Corona Hantam Bisnis Properti dari Pailit hingga Tunda Proyek

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Kawasan Perumahan Forest Hill di Jl. Raya Kabasiran, Kabasiran, Parung Panjang, Bogor, Kamis (10/9/2020).
Penulis: Happy Fajrian
Editor: Yuliawati
14/9/2020, 08.00 WIB

Beberapa buruh tampak bekerja membangun rumah-rumah separuh jadi yang menyebar di perumahan Forest Hill, Parung Panjang, Bogor saat Katadata berkunjung pada Kamis (10/9). Sebagian rumah ada yang  sudah rampung, namun hanya sedikit yang dihuni.

Layaknya perumahan lain, tak ada tanda apa pun yang menunjukkan perumahan Forest Hill bagian dari sengketa hukum. Perumahan tersebut merupakan aset milik PT Hanson International Tbk, yang dinyatakan pailit pada 12 Agustus 2020. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas perusahaan milik Benny Tjokrosaputro ini diajukan oleh Lanny Nofianti.

Selain itu, perumahan yang dikembangkan PT Mandiri Mega Jaya, anak usaha Hanson, menjadi obyek sitaan kejaksaan terkait kasus korupsi PT Auransi Jiwasraya (Persero) yang menyeret Benny Tjokro.

Belitan masalah yang dihadapi Forest Hill ini membuat khawatir pemilik rumah. Anita, bukan nama sebenarnya, berusaha menyelamatkan asetnya dengan mengurus Akta Jual Beli (AJB) dengan pengembang dan bank. Anita menjadi agak lega ketika pihak pengembang mengatakan bahwa aset yang telah diperjualbelikan dan tercatat transaksinya di bank tidak akan disita.

Direktur Hanson Adnan Tabrani menyatakan kegiatan pengembangan properti yang dikerjakan oleh Group Hanson akan tetap berjalan meski perusahaan telah dinyatakan pailit. "Pekerjaan membangun rumah terus dilanjutkan hingga serah terima dan pencatatan penjualan," kata Adnan dihubungi Kamis (10/9).

Adnan menjanjikan hak-hak konsumen diberikan meski perusahaan juga menghadapi efek buruk pandemi corona. "Kegiatan properti yang dilaksanakan oleh cucu perusahaan Hanson jalan terus walaupun karena corona," kata dia.



Selain Forest Hill, Hanson memiliki proyek Millenium City yang bekerja sama dengan Century Properties. Perusahaan juga tengah menangani sejumlah pengembangan proyek properti, di antaranya Citra Maja Raya yang ditangani anak usaha Hanson, Armidyan Karyatama bersama dengan Ciputra Development.

Direktur Independen Ciputra Tulus Santoso menjelaskan bahwa proyek kerja sama Citra Maja Raya dengan Hanson terbagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama sudah selesai dan nyaris terjual seluruhnya, tahap kedua sedang berlangsung, sedangkan tahap ketiga belum dimulai. “Joint venture dengan anak usaha Hanson untuk Citra Maja tahap 1, sampai sekarang sudah hampir habis,” ujarnya.

Selain Hanson, Cowell Development merupakan perusahaan properti yang diputus pailit pada 17 Juli 2020. Pengadilan niaga mengabulkan permohonan pailit yang diajukan Multi Cakra Kencana Abadi satu bulan sebelumnya atas utang sebesar Rp 53,4 miliar yang jatuh tempo pada 24 Maret 2020.

Saat ini perusahaan pemilik kompleks perbelanjaan Atrium Senen Jakarta Pusat ini tidak memiliki proyek baru. Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Cowell memiliki empat proyek pengembangan yakni Melati Mas Residence, Serpong Park, Serpong Terrace, dan Laverde.

Dari empat proyek ini seluruhnya sudah terjual habis kecuali Laverde yang stoknya masih tersisa 45 unit dan Serpong Park yang hanya tersisa 1 unit. Adapun lahan milik perusahaan yang belum dikembangkan hanya tersisa kurang dari 2% dari total luas lahan 189,6 hektare (ha).

