu barel per hari (bph). Padahal realisasi tahun lalu di periode yang sama 817 ribu bph. Sedangkan target tahun ini 815 ribu bph.

Tidak hanya minyak, selama semester I realisasi lifting gas bumi juga menurun hanya mencapai 6.338 mmscfd. Padahal tahun lalu 6601,5 mmscfd. Adapun target dalam APBN 2017 adalah 6.440 mmscfd. Sementara target rencana kerja dan anggaran perusahaan 6.356 mmcfd.

Kinerja yang masih di bawah target ini juga sejalan dengan Survei Policy Perception Index 2016 yang dirilis Fraser Institute. Survei itu menunjukkan kalau iklim investasi hulu migas di Indonesia menempati peringkat 79 dari 96 yuridiksi. Angka ini juga terendah di Asia Tenggara. 

Hasil tersebut dirilis setelah mengkaji beberap aspek. Aspek penilaian survei Policy Perception Index 2016 meliputi aspek perpajakan, ketidakpastian regulasi lingkungan, hingga stabilitas politik keamanan di suatu negara. 

(Baca: Iklim Investasi Migas: Peringkat Indonesia Terendah)

Kajian lain dari Energy Intelligence juga menyatakan kalau Indonesia akan semakin kehilangan daya saing akibat adanya model kontrak gross split. Skema baru ini dianggap lebih  menguntungkan negara dibandingkan kontraktor itu sendiri. Di sisi lain, Revisi UU Migas yang hingga kini belum selesai dibahas juga menjadi salah satu penyebab investasi hulu Indonesia kehilangan daya saing.

Agar tidak mengulangi kesalahan dalam lelang sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menyiapkan beberapa langkah. Salah satunya adalah jemput bola menawarkan 15 blok yang akan dilelang tahun ini kepada perusahaan migas.

(Baca: 2 Tahun Tak Laku, Jonan Jualan Langsung Blok Migas ke Bos Perusahaan)

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah dulu hanya menunggu kontraktor mengambil dokumen penawaran, tidak mempromosikan langsung. Lelang kali ini pemerintah juga akan memberikan informasi data seperti seismik secara gratis kepada perusahaan.

Arcandra pun berupaya meyakinkan investor jika skema gross split yang diterapkan pada lelang tahun ini juga lebih menguntungkan. Apalagi akan ada aturan mengenai insentif perpajakan untuk skema itu yang rencananya akan terbit bulan ini.