KATADATA ? Lembaga pemeringkatan internasional Moody?s Investors Service meramal era harga murah minyak dan gas bumi saat ini masih akan berlangsung hingga tiga tahun mendatang. Kondisi tersebut bakal semakin menekan kinerja perusahaan-perusahaan energi multinasional untuk memangkas dana pengembangan, produksi, dan pengeluaran tambahan.

Dalam sebuah studinya, Moody?s memotret kondisi terkini harga minyak dunia. Harga minyak berat (heavy oil) Kanada merosot ke titik terendah sejak krisis keuangan tahun 2008 ? 2009. Sedangkan harga patokan minyak Amerika Utara tertekan sampai ke level US$ 40-an per barel. Diperkirakan, harga komoditas ini akan tetap rendah sampai tahun 2018. Rata?rata harga minyak tahun ini ditaksir sebesar US$ 50 per barel dan tidak akan naik sampai US$ 60 per barel pada tahun depan dan 2017.

Untuk mengatasi masalah penurunan harga minyak tersebut, perusahaan-perusahaan migas terpaksa memangkas biaya operasional kantor dan staf lapangan. Mereka juga telah memotong anggaran investasi dan dividen.

Fenomena efisiensi perusahaan migas global tersebut sudah berlangsung sejak awal tahun ini. Akhir Juli lalu, Royal Dutch Shell mengumumkan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 6.500 karyawannya di seluruh dunia  tahun ini. Husky Energy sudah lebih dulu memecat sekitar 1.000 pekerja konstruksi pada proyek Sunrise di Kanada. Sebelumnya, pada Januari 2015, Suncor Energy juga memangkas 1.000 pekerja dengan alasan efisiensi. Di Indonesia, ConocoPhillips tidak lagi mempekerjakan 300 orang dari 1.200 pekerjanya di Anambas, Kepulauan Riau.

Selain langkah efisiensi biaya operasional, perusahaan migas juga mengerem rencana ekspansi usahanya. Dalam laporan terbarunya yang dipublikasikan oleh theglobeandmail.com, Kamis lalu (13/8), Moody?s memotret strategi 90 perusahaan energi di dunia dalam menghadapi era harga murah minyak saat ini. Jatuhnya harga minyak yang mengganggu arus kas perusahaan turut mempengaruhi rencana ekspansi.

Selama semester I-2015, banyak perusahaan migas yang memotong anggaran eksplorasi dan produksi di Amerika Utara. Gretchen French, Wakil Presiden dan Senior Credit Officer Moody?s, mengungkapkan perusahaan energi melakukan penghematan biaya operasional agar tetap dapat berinvestasi lagi pada cadangan-cadangan baru migas.

Sedangkan perusahaan penasihat keuangan Deloitte, dalam laporannya bertajuk ?Oil and Gas Reality Check 2015?, mencatat penurunan harga energi membuat perusahaan migas menunda keputusan akhir investasi (financial investment decision/ FID). BP memotong rencana belanja modalnya tahun ini sebesar US$ 1 miliar. Adapun anggaran belanja modal ExxonMobil, perusahaan migas terbesar di Amerika Serikat dari sisi nilai pasar,  turun 12% dari tahun 2014 menjadi US$ 34 miliar.

Beban perusahaan pun bertambah berat karena harus menanggung kewajiban utang yang besar. ?Perusahaan dengan biaya yang tinggi dan level utang tinggi akan mengalami risiko paling besar,? kata French.

Sebagai lembaga pemeringkatan kredit, Moody?s menghitung ?leverage full-cycle costs? atau biaya dari pinjaman untuk memproduksi minyak dan menggantinya dengan cadangan baru. Rata?rata biaya produksi satu barel minyak sebesar US$ 42. Seven Generations Energy Ltd yang berbasis di Calgary, Kanada, dan tengah beroperasi di wilayah Montney Alberta, memiliki biaya produksi terendah sebesar  US$ 20 per barel. Sedangkan biaya yang dikeluarkan Lightstream Resources Ltd dan Northern Blizzard Resources Inc paling tinggi, yakni masing-masing US$ 102,5 dan US$ 130,8 per barel.

French mengungkapkan, tumpukan utang memaksa beberapa perusahaan migas bersiasat untuk menjaga neraca keuangannya. Mulai dari meminta keringan utang kepada pihak kreditur hingga melego sebagian asetnya. Misalnya, seperti dilansir calgaryherald.com, akhir April 2015, Surge Energy Inc. telah menjual lapangan minyaknya di tenggara Saskatchewan dan Manitoba, Kanada, senilai US$ 430 juta untuk melunasi utang. Energy XXI Ltd. juga melakukan langkah serupa dengan melego jaringan pipanya senilai US$ 245 juta.

Beberapa raksasa perusahaan energi global turut melego sebagian aset non-intinya. Beberapa bulan lalu, Chevron Corp. menjual 40 persen kepemilikan sahamnya di dua blok migas di Nigeria. Aksi itu dilakukan hanya berselang beberapa hari setelah merampungkan divestasi aset propertinya di Vietnam. Sedangkan ExxonMobil menjual aset kilang di New Orleans sebesar US$ 322 juta. Pelepasan aset non-inti juga dilakukan ConocoPhillips senilai US$ 2,5 miliar.

Tidak menutup kemungkinan aksi perusahaan energi multinasional tersebut juga terjadi pada aset-aset mereka di Indonesia. Seperti yang tengah dilakukan ConocoPhillips terhadap di Blok B PSC, Laut Natuna Selatan. Perusahaan migas asal Amerika Serikat ini telah mengirimkan surat kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) untuk meminta izin pembukaan ruang data (data room) Blok B PSC. Tujuannya untuk menakar seberapa besar ketertarikan perusahaan migas lain terhadap blok tersebut dan nilai asetnya.

(Baca: ConocoPhilips Tengah Menakar Minat Calon Pembeli Blok B)

Menurut French, berlanjutnya tren harga minyak yang murah turut mengerek penurunan peringkat kredit perusahaan migas. Bahkan, dia mengungkapkan, Moody?s memiliki data sejumlah perusahaan yang utangnya bermasalah sehingga mengalami penurunan peringkat kredit. Masalah itu terutama menimpa perusahaan-perusahaan yang memiliki peringkat di bawah B, yang likuiditasnya tengah terancam.

?Kami telah melihat tekanan pada rating karena ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan, seperti ketersediaan modal dan struktur modal yang berkesinambungan,? katanya.

Reporter: Muhammad Kahfi, Yura Syahrul