Hampir dua pekan sekali Moreno menempuh jarak 50 kilometer mengecek perkembangan rumah yang dicicilnya dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Parung Panjang, Bogor. Setiap kunjungan dia selalu kesal dengan proses pembangunan rumah yang tak sesuai rencana.
Konstruksi rumahnya sudah molor lima bulan. Seharusnya sejak April 2020 lalu dia menerima kunci dari pengembang properti dan dapat menempati rumah tersebut.
Tapi pada April pondasi rumahnya saja belum dibangun. Hingga Juni, tak ada sama sekali perkembangan. Alasan pengembang, mereka kesulitan beraktivitas sejak pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Para buruh pun sejak PSBB memilih pulang kampung.
Ketika pemerintah mulai melonggarkan PSBB pada Juli, para buruh kembali bekerja. Ketika itu, pondasi rumahnya mulai dibangun meski tanpa tembok.
Barulah pada akhir Agustus, rumah dengan luas lahan 100 meter mulai terbentuk. Tembok batako sudah dipasang berikut kusen jendela dan pintu. Namun, belum ada plafon dan kamar mandi.
Selama proses pembangunan rumahnya itu Moreno terus mendesak pengembang. Dia pantang menyerah meski pengalaman berkontak dengan pengembang itu bikin makan hati.
Agen pengembang cenderung mengabaikannya dan tidak memberikan solusi atas keterlambatan pembangunan rumahnya. Bahkan tertundanya waktu serah terima tidak diinfokan kepada pembeli melalui telepon, email, maupun SMS.
“Saya mengejar pengembang tiap minggu, selalu saya tanyakan progresnya, hingga saya datangi kantor pusat pengembang,” kata Moreno.
Banyak yang menjadi korban keterlambatan di perumahan tersebut. Namun tak semuanya enggan berjuang, ada yang memilih membatalkan akad karena sudah kesal dengan pengembang.
Bila membatalkan perjanjian, pengembang tak akan mengembalikan uang muka sekitar Rp 40 juta dan cicilan KPR yang sudah terbayar. "Saya tak mau rugi kehilangan uang itu," kata Moreno.
Sebenarnya perumahan menjanjikan kompensasi atas keterlambatan pembangunan yakni 1% per hari per pembangunan rumah. Namun, indikator yang diberikan pengembang tidak jelas. "Detailnya tidak jelas, paling hanya mendapat kompensasi Rp 3-4 juta," kata dia.
Keluhan yang dialami Moreno juga banyak dialami konsumen lain. Berbagai keluhan muncul di akun Instagram sebuah apartemen di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Salah satu konsumen bernama Kornel mengatakan dia membeli empat unit apartemen tersebut, namun hingga saat ini pengembang belum membangun pondasi proyek perumahan. “Janjinya akan dibangun dan selesai pada 2022,” ujar Kornel.
Berdasarkan data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI terdapat 16 pengaduan terkait perumahan dari periode Januari hingga Agustus 2020. Mayoritas pengaduan terkait pengembangan proyek properti.
Staf Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo menjelaskan, secara garis besar permasalahan perumahan masih tetap sama dari tahun ke tahun, yaitu pembangunan yang mangkrak.
"Akhir-akhir ini juga ada beberapa kasus yang ditangani oleh YLKI terkait pengembang yang mengalami pailit," kata Rio kepada Katadata.co.id pada Kamis (10/9).
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida, pandemi corona yang menekan perusahaan properti berdampak serah terima sejumlah proyek perumahan terlambat. Namun, dia mengatakan pengembang tetap berkomitmen menyelesaikan pembangunan perumahannya.
Dia menyebut beberapa proyek residensial yang tetap serah terima di tengah pandemi corona. "Memang ada keterlambatan, tapi tidak akan lama. Semua akan selesai, pasti akan dibangun," ujar Totok kepada katadata.co.id pada Sabtu (12/9).
Bagi konsumen yang mengalami keterlambatan serah terima dapat mengadukannya kepada REI di provinsi masing-masing. REI akan membantu berkomunikasi dengan pihak pengembang dan mencari jalan keluar untuk konsumen.
Untuk menghindari pengembang nakal, Totok menyarankan konsumen agar tak tergiur promo berupa cicilan tanpa bunga, tanpa biaya, dan berbagai promo lainnya yang tak masuk akal. Resep aman dari penipuan yakni dengan detail memeriksa surat kepemilikan tanah pengembang.
"Periksa lahannya sudah lunas atau belum, lokasinya bagaimana, jika sudah datanya lengkap, silakan (membeli properti)," ujarnya.
Berdasarkan laporan DPD REI Jawa Barat, terdapat beberapa proyek properti di Jawa Barat yang dihentikan. Proyek-proyek tersebut mengalami perlambatan sebelum adanya virus Corona dan setelah pandemic membuat mereka menghentikan kontruksi.
Saat ini lebih dari 50% anggota REI Jawa Barat mengajukan restrukturisasi utang ke perbankan karena telah jatuh tempo. Mereka meminta penghentian pembayaran bunga atau pokok karena saat ini mereka tak mendapatkan pemasukan.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himppera) Endang Kawidjaja mengakui ada beberapa proyek properti mangkrak kala pandemi. Terutama untuk proyek residensial komersil.
Penyebabnya mereka tidak mendapatkan pendanaan dari bank seiring bank memperketat pendanaan selama pandemi. "Bank itu hanya berikan kredit konstruksi kepada orang-orang yang 90% bisa survive. Bank sangat hati-hati," ujar Endang.
Bank memperketat pendanaan tak hanya untuk kucuran dana untuk konstruksi, namun juga KPR. Akibatnya arus kas perusahaan pengembang pun terganggu.
Head of Research Savils Indonesa Anton Sitorus memberi tips buat konsumen mengurangi risiko dalam menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian. Anton menyarankan pembeli untuk mencari rumah yang sudah jadi.
"Jangan cari yang masih rencana atau gambar. Ambil proyek-proyek yang sudah selesai tapi belum laku, yang ready stock," ujar Anton.
Selain itu, Anton mengingatkan pembeli properti saat ini memiliki posisi yang kuat dibandingkan pengembang. Oleh karena itu konsumen dapat menuntut diskon tambahan. Para pengembang memang memberikan banyak diskon agar proyek yang dipasarkan dapat diserap pembeli.