Di Balik Pencopotan dan Alotnya Pemilihan Bos Baru Pertamina

Katadata | Arief Kamaludin
Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang bersama jajaran direksi Pertamina
Penulis: Arnold Sirait
Editor: Yura Syahrul
3/2/2017, 21.57 WIB

Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mencopot Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto dan Wakil Direktur Utama Ahmad Bambang, seakan menegaskan masalah 'matahari kembar' yang melanda korporasi terbesar di Indonesia ini dalam beberapa bulan terakhir. Pemilihan bos baru Pertamina pun diwarnai tarik menarik antarkubu sehingga sampai sekarang tidak mencapai titik temu.

Munculnya 'matahari kembar' di Pertamina berhulu dari usulan Dewan Komisaris untuk mengubah struktur dan menambah anggota direksi perusahaan tersebut pada Agustus tahun lalu. Ada penambahan dua direksi, yaitu Wakil Direktur Utama- Hilir dan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia.

(Baca: Buntut 'Matahari Kembar', Dirut dan Wakil Dirut Pertamina Dicopot)

Wakil Direktur Utama akan bertindak selaku Chief Operating Officer (COO) pada sektor hilir dan energi baru dan terbarukan. Pertimbangannya, bisnis Pertamina semakin menggurita dan menangani banyak proyek kilang minyak sehingga dinilai tidak cukup hanya berpusat di tangan direktur utama. 

Dua bulan berselang, usulan tersebut disetujui Menteri BUMN. Padahal, usulan itu tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Dwi Soetjipto. Penunjukan Ahmad Bambang sebagai wakil dirut juga disebut-sebut karena kedekatannya dengan Menteri Rini.

(Baca: Bisnis Menggurita, Komisaris Pertamina Usulkan Posisi Wakil Dirut)

Dalam perjalanannya, keputusan itu malah membelah Pertamina dan memunculkan 'matahari kembar'. Hal ini setidaknya diakui secara tidak langsung oleh Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng. Ia mengungkapkan, ada dua alasan mencopot Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang.

Pertama, keduanya dinilai lamban dalam bekerja. Salah satu contohnya, memutuskan posisi strategis yang kosong di perusahaan. Padahal, terdapat sekitar 20 posisi strategis di dalam jajaran Pertamina yang seharusnya sudah diganti dan diisi oleh pejabat baru.

"Pemilihan Pertagas (Direktur Utama) pun terlambat, bahkan banyak posisi yang masih kosong," kata Tanri saat konferensi pers usai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (3/2) siang. Sekadar informasi, Pertamina baru menunjuk Toto Nugroho sebagai Direktur Utama Pertagas pada Rabu lalu (1/2) setelah kosong selama hampir lima bulan.

(Baca: Menteri Rini Setuju Penambahan Posisi Wakil Dirut Pertamina)

( ANTARA FOTO/Idhad Zakaria)

Alasan kedua, masalah koordinasi yang tidak harmonis. Hal ini terlihat dari impor solar sebanyak 1,2 juta barel berjangka waktu enam bulan untuk mengatasi kekurangan pasokan dari kilang Balikpapan. Keputusan pada akhir tahun lalu itu diambil Ahmad Bambang tanpa persetujuan Dwi Soetjipto. Alasannya, Dwi masih berada di luar kota.  

"Kalau misalnya saja saya jadi dirut dan saya lupa tandatangan, saya kan tinggal menelepon wadirut untuk teken. Langsung laksanakan,"  kata Tanri.
 
Hasil evaluasi selama beberapa bulan terakhir inilah yang disampaikan Dewan Komisaris kepada Menteri BUMN. "Ada ketidakstabilan dalam koordinasi antardua kepemimpinan di Pertamina," kata Rini dalam konferensi pers di Kementerian BUMN, Jumat sore. Ia mencontohkan, pengambilan keputusan di dalam rapat direksi. "Kalau yang satu tidak setuju dengan yang lain, jadi jalan sendiri. akhirnya kan bukan teamwork."
 
Namun, Rini membantah ketidakharmonisan tersebut karena adanya posisi wakil dirut sejak Oktober tahun lalu. "Kalau saya melihat, maaf ya Pak Dwi (dan) Pak Bambang, masalahnya personality," ujar dia. Ia menunjuk contoh di sektor perbankan yang memiliki stuktur kepemimpinan direktur utama dan wakil direktur utama, namun tidak menimbulkan masalah.

(Baca: Dianggap Biang Masalah, Posisi Wakil Dirut Pertamina Dihapuskan)

Berdasarkan evaluasi dan rekomendasi dari Dewan Komisaris Pertamina, Rini menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis sore (2/1). Menerima laporan tersebut, menurut Rini, Presiden juga menilai keberadaaan dua pemimpin di Pertamina memicu ketidakstabilan perusahaan. Padahal, Pertamina butuh kestabilan untuk menjalankan sejumlah proyek strategis seperti kilang minyak dan program BBM Satu Harga.

"Beliau (Jokowi) sepakat bahwa keadaan ini membahayakan Pertamina. Apalagi pemberitaan surat kabar yang menyorot soal dua kepemimpinan di Pertamina ikut membuat presiden resah," kata Rini.

Setelah mendapat lampu hijau dari Presiden, Rini meneken surat keputusan pemberhentian Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang pada Kamis malam. Surat itu kemudian dibacakan dalam RUPS Pertamina yang digelar di Kementerian BUMN, pukul 10.00 WIB, Jumat pagi. Dwi dan Ahmad Bambang turut hadir dalam acara itu. Namun, mereka enggan memberikan komentarnya dan langsung pergi usai RUPS.

Pencopotan 'matahari kembar' di Pertamina masih menyisakan masalah. Sumber Katadata mengungkapkan, sempat terjadi tarik-menarik antarkubu dalam memutuskan nakhoda baru Pertamina. Tarik-menarik tersebut dikabarkan melibatkan Luhut Binsar Pandjaitan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini menyorongkan nama Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Rachmad Hardadi untuk mengisi jabatan Direktur Utama Pertamina. Usulan tersebut turut didukung oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar.

Namun, usulan itu dimentahkan oleh Rini. "Apalagi Rachmad juga dianggap sebagai kubu Dwi Soetjipto," kata sumber tersebut. Kabarnya, Presiden juga tidak klop dengan calon nakhoda baru Pertamina itu.

Lantaran tidak mencapai titik temu, pemerintah menunjuk Direktur Gas dan Energi Baru Terbarukan (EBT) Pertamina Yenni Andayani sebagai Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina. Sedangkan posisi wakil dirut untuk selanjutnya direncanakan akan dihapuskan.

Menurut Tanri, pemilihan Yenni sebagai Plt Direktur Utama karena masa jabatan di Pertamina. "Pemilihan Yenni karena senioritas," katanya. (Baca: Sudirman Said Soroti Kepentingan di Balik Pencopotan Dirut Pertamina)

Selanjutnya, pemerintah dan dewan komisaris memiliki waktu hingga 30 hari ke depan untuk memilih dan mengangkat nakhoda baru Pertamina. Tanri mengatakan akan melakukan penilaian internal terlebih dulu untuk menentukan direksi baru dari dalam Pertamina.

Namun, tidak menutup kemungkinan calon bos baru Pertamina berasal dari luar perusahaan. Apalagi kalau melihat tarik-menarik kepentingan berbagai kubu terhadap perusahaan yang telah menghimpun laba bersih sebesar Rp 40 triliun hingga akhir Oktober 2016 tersebut.

Reporter: Anggita Rezki Amelia, Ameidyo Daud Nasution