KATADATA - Rancangan beleid ini tentu akan menyenangkan pelanggar pajak. Dalam draf yang diterima Katadata, Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty yang segera diketok oleh Dewan Perwakilan Rakyat itu bisa menghapuskan sanksi para “pendosa” yang tak membayar pungutan wajib ke negara.
Misalnya, penebusan dosa secara khusus dituangkan dalam Pasal 9. Jika mengajukan permohonan, pajak terutang mereka akan dihapus. Begitu pula dengan sanksi administrasi dan sanksi pidana untuk kewajiban perpajakan sebelum 1 Januari 2016 atau sebelum akhir tahun buku 2015 yang belum diterbitkan ketetapan pajak. (Baca: Pemerintah Akan Perpanjang Masa Pengampunan Pajak).
Untuk mendapat fasilitas tersebut, syaratnya, wajib pajak telah mengajukan permohonan pengampunan atas nilai harta bersih per 31 Desember 2015 atau per akhir tahun buku 2015. Dan, “Telah memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Pajak,” demikian pembuka Pasal 9 tersebut.
Terkait porses hukum yang menjeratnya, beleid ini pun menawarkan keistimewaan terhadap perusahaan atau orang yang telah memperoleh bukti penerimaan permohonan pengampuna pajak. Pertama, pihak yang bersangkutan tidak akan dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana perpajakan.
Kedua, jika si wajib pajak sedang menjalani pemeriksaan atau penyidikan tindak pidana pajak maka dia akan kalis darinya. Sehingga, semua proses hukum yang sedang mereka jalani dihentikan. Bahkan, hal itu termasuk bila terkait, “Upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Yang juga menggiurkan jika undang-undang ini disetujui yaitu terkait keamanan wajib pajak. Sebab, data dan informasi yang terdapat dalam Surat Permohonan Pengampuna Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyidikan atau penuntutan pidana dalam bentuk apa pun. Namun klausul ini tak berlaku dalam hal tindak pidana narkotika, terorisme, dan perdagangan manusia.
Dengan semua kenyaman itu, pemerintah berharap para pengusaha mau mengakui kesalahanya dalam pelanggaran pajak dan menebusnya dengan denda yang telah ditentukan tarifnya. Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofyan Wanandi menyatakan optimistis akan kesuksesan rencanan tersebut. Pasalnya, pemerintah sudah mensurvei 10 ribu pengusaha Indonesia. Hasilnya, pemerintah yakin pengusaha yang diampuni akan menanamkan uangnya di Indonesia sekitar US$ 100 miliar atau sekira Rp 1.360 triliun. “Itu paling sedikit, dari dalam dan luar negeri,” ujar Sofyan, awal pekan ini.
Penjelasannya seperti ini. Selama ini banyak yang takut menggunakan uangnya karena khawatir ada jerat pajak. Bila diampuni, mereka kemungkinan menempatkannya dalam bentuk deposito. “Bunga deposito dibayar, pajak juga dibayar,” kata Sofyan.
Dia yakin melalui amnesty sebagian uang itu bisa menggerakan industrialisasi dan ekonomi Indonesia. Apalagi bila berhasil menarik dana dari luar negeri. “Saya percaya tax amnesty betul-betul melupakan kesalahan yang lama.” (Baca juga: Beleid Pengampunan Pajak di Pengujung 2015 Dinilai Tak Efektif).
Terkait besaran potensi yang akan masuk ke kas negara, perhitungannya dituangkan dalam Pasal 4. Pertama, tarif uang tebusan untuk periode pengajuan Januari hingga Maret 2016 nilainya dua persen dari nilai harta bersih yang dilaporkan. Pada periode kedua, April – Juni, tarifnya empat persen. Terakhir, bila mengajukan permohona pada Juli hingga Desember 2016, tarif tebusannya mencapai enam persen.
