Keraguan Kucuran Aneka Bansos Bisa Meredam Laju Kemiskinan

123rf/Igor Sapozhkov
Ilustrasi. Pemerintah menyediakan beragam bansos untuk membantu masyarakat terdampak pandemi corona. Namun, hal ini dinilai tak cukup mencegah kenaikan angka kemiskinan.
Penulis: Sorta Tobing
31/5/2020, 07.30 WIB

Kebijakan isolasi wilayah atau pembatasan sosial untuk menekan penyebaran pandemi virus corona, turut memukul sektor usaha dan ekonomi masyarakat. Banyak pekerja informal kehilangan mata pencarian, sedangkan  gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda pekerja formal. Pemerintah menggelontorkan beragam bantuan sosial atau bansos agar orang miskin tak bertambah banyak.

Menteri Sosial Juliari P. Batubara mengatakan, yang paling terdampak saat pandemi ini adalah orang yang biasanya bekerja tapi kehilangan pekerjaan. Terlebih lagi mereka tidak mendapatkan bantuan sosial reguler, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Kelompok ini perlu diutamakan.

Tapi ia mengakui penyalurannya menemui banyak kendala. Programnya banyak, tapi banyak data yang tumpang tindih atau tidak cocok dengan kondisi di lapangan. “Pendataannya akan terus diperbaiki,” ujarnya, dikutip dari Antara, Kamis (28/5).

(Baca: Ragam Skema Bansos untuk Petani dan Nelayan Terdampak Pandemi Corona)

Pendaftaran penerima bansos tunai di Medan, Sumatera Utara. (ANTARA FOTO/Septianda Perdana/foc.)

Tony Subaktiar, warga Rawasari, Jakarta Pusat, sudah 1,5 bulan tidak lagi bekerja sebagai tenaga keamanan. PHK membuatnya harus bertahan dengan uang tabungan yang kian menipis. “Sehari-hari hanya bergantung pada honor istri sebagai tenaga juru pemantau jentik di RT (rukun tetangga)," katanya.

Begitu pula dengan Samsu, warga Johor Baru, Jakarta Pusat. Setelah tak lagi bekerja, ia sangat bergantung pada bansos. “Alhamdulilah, saya terima bansos sembako yang ketiga dan sangat membantu sekali,” ujar pria 41 tahun itu.

Laporan The SMERU Research Insitute menunjukkan kemajuan negara ini untuk mengurangi angka kemiskinan dalam satu dekade terakhir dapat musnah. Pandemi corona  membuat ekonomi amblas dan pertumbuhannya diramalkan di angka 1% sampai 2%. Karena itu, pemerintah perlu memperluas program perlindungan sosial untuk mencegah pertambahan penduduk miskin.

(Baca: Sri Mulyani Tingkatkan Besaran BLT Desa Jadi Rp 2,7 Juta per Keluarga)

Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan proyeksi peningkatan penduduk miskin di Indonesia akibat Covid-19. Pada skenario terbutuk, pertumbuhan ekonomi hanya 1%, maka tingkat kemiskinan mencapai 12,37%. Padahal, tahun lalu angkanya masih satu digit di 9,22%.

Data Bansos Kerap Bermasalah

Pandemi yang belum ada ujung akhirnya ini membuat program bansos diperpanjang, dari awalnya Juni, menjadi Desember 2020. "Bansos sembako dan tunai Jabodetabek maupun non-Jabodetabek diperpanjang hingga Desember," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi video pada 18 Mei lalu.

Bansos Jabodetabek semula diberikan dalam bentuk sembako senilai Rp 600 ribu per bulan selama tiga bulan sejak April hingga Juni. Sementara bansos berupa uang tunai diberikan pada non-Jabodetabek sebesar Rp 600 ribu per bulan selama periode tersebut.

Dengan perpanjangan hingga Desember, Sri Mulyani menyebut pemberian bansos oleh pemerintah kemudian menjadi 9 bulan lamanya. "Namun dari Juli hingga Desember besarannya mengalami penurunan menjadi Rp 300 ribu per bulan," ucapnya.

Total dana yang disiapkan pemerintah untuk mendukung konsumsi rumah tangga miskin, rentan, dan terdampak virus corona sebesar Rp 172,1 triliun.

