KATADATA ? Mohammad Sadli, ekonom Universitas Indonesia dan mantan menteri pada dekade 1970-an pernah mengatakan, situasi krisis akan melahirkan perubahan. Contohnya, ketika boom minyak berakhir pada era 1980-an, Indonesia cepat-cepat melakukan reformasi untuk menggerakkan industri non-migas, mendorong ekspor, serta mengembangkan pasar modal dan perbankan.
Pertanyaannya, akankah situasi ekonomi saat ini yang tengah mengalami perlambatan akan membawa Indonesia pada perubahan kebijakan ekonominya? Perlambatan ekonomi yang sekarang tengah menerpa Indonesia sebetulnya sudah terjadi sejak 2011. Pada kuartal II-2015, data ekonomi menunjukkan ekonomi semakin lemah dengan hanya tumbuh 4,67 persen.
Dari sisi permintaan, mesin pertumbuhan menunjukkan pelemahan. Konsumsi rumah tangga yang menyumbang 54 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pertumbuhannya turun ke bawah 5 persen. Begitu pula dengan investasi turun dari 4,5 persen pada kuartal I menjadi 3,6 persen. Kinerja ekspor dan impor malah menunjukkan pertumbuhan negatif. Sementara pengeluaran belanja pemerintah tidak terlalu dapat diharapkan, karena hanya tumbuh 2,3 persen.
Mestinya, kata ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Haryo Aswicahyono, perlambatan ekonomi disikapi pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat menaikkan daya saing produk Indonesia. Tapi yang terjadi sebaliknya, dalam penilaiannya, tidak ada resep baru dalam kebijakan ekonomi saat ini, yang ada justru kembali ke ortodoksi. Kebijakan yang dibuat pemerintah justru mengarah ke proteksionisme.
?Kebijakan yang proteksionisme dan sentimen nasionalisme menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama sejak era pemerintahan SBY,? kata Haryo dalam diskusi yang diselenggarakan Freedom Institute di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Salah satu kebijakan proteksionisme adalah larangan ekspor mineral yang berlaku sejak awal 2014. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai jual produk Indonesia melalui upaya hilirisasi. Padahal, lanjut Haryo, hilirisasi tidak berarti selalu menguntungkan. Bahkan bisa merugikan ketika tidak memperhitungkan kemampuan perusahaan serta infrastruktur pendukungnya.
Dia mencontohkan komponen terbesar untuk memproduksi aluminium adalah listrik, bukan bauksit yang menjadi bahan bakunya. Sementara kapasitas listrik di Indonesia masih rendah tidak mencukupi untuk membangun pabrik pengolahan bauksit menjadi aluminium.
?Australia itu tidak melakukan hilirisasi, tapi mengekspor mineral mentahnya. Dana hasil penjualannya mereka investasikan lagi untuk pendidikan. Semestinya, Indonesia bisa meniru Australia,? tutur Haryo.
Selain hilirasi, kebijakan restriktif lainnya antara lain kuota impor beberapa produk pertanian dan makanan, termasuk pembatasan impor sapi yang lalu menyebabkan harga daging melonjak. Selain itu ada kewajiban impor melalui pelabuhan tertentu. Kemudian kewajiban penggunaan bahan baku lokal dalam industri elektronik, otomotif, hingga pembatasan tenaga kerja asing.
Kebijakan yang protektif ini, kata Haryo, bisa berdampak negatif terhadap peningkatan daya saing industri. Perusahaan merasa tidak perlu melakukan perbaikan produktivitas, karena akan mendapatkan perlindungan, berupa insentif dari pemerintah.
Persoalannya, di dalam sistem ekonomi global yang saling terhubung dalam rantai pasokan (supply chain), setiap negara akan sulit untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Semestinya pemerintah membuat kebijakan yang dapat memfasilitasi perdagangan. Ini karena di era jejaring produksi global, kinerja ekspor semakin terkait dengan impor. ?Hambatan impor akan mengurangi kemampuan mengekspor juga,? kata dia.
Secara politis, semangat nasionalisme ini memang menjual. Makanya, dalam kampanye politik isu ini sering mengemuka dengan alasan kemandirian dan terbebas dari kepentingan asing. Apalagi, kata Arianto Patunru dan Sjamsu Rahardja, pasca-krisis ekonomi 1998 ada stigma anti-IMF, karena dianggap telah memberikan resep yang salah untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. Bukan cuma IMF, stigma ini pun merembet ke investasi asing.
Dalam kajian yang diterbitkan baru-baru ini, keduanya pun menyebut, proteksionisme naik daun seiring dengan turunnya daya saing Indonesia. Terutama setelah merosotnya harga komoditas dunia. Pasalnya, lebih dari setengah nilai ekspor non-migas Indonesia berasal dari produk komoditas. Begitu era ini berakhir, maka daya saing Indonesia pun turun. Pada saat yang bersamaan, industri manufaktur mendapatkan tantangan dari Cina, terutama industri yang berbasis tenaga kerja seperti alas kaki dan tekstil.
Patunru dan Rahardja menyebut, kebijakan pemerintah di bidang manufaktur dalam beberapa tahun terakhir cenderung melihat ke dalam (inward oriented). Pengembangan industri, melalui berbagai kebijakan proteksionis, diarahkan untuk menguasai pasar domestik, yang memang terbesar di kawasan. Namun, itu justru menghilangkan kesempatan untuk menjadi bagian dari rantai produksi global.
Sementara, ekonomi Indonesia sampai saat ini masih menderita penyakit kronis, mulai dari minimnya infrastruktur energi, logistik, kurang berkembangnya sektor jasa, termasuk tidak jelasnya konsistensi aturan dan perundang-undangan di bidang ekonomi. Padahal, investasi dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, mendorong produktivitas dan daya saing, serta mengatasi keterbatasan terhadap teknologi.
?Investasi luar negeri juga dapat membantu neraca pembayaran yang lebih sehat, mengurangi ketergantungan pembiayaan defisit neraca berjalan dari modal portofolio yang bergejolak,? kata Haryo.
Akankah Presiden Jokowi melakukan reformasi kebijakan ini? Saat menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dinilai mampu melakukan terobosan untuk mendorong kegiatan bisnis. Pelaku pasar berharap Jokowi dapat membawa kebijakan ekonomi yang ramah pasar. Persoalannya, yang muncul darinya justru sinyal ketidakkonsistenan.
Di depan forum bisnis dunia, World Economic Forum, dia menyatakan terbuka terhadap investor asing. ?Jika Anda ada masalah, silakan telepon saya,? kata Presiden dalam pertemuan itu. Tapi selang dua hari kemudian, pernyataannya itu berkebalikan. Di forum Konferensi Asia Afrika, dia mengkritik keberadaan lembaga internasional, seperti IMF, Bank Dunia, serta ADB.
Di satu pihak mendukung investasi dan integrasi ke pasar global, tapi di lain pihak mementingkan kebijakan substitusi impor dan restriksi perdagangan. Padahal seperti pengalaman Indonesia pada era sebelumnya, proteksionisme justru telah membawa kepada kronisme dan perburuan rente.