Indonesia, Pasar E-Commerce Terbesar di ASEAN dengan Banyak Kendala

Donang Wahyu|KATADATA
Transaksi belanja online melalui situs e-commerce.
Penulis: Yura Syahrul
18/12/2015, 11.00 WIB

KATADATA - Keinginan Muhammad Fadli membeli kulkas dengan harga diskon 99 persen di MatahariMall.com tak kesampaian. Kamis pagi pekan lalu (10/12), dia tak bisa masuk ke situs belanja online (e-commerce) milik Grup Lippo itu, dan selama beberapa menit hanya disuguhkan permainan (game) sederhana. Ketika dapat mengakses situs tersebut, karyawan swasta di kawasan Senayan, Jakarta, ini mendapati barang elektronik incarannya sudah ludes terjual.

Selama tiga hari, 10-12 Desember lalu, sekitar 140 situs belanja online yang mengikuti hajatan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) memang panen pengunjung. Tak heran, lapak belanja di dunia maya itu terkadang sulit diakses hingga down.

Ketua Panitia Harbolnas 2015, Indra Yonathan, menyatakan situs-situs belanja online mengalami peningkatan pengunjung 5 kali sampai 10 kali lipat dibandingkan hari biasa. Sedangkan transaksi penjualannya, berdasarkan estimasi lembaga riset Nielsen, meningkat 1,8 kali dibandingkan transaksi pada hari biasa.

Alhasil, nilai transaksi selama tiga hari hajatan tersebut mencapai Rp 2,1 triliun. Taksiran itu berdasarkan survei Nielsen terhadap 700 pengguna internet yang tersebar di 19 kota besar di Indonesia. “76 persen pengguna internet mengetahui Harbolnas, khususnya seminggu sebelumnya,” kata Rusdy Sumantri, Associate Director Nielsen Indonesia, Kamis (17/12).

(Baca: Batasan Porsi Asing di Bisnis E-Commerce Kemungkinan 33 Persen)

Sejak digelar tahun 2012, hajatan tahunan bagi para online shopper di Indonesia ini semakin berkembang, baik dari sisi jumlah peserta, pengunjung, dan nilai transaksi. Indra menyebut, Harbolnas tahun ini tidak cuma diikuti situs e-commerce namun juga para pedagang di media sosial, seperti Instagram. “Ini (Harbolnas) sudah menjadi sebuah gerakan,” katanya.

Jika mengacu kepada penyelenggaraan Harbolnas pertama kali, tren belanja online di Indonesia terlihat semakin mewabah dalam empat tahun terakhir. Berbagai situs belanja online terus bermunculan. Sebut saja Tokopedia, Blibli, Lazada, Bukalapak, Elevenia, hingga MatahariMall. Tak cuma barang elektronik, pakaian, ponsel dan gadget, lapak virtual ini juga menyediakan peralatan rumahtangga, perlengakapan bayi dan anak, hingga tiket pesawat dan paket wisata.

Kini, bagi sebagian masyarakat di kota-kota besar, situs online telah menggantikan gerai dan toko retail. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pernah menyebut, potensi perdagangan e-commerce tahun ini diperkirakan mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 280 triliun. Nilainya lebih besar dari pencapaian tahun lalu sebesar US$ 12 miliar dan senilai US$ 8 milliar pada 2013. Saban tahun, pertumbuhannya sekitar 60 persen hingga 70 persen.

Namun, sebanrnya tak ada data baku nilai perdagangan online saat ini. Mengacu data Euromonitor, nilai perdagangan online di Indonesia tahun ini sebesar US$ 1,1 miliar. Ini yang terbesar di kawasan ASEAN, melampaui Singapura dan Thailand.

Besarnya potensi pertumbuhan e-commerce di Indonesia ini turut mengundang kehadiran para investor dan pelaku usaha asing. Pada Oktober 2014, institusi keuangan asal Jepang, SoftBank Corp. Dan sequoia Capital menyuntikkan dana US$ 100 juta kepada  Tokopedia. Dua bulan berselang, Rocket yang menaungi situs belanja online Lazada dan Zalora, menggaet kucuran dana segar US$ 250 juta.