Presiden Direktur Cowell Irwan Susanto mengatakan bahwa putusan pailit ini membuat kontraktor yang bekerja sama dengan perusahaan menghentikan pekerjaan pembangunan proyek. Meski demikian perusahaan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan proyeknya. “Perseroan masih mengupayakan dana guna memenuhi penyelesaian proyek pembangunan,” ujar Irwan melalui keterbukaan informasi BEI, dikutip Jumat (11/9).

Gugatan pailit merupakan momok perusahaan di masa pandemi corona. Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat menilai banyaknya gugatan pailit yang melilit emiten lantaran dampak Covid-19 membuat kinerja perusahaan merugi. Dampaknya tidak mampu membayar kewajibannya kepada kreditur maupun konsumen.

“Kondisi sekarang perusahaan tersebut mengalami kesulitan karena tak memiliki pendapatan. Banyak perusahaan yang kinerjanya menurun. Ditambah kondisi ini tidak bisa dinegosiasikan. Alhasil, konsumen menggugat pailit,” kata Samsul beberapa waktu lalu.

Ketua REI Totok Lusida menyarankan sebaiknya konsumen tak langsung menggugat perusahaan properti ke pengadilan bila menghadapi masalah pembangunan properti.

Gugatan pailit tidak hanya merugikan bagi pengembang tetapi juga konsumen. Jika gugatan pailit dikabulkan pengadilan, perusahaan dan asetnya akan dilikuidasi dengan nilai yang jauh di bawah pasaran. "Bila dua orang gugat pailit, ribuan konsumen lain yang rugi," kata dia.

Selain itu, Totok mengatakan REI tak bisa lagi membantu konsumen jika sudah melayangkan gugatan ke pengadilan. "Jangan sembarangan menggugat pailit, yang kasihan kan konsumen yang berniat baik untuk memiliki rumah," kata dia.

Perusahaan Properti Raksasa Alami Rugi Besar

Pandemi corona yang berlangsung hampir tujuh bulan pun menekan penjualan properti. Penjualan properti secara umum merosot sepanjang paruh pertama tahun ini. Menurut survei harga properti residensial Bank Indonesia (BI), penjualan properti residensial pada kuartal II turun 25,6% secara tahunan atau year on year (yoy), atau sedikit membaik dibandingkan kontraksi pada kuartal I yang mencapai 43,19% yoy.

Penjualan yang seret menimpa juga perusahaan-perusahaan raksasa seperti Bumi Serpong Damai (BSD), Summarecon Agung, hingga Ciputra Development. Kinerja emiten properti itu selama Semester I kompak anjlok.

Penjualan BSD pada semester I anjlok hingga 35% yoy, dari Rp 3,6 triliun menjadi Rp 2,34 triliun. BSD pun merugi Rp 89,3 miliar karena di saat yang sama beban meningkat dan pos pendapatan lainnya juga turun. Padahal pada semester I 2019 BSD masih meraup untung hingga Rp 2,09 triliun.

Sedangkan penjualan Ciputra Development dan Summarecon Agung masing-masing merosot 10% dan 18%. Alhasil labanya jatuh, Ciputra -42,8% yoy dan Summarecon -93% yoy.

Direktur PT Anugerah Mega Investasma Hans Kwee mengatakan kinerja emiten properti hampir seluruhnya tertekan. Dia menilai pandemi membuat pasar atau konsumen lebih mengutamakan kebutuhan pokok, seperti makanan dibandingkan aset properti. “Kebutuhan pokok yang diutamakan, apalagi orang khawatir pandemi akan berlangsung lama,” ujar Hans.  

Hans meyakini setelah pandemi berakhir konsumen akan kembali menyerbu sektor properti. Menurutnya kondisi demikian telah terjadi di Tiongkok. “Kalau kita belajar dari kasus Tiongkok, sesudah pandemi kinerja properti itu meningkat,” ujarnya.

Perusahaan Pilih Tunda Proyek Baru


Ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi corona atau kapan roda perekonomian akan kembali normal membuat perusahaan pengembang properti harus ekstra hati-hati dalam melakukan ekspansi. Alhasil banyak proyek baru yang harus ditunda, sehingga perusahaan properti fokus pada penyelesaian proyek-proyek eksisting.

