Teknologi Informasi yang Mengubah Bisnis Ojek

KATADATA
Pengemudi ojek Go-Jek tengah menunggu penumpang yang hendak diantar ke tujuannya di Jakarta. Jasa layanan antar Go-Jek tengah digandrungi warga Jakarta. Warga Ibu Kota memilih menggunakan kendaraan ini untuk membantu aktivitas sehari-hari.
28/7/2015, 10.04 WIB

KATADATA ? Nadiem Makarim tidak pernah menyangka jika Go-Jek yang dirintisnya sejak Agustus 2010 bisa berkembang pesat. Dari awalnya hanya bermitra dengan sekitar 1.000 pengemudi ojek, sekarang jumlah mitranya sudah lebih dari 10.000 orang. Perkembangan ini seiring dengan diluncurkannya aplikasi Go-Jek di telepon selular pada awal tahun ini.

?Jadi memang itulah kekuatan mobile app, membuat customer mudah mengakses kami. Total sudah 650 ribu pengunduh aplikasi Go-Jek ini sejak Januari,? kata Nadiem baru-baru ini.

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah lanskap ekonomi bisnis. Kemelimpahan informasi telah membuat pasar semakin selektif untuk memilih produk yang akan dikonsumsinya. Ibaratnya, meski banyak tersedia warung kopi, tapi Starbucks yang dikunjungi. Perkembangan teknologi informasi juga yang turut mengubah model bisnis dari kepemilikan terpusat pada satu pihak, menjadi tersebar. Istilahnya, ekonomi berbagi atau sharing economy.

Prinsip ini yang juga diterapkan Go-Jek. Di dalam situsnya,Go-Jek menyebut dirinya sebagai perusahaan berjiwa sosial yang memimpin revolusi industri transportasi ojek. Go-Jek tidak memiliki alat produksi berupa sepeda motor dan tenaga kerja (pengemudi), yang menjadi pokok bisnisnya. Tapi, mereka bermitra dengan para tukang ojek yang mempunyai kendaraan untuk bekerja sama membuka pasar baru. Alhasil, ada kolaborasi antara perusahaan dengan pemilik kendaraan tanpa hubungan hierarki manajerial yang ketat. Pemilik kendaraan tetap otonom atas pekerjaannya dan alat produksi yang dimilikinya. 

Perkembangan teknologi informasi ini yang oleh Paul Mason katakan telah membawa kita ke era post-kapitalisme. Ketika hubungan yang semakin longgar antara kerja dan waktu luang, serta makin meningkatnya kerja kolaboratif. Ini terlihat dari perkembangan Wikipedia yang membuat ensiklopedia menjadi percuma untuk dibeli. Termasuk Go-Jek dan Uber Taxi yang menggerus pasar ojek pangkalan dan perusahaan taksi konvensional. (Baca: Kontroversi Taksi Uber di 16 Negara)

***

Nadiem mengisahkan, pembentukan Go-Jek dilatarbelakangi pengalamannya sebagai pelanggan ojek pangkalan. Dia memperhatikan, sistem kerja pengemudi ojek di pangkalan yang mayoritas waktunya dihabiskan untuk menunggu dan mengantre calon pelanggan. Apalagi, biasanya pelanggan baru ramai di waktu pagi dan sore hari, pada saat jam pergi dan pulang kantor. (Baca: Go-Jek, antara Pangkalan dan Waktu Luang)

Tapi ilham untuk membentuk Go-Jek didapatnya dari tugas kuliah saat menyelesaikan Master of Business Administration dari Havard University. Ketika itu, dia ingin membuat model bisnis pengelolaan ojek yang baik. Pengemudi ojek bukan hanya mengantar penumpang, tapi juga dapat melayani jasa lain, seperti pengantaran barang dan pemesanan belanja.

Berbekal pengalaman dari tugas tersebut, setelah merampungkan studinya, Nadiem kembali pulang ke Indonesia dengan membawa konsep pengelolaan bisnis ojek yang lebih jelas. Walaupun itu dilakukan secara sampingan lantaran dirinya juga masih bekerja sebagai Managing Director Zalora Indonesia.

