KATADATA - Pada 10 Desember 2015, kesepakatan prinsip atau Principle of Agreement (PoA) di Blok East Natuna akan berakhir. PT. Pertamina, selaku pemimpin konsorsium blok minyak dan gas bumi tersebut, sedang membahas syarat dan ketentuan mengenai kontrak bagi hasil (PSC) dengan beberapa mitranya.
Saat ini, perusahaan pelat merah itu memiliki saham 35 persen. Besarnya sama dengan saham yang dikuasai ExxonMobil, perusahaan asal Amerika Serikat. Sisanya dimiliki oleh PT. Total E&P Indonesie dan PTT Thailand masing-masing 15 persen.
Melihat sejarahnya, wilayah kerja migas yang dulu bernama Blok Natuna D-Alpha ini pertama kali dieksplorasi oleh Agip pada 1973. Perusahaan Italia ini menemukan struktur lapisan yang berpotensi mengandung gas. Namun di kemudian hari blok ini diserahkan kembali kepada Indonesia.
Pemerintah kemudian memberikan kontrak PSC kepada Esso pada 1980. Anak perusahaan Exxon tersebut kemudian bermitra dengan Pertamina. Dalam kurun 10 tahun sejak 1984 dilakukan data uji seismik dan studi geologi. Hasilnya, diperkiraan volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 trillion cubic feet (TCF), dan cadangan terbuktinya 46 TCF. Dari jumlah itu, kandungan gas CO2 begitu besar mencapai 70 persen.
Pada 1995, setelah ada beberapa penambahan area untuk pengolahan gas buang yang tidak terpakai (waste gas disposal), kontrak PSC kembali diperpanjang. Dengan merger antara Exxon dan Mobil Oil menjadi ExxonMobil membuat nama ExxonMobil lebih dikenal sebagai penggarap Blok Natuna D-Alpha.
Menanggapi keputusan tersebut, ExxonMobil menampiknya. Mereka berdalih telah mengajukan surat komitmen untuk pengembangan struktur AL, satu di antara area Blok Natuna. Dengan demikian ExxonMobil mengklaim telah menyatakan kesanggupan untuk melanjutkan pengembangan.
Di sisi lain, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, nama SKK Migas ketika itu, menyatakan pengembangan oleh ExxonMobil akan sulit memenuhi kelayakan komersial. Pasalnya, banyak kendala yang dihadapi. BP Migas juga menilai penafsiran atas PSC Section II Pasal 2.2 ayat B menunjukkan surat komitmen tidak cukup sebagai rujukan untuk menghindari berakhirnya kontrak.
Tiga tahun kemudian, banyak perusahaan yang berminat terhadap Blok Natuna. Setidaknya ada tujuh perusahaan melayangkan surat ketertarikan di luar ExxonMobil. Mereka yaitu Total Indonesie dari Perancis, Chevron Amerika, StatOil Norwegia, Shell Inggris-Belanda, dan ENI dari Italia. Lalu korporasi Asia di antaranya Petronas dari Malaysia dan China National Petroleum Corporation.
Ketika itu, tarik-menarik untuk mengelola Blok Natuna cukup "panas". Misalnya, kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Februari 2009 ke Belanda dimanfaatkan oleh Shell untuk membangun lobi. Vice President Carbon Dioxide Shell International, Bill Spence, mengatakan memiliki teknologi untuk memisahkan kadar karbon dioksida hingga 90 persen. Ini yang menjadi jualannya. Namun, upaya Shell, juga perusahaan-perusahaan yang lain, waktu itu kandas di tengah jalan
Pemerintah tetap mengambil alih Blok Natuna dan menyerahkan ke Pertamina. Perusahaan negara ini kemudian sepakat menggandeng kembali ExxonMobil, lalu Total E&P Indonesie dan PTT Thailand. Pada 19 Agustus 2011, mereka menandatangani PoA eksplorasi dan eksploitasi wilayah East Natuna. Dalam PoA tersebut, Pertamina meminta perlakuan khusus mengingat kandungan gas CO2 di wilayah itu sangat tinggi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi I.G.N. Wiratmaja Puja membenarkan kandungan karbon dioksida di Blok tersebut sangat besar. Hal itulah yang menjadi kendala belum dilakukannya penandatanganan kontrak PSC. "Belum ekonomis untuk dikembangkan," kata dia kepada Katadata, Selasa, 3 November 2015.
Hal berbeda dikatakan Pri Agung Rakhmanto. Pengamat Energi dari Reforminer Institute ini menilai terlalu dini jika menyimpulkan blok tersebut tidak ekonomis. Dengan cadangan terbukti sebesar 46 tcf, merupakan bukti Blok tersebut sangat strategis.
Blok East Natuna terletak di perairan Laut Natuna dan sudah berada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu jalur laut sepanjang 200 mil ke laut terbuka dari batas wilayah kemaritiman Indonesia. Di Zona Eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama memanfaatkan sumber daya di laut dan di bawahnya.
Dengan tetap menggandeng ExxonMobil, Gamil berpendapat secara psikologis pilhan Pertamina sangat tepat. Hal itu mengingat di belakang ExxonMobil adalah Amerika. "Dalam mapping energi, banyak hal yang tidak dapat dipecahkan secara tekno-ekonomi atau nasionalisme yang sempit saja. Kita harus tahu peta geopolitik dan kekuatan militer negara sekitar serta stabilitas geopolitiknya," ujar dia.