Summarecon Agung misalnya, menyatakan akan menyesuaikan rencana ekspansinya tahun ini dengan kondisi pandemi. Perusahaan telah menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp 600 miliar dengan rincian Rp 300 miliar untuk akuisisi lahan dan sisanya untuk pengembangan investasi properti.

Lesunya bisnis juga membuat target pra-penjualan tahun ini diturunkan dari semula Rp 4,5 triliun menjadi Rp 2,5 triliun. “Perusahaan masih mempertimbangkan apakah akan merealisasikan akuisisi lahan sesuai anggaran capex,” kata Direktur Utama Summarecon Agung Adrianto P. Adhi pada Agustus 2020 lalu.

Summarecon saat ini masih memiliki cadangan lahan sekitar 2.200 ha yang tersebar di delapan kawasan. Selain menahan diri untuk menambah akuisisi lahan, Adrianto juga memperkirakan realisasi belanja untuk investasi properti tahun ini akan jauh lebih kecil dari anggaran yang dibuat perusahaan.

Summarecon fokus untuk memasarkan proyek-proyek eksistingnya yang rata-rata menargetkan kelas menengah. Pada pertengahan Juli lalu perusahaan meluncurkan kawasan komersial Srimaya di Summarecon Bekasi dengan harga mulai Rp 375 juta. Hanya dalam waktu 5 jam, properti itu ludes terjual.

Begitu pula dengan penjualan rumah tinggal di Blue Crystal Residence Summarecon Mutiara Makassar pada 8 Agustus yang pada tahap pertamanya langsung terjual 53 unit rumah. Perusahaan menawarkan unit di kawasan tersebut pada harga mulai Rp 900 juta hingga Rp 2,3 miliar.

Perumahan Millenium City di Parung Panjang, Bogor. (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)




Seperti halnya Summarecon, Bumi Serpong Damai memilih untuk melanjutkan proyek-proyek eksisting daripada meluncurkan proyek baru. Perusahaan berhati-hati dalam membelanjakan modalnya selama pandemi dengan tidak membeli atau membuka lahan baru.

BSD memangkas separuh anggaran capex tahun ini dari semula Rp 4-5 triliun menjadi hanya Rp 2-2,5 triliun. “BSD akan terus melanjutkan ekspansi berupa proyek-proyek yang telah berjalan serta program nasional MIQ (Move in Quickly) pada paruh kedua tahun ini dalam mengejar pencapaian target pra-penjualan 2020,” kata Direktur BSD Hermawan Wijaya.

Dia mengungkapkan bahwa program yang diluncurkan sejak akhir Maret 2020 ini merupakan program promosi ‘Ready to Move’ yang memberikan berbagai penawaran menarik bagi konsumen. Program ini pun sukses berhasil membukukan pra-penjualan Rp 650 miliar.

Ciputra Development juga memutuskan untuk tidak melakukan ekspansi lantaran masih lesunya pasar. “Kami fokus pada proyek eksisting yang masih punya potensi,” kata Direktur Independen Ciputra, Tulus Santoso, kepada Katadata.co.id, Kamis (10/9).

Sejak pandemi Ciputra menurunkan anggaran capex-nya tahun ini dari semula sekitar Rp 1,5 triliun menjadi di bawah Rp 1 triliun. Capex ini akan difokuskan untuk melanjutkan konstruksi proyek yang telah berjalan.

Analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan ketiga emiten tersebut memiliki variasi produk pada berbagai segmen yang dapat mendorong pertumbuhan penjualan di masa mendatang. “Artinya di semua segmen ada. Itu paling tidak bisa mengantisipasi penurunan permintaan,” katanya.

Head of Research Savills Indonesia Anton Sitorus mengatakan perusahaan properti yang menggarap pasar kelas menengah cenderung proyeknya tetap berjalan di masa pandemi. Kuncinya pada harga yang terjangkau dan produknya tidak berlebihan. "Proyek-proyek aktif yang dilaksanakan dengan konsisten akan memiliki peluang bagus," kata Anton.