Bila Sofyan, yang notabene seorang pengusaha itu, begitu percaya akan manfaat besar dari pengampunan pajak, tidak bagi pihak lainnya. Salah satu sorotan terhadap rancangan beleid ini yakni menyangkut skema penempatan dana kembali di dalam negeri atau repatriasi. Tidak adanya skema ini sempat dikhawatirkan sejumlah pengamat lantaran tidak ada kepastian bila perusahan atau orang yang diampunai akan menempatkan dananya di pasar domestik.
Dalam banyak kesempatan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan kebijakan ini tidak akan berjalan efektif karena pemerintah belum memliki data yang akurat. Apalagi, belum ada kejelasan mengenai kewajiban bagi wajib pajak untuk menempatkan dananya di dalam negeri. Alhasil, kondisi ini memungkinakna dana tersebut kembali ke luar negeri ketika insentif tidak lagi diberikan.
Menurut Prastowo, ada dua opsi jika Direktorat Jenderal Pajak ingin menerapkan tax amnesty. Pertama, aturan tersebut ditunda hingga 2017 sesuai rencana awal agar pemerintah bisa memanfaatkan program Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk mendapatkan informasi perpajakan dari wajib pajak. AEOI merupakan pedoman dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang diadopsi oleh 90 negara, termasuk Indonesia.
Pilihan kedua, cakupannya dipersempit menjadi pengampunan pajak saja. Sehingga, pengampunan sanksi pidana pajak, termasuk untuk koruptor, mesti dikeluarkan dalam rancangan beleid itu. Sebab, hilangnya sanksi pajak tidak menjamin wajib pajak, juga koruptor, menempatkan dananya di Indonesia. (Baca pula: Perluas Basis Pajak, Pemerintah Akan Turunkan Pajak Penghasilan).
Padahal, bagi para pelaku pidana pajak, semestinya mereka terancam pidana penjara, selain denda, karena menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Misalnya, ancaman itu mucul dalam Ketentuan Umum Perpajakan Pasal 39 ayat 3. Di sana disebutkan setiap orang yang menyampaikan surat pemberitahuan pajak atau keterangan yang isinya tidak benar ketika mengajukan restitusi maka akan didenda sedikitnya dua kali nilai restitusi. Atau, paling banyak empat kali nilai resititusi dan penjara paling sedikit enam bulan penjara, paling lama dua tahun.
Jeratan pidana pajak pun masih bertebar dalam bentuk pelanggaran lain. Ada pula sanksi pidana dalam pelanggaran pajak yang termuat dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Misalnya, Pasal 25 menyebutkan seseorang yang tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan sehingga menimbulkan kerugian negara akan didenda lima kali pajak terutang dan pidana penjara selama-lamanya dua tahun.
Untuk diketahui, ketika pertama kali rancanagan undang-undang ini dicetuskan, yang terasa mendadak, namanya ialah RUU Pengampunan Nasional, muncul berbarengan dengan revisi RUU Komisi Pemberantasan Korupsi pada September lalu. Setelah menuai banyak kritik, misalnya karena dianggap akan menyelamatkan penjahat pajak seperti koruptor, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat rupanya tetap bersepakat untuk membahas rancangan kedua beleid tersebut.
Rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, pada Jumat, akhir bulan lalu, menyepakati dua hal. Pertama, RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2015 sebagai usulan pemerintah. Artinya, dalam sisa masa sidang DPR yang segera berakhir, pembahasan beleid ini akan dikebut. Kedua, pengusul revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK adalah DPR. Sebelumnya, revisi beleid ini merupakan usulan pemerintah. (Lihat pula: Beleid Pengampunan Pajak Ditargetkan Rampung Akhir Tahun Ini).
Selama ini, pemerintah memang getol mengegolkan RUU Pengampunan Pajak untuk mendongkrak penerimaan negara, terutama lantaran pemasukan pajak masih seret. Per 4 November lalu, pajak yang masuk baru mencapai Rp 774,4 triliun atau 59,8 persen dari total target penerimaan pajak tahun ini senilai Rp 1.294,3 triliun. Hingga tutup tahun ini, realisasi penerimaan pajak diperkirakan hanya 85 persen dari target.