(Baca: Sandiaga Minta Pemerintah Fokus Bantu UMKM Terdampak Pandemi Corona)

Rinciannya, dukungan konsumsi rumah tangga miskin akan terdiri dari program keluarga harapan Rp 37,4 triliun, kartu sembako Rp 43,6 triliun, dan bansos Jabodetabek Rp 6,8 triliun. Lalu, ada bansos non-Jabodetabek Rp 32,4 triliun, kartu prakerja Rp 20 triliun, diskon listrik Rp 6,9 triliun, serta bantuan logistik berupa pangan atau sembako Rp 25 triliun.

Anggaran Jokowi untuk Melawan Virus Corona (Katadata)

Namun, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai langkah pemerintah kurang tepat. Pasalnya, jenis bansos itu terlalu banyak dan tidak memiliki basis data yang akurat. Setiap program memiliki data berbeda-beda.

Kendala seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak bantuan langsung tunai dicetuskan Jusuf Kalla pada 2005, tumpang tindih dan ketidakcocokan data selalu terjadi. Akhirnya, bantuan itu menjadi tidak tepat sasaran.

Pertanyaan penting lainnya adalah apakah bansos ini mampu mempertahankan konsumsi dan mencegah kenaikan angka kemiskinan. Enny melihat jika pemerintah masih business as usual, ada 40 juta orang rentan miskin masuk ke golongan miskin. Mereka ini yang bekerja informal dan tidak memiliki jaminan kesehatan serta jaring pengaman sosial lainnya.

(Baca: Jokowi Minta Sinkronisasi Data Bansos Segera Dituntaskan)

“Lebih baik satu program saja, yang penting perlindungan sosial,” katanya kepada Katadata.co.id. Program itu kemudian dibagi sesuai zonasi. Kalau zona merah, dengan tingkat jumlah kasus positif Covid-19 tinggi, lebih baik tidak diberikan bantuan uang tunai. Hal ini untuk mencegah kejadian di Jakarta. Banyak masyarakat harus mengantri berjam-jam di bank untuk mendapatkan BLT.

Tidak perlu juga membagikan kartu prakerja. Ia menilai program ini tidak jelas karena beberapa kejadian pesertanya tidak tepat sasaran. Ada yang masih bekerja, tapi ikut pelatihan.

Cara sederhana melihat efektivitas bansos adalah data Badan Pusat Statistik terkait inflasi April lalu. Ketika itu masuk Ramadan, tapi inflasinya hanya 0,08%. Padahal, bulan puasa biasanya menjadi momen untuk menggenjot konsumsi masyarakat. “Berarti program-program bansos tidak efektif,” ujarnya.

(Baca: Prosedur BLT Dipangkas, Verifikasi Data Penerima Tak Melalui Pemda)

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah pun berpendapat anggaran bansos lebih Rp 100 triliun tidak cukup mencegah masyarakat masuk ke jurang kemiskinan. Ada tiga skenario yang dibuat oleh CORE soal ini.

Pertama, skenario berat. Jumlah penduduk miskin bakal mencapai 30,8 juta orang atau 11,7% dari total penduduk atau bertambah 5,1 juta orang. Asumsinya, penyebaran Covid-19 semakin meluas pada Mei 2020 tetapi tidak sampai memburuk. Pembatasan sosial berskala besar atau PSBB berlaku di beberapa kota di Jawa dan satu-dua kota di luar pulau itu.

Kedua, skenario lebih berat. Asumsinya, penyebaran virus corona lebih luas lagi, begitu pula dengan aturan PSBB. Angka kemiskinan dapat naik menjadi 33,9 juta orang atau 12,8% dari total penduduk.

Ketiga, skenario sangat berat. Kondisi ini terjadi ketika penyebaran Covid-19 tidak terbendung lagi. PSBB berlaku luas, baik di Jawa maupun luar Jawa, dengan standar ketat. Jumlah penduduk miskin bakal mencapai 37,9 juta orang atau 14,3% dari total penduduk.

(Baca: Tiga Kota di Jabodetabek Belum Tersentuh Beras Bansos dari Bulog)

Selanjutnya: Bagaimana Jaring Pengaman Sosial di Negara Lain?

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria, Pingit Aria, Antara