Pertamina-Menkeu Debat, Perpres Kilang Terhambat

Katadata | Dok.
Penulis: Muchamad Nafi
9/11/2015, 12.19 WIB

KATADATA - Balongan merupakan kilang paling gres yang dimiliki Indonesia. Itu pun dibangun pada 1994. Enam kilang lainnya yang masih beroperasi malah lebih tua. Karena itu, pemerintah akan mempercepat pembangunan fasilitas pengolahan minyak mentah ini agar Indonesia tak bergantung dengan bahan bakar impor yang kerap “mencekik” anggaran negara.

Untuk membuktikan keseriusan itu, pertengahan September lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan Peraturan Presiden mengenai Pembangunan Kilang akan masuk dalam paket kebijakan ekonomi kedua. Dalam rancangan beleid itu, swasta akan dikasih kesempatan besar masuk bisnis ini.

Menurut Darmin, investor asing yang berminat akan dipaketkan untuk menanamkan modal di industri petrokimia agar lebih menarik. Ketika dihembuskan wacan ini, beberapa waktu sebelumnya, Saudi Aramco, perusahaan minyak yang berkantor pusat di Dahran, Arab Saudi, sudah menyatakan ketertarikannya. “Aramco itu duitnya banyak, mereka siap bangun kilang di Indonesia,” kata Darmin ketika itu.

Sayang, percepatan pembangunan kilang batal masuk paket kebijakan ekonomi kedua. Target Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said bahwa Peraturan Presiden tentang Pembangunan Kilang akan dikumandangka pada Oktober 2015 juga tak terwujud.

Sumber Katadata mengatakan ada beberapa penyebab kenapa Peraturan Presiden itu belum diterbitkan sampai saat ini. Tarik-menarik kepentingan menjadi salah satu faktornya. Menurutnya, PT. Pertamina dan Kementerian Keuangan masih berbeda pandangan. Dalam rancangan beleid tersebut, Pertamina akan ditugaskan menjadi pembeli hasil kilang minyak atau offtaker.

Atas klausul ini, Pertamina menyanggupi, dengan catatan mendapatkan jaminan: di kemudian hari tidak ada yang mempermasalahkan harga yang sudah ditetapkan Pertamina. Pasalnya, perusahaan pelat merah ini takut bila harga yang dibeli saat ini dipermasalahkan di kemudian hari karena dinilai terlalu mahal sehingga dianggap merugikan negara. 

Vice President Corporate Communication Pertamina
Wianda Pusponegoro (Katadata | Arief Kamaludin)

Kekhawatiran ini dibenarkan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro. Pemerintah, kata dia, harus bisa menjamin harga beli minyak dari kilang baru tidak diungkit-ungkit. Atau, paling tidak pemerintah membuat batas atas dan bawah untuk harga transaksinya. “Kalau keputusan direksi untuk kebaikan, jangan dianggap merugikan negara,” kata Wianda kepada Katadata, Jumat, 6 November 2015.

Selain jaminan harga, Pertamina juga meminta kepastian hukum mengenai proses pembangunan kilang. Wianda berharap proses pembangunan kilang yang biasanya memakan waktu tujuh tahun untuk dipercepat menjadi empat tahun. Sebab, kebutuhan kilang baru sudah mendesak mengingat impor minyak masih sangat besar. Jika pembangunan dipercepat, prosedurnya pun tidak seperti biasanya, misalnya tidak melalui tender tapi penunjukkan langsung. “Itu butuh payung hukum,” ujar dia.

Menanggapi tuntutan tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah tidak akan memberi jaminan apapun kepada Pertamina. Dalam Perpres tersebut Pertamina akan tetap menjadi offtaker tanpa jaminan apapun. Menurutnya, permintaan jaminan hanya alasan yang dibuat-buat oleh Pertamina. “Mereka pengen impor terus,” kata Bambang ketika ditemui Katadata saat hendak sholat Jumat di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat pekan lalu.

Sementara itu, Sudirman Said mengatakan Pertamina tidak perlu khawatir untuk mengikuti kebijakan yang diambil pemerintah. “Pemerintah tidak akan menetapkan kebijakan yang merugikan Pertamina maupun investor. Semua harus mendapat perlakuan fair,” ujar dia.

Pembangunan kilang di Indonesia menjadi penting karena konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai 1,6 juta barel per hari (bph), sementara kapasitas produksi kilang yang dimiliki pemerintah melalui Pertamina hanya 1,05 juta bph. Itu pun tidak bisa beroperasi penuh karena sebagian besar kilang telah uzur. Balongan merupakan kilang paling muda dan memberi keuntungan dibangun 21 tahun lalu. Sementara kilang-kilang lainnya yang dibangun pada 1970-an hanya memberi keuntungan kecil.

Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas menyebutkan kilang yang dimiliki pemerintah melalui Pertamina yakni Pangkalan Brandan dengan kapasitas lima ribu barel per hari, Dumai 170 ribu bph, dan Musi 133,7 ribu bph. Lalu, Kilang Cilacap dengan kapasitas 348 ribu bph, Balikpapan 260 ribu bph, Balongan 125 ribu bph, dan Kasim 10 ribu bph. Adapun Support Cepu memiliki kemampuan produksi 3,8 ribu bph. Dari kilang tersebut, produksi yang dihasilkan sekitar 800 bph. Artinya, pemerintah mesti impor BBM 800 ribu bph untuk memenuhi konsumsi 1,6 juta barel per hari.

Agar masalah ini teratasi, dibuatlah rencana membangung kilang baru. Dalam 10 tahun ke depan, pemerintah hendak mendirikan empat kilang minyak berkapasitas 668 ribu barel per hari dengan perkiraan investasi US$ 23,6 miliar. Kilang tersebut akan dibangun di Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Aceh.

Untuk memuluskan rencana inilah dibutuhkan payung hukum, dalam hal ini Peraturan Presiden. Selain Pertamina menjadi offtaker, substansi perpres adalah pemerintah akan menyediakan tanah. Pemerintah pun memberi insentif berupa tax holiday, tax allowance, pembebasan PPN barang strategis, dan bea masuk. Perpres yang tak kunjung diterbitkan ini juga mengatur mengenai skema kerjasama pemerintah dan swasta.

Reporter: Arnold Sirait