Namun, penetrasi perdagangan secara online di Indonesia sebenarnya masih rendah. Euromonitor mencatat, nilai transaksi US$ 1,1 miliar itu hanya 0,7 persen dari total nilai perdagangan retail di Indonesia. Bandingkan dengan penetrasi e-commerce di dua raksasa ekonomi dunia, yaitu Cina dan Amerika Serikat (AS), yang masing-masing 10,6 persen dan 8,3 persen. Di kawasan ASEAN pun, penetrasi pasar e-commerce di Indonesia juga kalah dibandingkan tiga negara lainnya, yaitu Malaysia, Thailand, dan Singapura, yang masing-masing 0,9 persen; 1,2 persen; dan 3,4 persen.

Dalam laporannya bertajuk “E-Commerce In Asia Bracing for Digital Disruption”  yang dirilis November lalu, DBS Group Research memaparkan aneka persoalan yang menghambat pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Pertama, masih banyak masyarakat yang belum percaya dengan situs belanja online. Berdasarkan survei McKinsey pada akhir 2013, 56 persen responden menilai belanja online terkadang menipu. Sedangkan pembayaran belanja online tidak aman dinilai oleh 35 persen responden.

Kedua, budaya belanja online belum mewabah. Berdasarkan survei tersebut, 36 persen responden enggan belanja secara online karena tidak bisa menjajal produknya. Sedangkan 22 persen responden menyebut tidak mengetahui cara pembayaran online.

Ketiga, kendala logistik dan distribusi lantaran kondisi infrastruktur yang minim. Sulitnya akses ke daerah terpencil menjadi kendala utama distribusi barang dari toko online. Rizki Suluh Adi, VP Marketing and Business Development HappyFresh South East Asia and Taiwan, menilai faktor logistik adalah hambatan terbesar pelaku e-commerce di Indonesia.

Head of Offline Marketing and Partnership MatahariMall Regan Dwinanda mengatakan, persoalan logistik dan infrastruktur saat ini mulai dapat diatasi dengan menggandeng jasa pengiriman barang. MatahariMall misalnya, telah menjalin kerjasama dengan PT Pos Indonesia (Persero) untuk mempermudah pengiriman barang ke wilayah terpencil di Indonesia. "Dengan kerjasama ini kami dapat membuka sekurang-kurangnya 400 titik cash on delivery (COD) dari Sabang sampai Merauke," katanya.

Keempat, akses internet yang masih belum merata. Penetrasi jaringan internet tertinggi cuma di tiga provinsi, yaitu Yogyakarta, Jakarta, Bali: 47 persen, 42,8 persen dan 41,6 persen. Adapun secara nasional, penetrasi internet di Indonesia sebesar 32 persen. Indra Yonathan, yang juga merupakan SVP Strategic Marketing Partnership Lazada Indonesia, menjelaskan hanya 10 juta pengguna internet yang  pernah berbelanja online. Ia membandingkan dengan Cina, yang memiliki 300 juta orang online shopper.

Kendala lain pengembangan e-commerce adalah pemasaran belanja online sulit diterapkan secara merata. Pasalnya, adanya perbedaan budaya, bahasa, dan aturan di masing-masing daerah.

(Baca: Pemerintah Lindungi Perusahaan E-commerce Pemula)

Dari sisi konsumen, menurut Rizki, masyarakat semakin pintar menilai situs e-commerce terpercaya dan benar-benar menwarkan produknya. Selain itu, dengan menggandeng perbankan, pelaku e-commerce berharap bisa menawarkan keamanan bertransaksi secara online. "Kalau masalah infrastruktur di negara kepulauan ini, memang PR (pekerjaan rumah) kita bersama. Cuma kalau dibandingkan dua tahun lalu, kondisinya semakin baik," katanya.

Sebaliknya, Ketua Umum Indonesian E-Commerce Association (iDea) Daniel Tumiwa melihat,  tantangan utama pengembangan e-commerce adalah edukasi kepada masyarakat, terutama mengenai sistem pembayaran. "Masih perlu waktu untuk edukasi masyarakat.”

Pemerintah juga turun tangan untuk memacu perkembangan e-commerce. Demi menumbuhkan rasa aman bertransaksi online, Direktur Bina Usaha Kementerian Perdagangan Fetnayeti mengaku tengah menggodok rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang e-commerce.

“Kami atur mulai dari pertama siapa penjualnya, kedua apa barangnya, ketiga bagaimana delivery-nya, serta keempat bagaimana sistem pembayarannya,” katanya. Diharapkan beleid tersebut bisa dirilis paling lambat April tahun depan.

Reporter: Yura Syahrul, Ameidyo Daud Nasution