Kendati demikian, Nadiem tidak mau Go-Jek disebut sebagai perusahaan transportasi. Menurutnya, Go-Jek adalah perusahaan teknologi di bidang jasa transportasi. Dengan sistem kemitraan, Go-Jek hanya berperan sebagai perantara antara tukang ojek dan calon pelanggan, tanpa harus datang ke pangkalan. Dengan sistem ini, tukang ojek mendapatkan panggilan lebih banyak dan pola bagi hasil 80:20. Go-Jek hanya mengambil 20 persen dari ongkos yang diterima pengemudi.

Seiring perkembangan, Go-Jek pun melengkapi para mitranya dengan perangkat telepon pintar (smartphone), jaket, helm, serta rekening dengan deposit awal Rp 100 ribu. Nantinya di setiap pemesanan, jatah tersebut akan terpotong dengan sendirinya sesuai hitungan jarak antaran, dan akan diisi ulang oleh pengemudi jika sudah habis.

?Jadi semacam dompet digital. Misalnya driver mengantar dengan nominal harga Rp 35 ribu, nanti secara otomatis bilangan dompet digital si driver-nya akan turun sebesar 20 persen dari Rp 35 ribu. Nanti kalau angka dompet digitalnya sudah Rp 0, driver akan mengisi ulang dompet digitalnya di ATM CIMB Niaga atau Alfamart,? ujar pria kelahiran 4 Juli 1984 ini.

Sistem kerja seperti ini disebut Nadiem memberikan kebebasan tempat dan waktu bagi tukang ojek dalam mencari nafkah. Hal ini diakui Nadiem turut berperan dalam membludaknya jumlah driver Go-jek dari hanya 1.000 pengemudi pada awal 2015 menjadi 10 ribu pengemudi pada saat ini.

?Kebebasan itu yang kami berikan, mereka bebas dari pangkalan, mereka bebas dari pungli, mereka bisa bekerja kapan pun mereka mau sembari mengurus anak istrinya, dan mereka bisa mendapatkan Rp 6 juta sampai Rp 10 juta tiap bulan,? kata dia.

Nadiem mengakui pada saat ini pihaknya masih mengalami kerugian. Namun dia yakin nantinya masyarakat akan banyak beralih menggunakan moda ini, ?Kami akan memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia menikmati layanan seperti ini dan percaya kepada kami,? ujarnya.

Dia juga tidak menutup kemungkinan ekspansi Go-jek akan menggapai seluruh wilayah Indonesia. Pada saat ini Go-Jek telah beroperasi di wilayah Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Bali, ?Makanya kami ingin mengundang seluruh tukang ojek pangkalan untuk bergabung dengan kemitraan ini,? katanya.

Mengenai pajak, dia menyatakan, perusahaannya membayar pajak penghasilan (PPh) badan. Ini pun terobosan, lantaran pemerintah dapat memungut pajak dari sektor yang selama ini dianggap informal. Namun dia meminta agar pemerintah tidak memajaki para driver Go-Jek secara langsung pada saat ini.

?Biar saja kami yang membayar pajak, nantilah kalau mau memajaki tukang ojek tunggu mereka makmur selama beberapa tahun ke depan baru dipajaki,? kata Nadiem.

Wakil Ketua Komisi Perhubungan DPR Yudi Widiana mengatakan, Go-Jek merupakan terobosan dalam sektor transportasi. Dia meminta pemerintah tidak represif dalam menindaklanjuti masalah perizinan dan pajak perusahaan seperti Go-Jek ini.

?Karena kalau pemerintah represif maka inovasi yang dilahirkan malah tidak efisien,? kata Yudi dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Yudi berjanji akan membantu perusahaan-perusahaan seperti Go-Jek untuk tetap beroperasi dengan mengajukan revisi Undang-Undang Transportasi. ?Ini untuk menata ulang pola transportasi makro kita.?

Reporter: Ameidyo Daud Nasution