Manuver Pengusaha Batik Bertahan di Masa Pandemi

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Perajin batik menyelesaikan pembuatan batik di Rumah Batik Palbatu, Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Penulis: Happy Fajrian
Editor: Yuliawati
19/10/2020, 08.00 WIB

Terinspirasi pandemi, sebuah motif batik menyerupai virus corona yang dikelilingi gelembung besar dan kecil lahir dari rumah produksi Batik Mahkota Laweyan di Solo, Jawa Tengah. Desainnya menggambarkan keterpurukan umat manusia yang seluruh aktivitas ekonomi dan sosialnya dibatasi oleh ancaman Covid-19. Uniknya, semua proses produksi batik dikerjakan oleh kaum disabilitas yang menderita tuna rungu dan tuna wicara.

Berkat keunikan baik motif dan para pekerjanya, antrean pesanan batik yang dijual ratusan ribu per helai ini mengular panjang. Rumah produksi batik yang didirikan Alpha Fabela Priyatmono pun terhindar dari gulung tikar. “Karena pekerjanya terbatas, maka yang pesan harus sabar menunggu,” kata Alpha dihubungi Katadata.co.id, pekan lalu.

Sejak pertengahan 2019, Alpha telah memperkerjakan seorang penyandang tuna rungu yang bernama Dian. Ketika virus corona masuk ke Indonesia pada Maret 2020, kawan Dian yang juga seorang tuna rungu mengeluhkan nasibnya yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Tiba-tiba muncul ide mendirikan kegiatan baru yakni batik yang khusus dikerjakan oleh kaum disabilitas," kata Alpha.

Sejak itu, Alpha pun mendirikan Batik Toeli Laweyan yang khusus diproduksi kaum disabilitas. Ada empat perajin yang mengerjakan semua proses batik mulai dari mendesain pola, membatik, hingga menjahit.

Batik bermotif virus corona ( ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/wsj.)
 




Pada masa awal pandemi, Alpha dan empat pekerjanya itu urun rembug memikirkan bisnisnya yang berantakan. Omzet di toko miliknya turun drastis hingga 75%. Mereka pun memutuskan membuat masker, daster dan perlengkapan ibadah dari bahan batik.

Ketika itu, Alpha berpikir barang-barang kebutuhan sehari-hari akan diminati masyarakat yang menjalani masa pandemi di rumah. Produk tersebut pun diperkirakan akan tetap menjadi kebutuhan masyarakat setelah pandemi usai.
Keputusan ini ternyata membuahkan hasil hingga pembeli harus antre menunggu produksi masker. “Peminatnya sangat bagus, masker bahkan bisa dijual hingga ke luar negeri,” kata Alpha.

Selain memproduksi motif virus corona, Alpha dan perajinnya berencana membuat batik yang memiliki unsur cerita seperti halnya wayang beber. "Kami berencana membuat batik wayang beber yang menceritakan sejarah Indonesia, mulai dari zaman Majapahit hingga ke pembacaan teks proklamasi,” ucap Alpha.

Alpha yang juga menjabat Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), merasa bersyukur strategi bisnis batiknya berhasil di masa pandemi. Keberuntungannya tak dirasakan pengusaha dan pedagang batik lainnya di Kampoeng Batik Laweyan Solo.  

Kampoeng Batik Laweyan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional merupakan kawasan wisata belanja, industri, edukasi, cagar budaya, sejarah, hingga wisata kuliner. Ada lebih dari 50 gerai batik yang menjual berbagai jenis batik dengan harga yang terjangkau.

Sejak pandemi, aktivitas di Kampoeng Batik merosot hingga 80% karena tak tak ada kunjungan turis sama sekali ke kawasan itu. Akibatnya banyak pengusaha yang menghentikan operasinya dan bahkan merumahkan karyawan.


Pengusaha batik asal Lampung Gatot Kartiko (54) yang berusaha mempertahankan bisnisnya di masa pandemi. Sebelum masa pandemi, omzet penjualan batik di toko miliknya, Butik Gabovira, rata-rata tiap bulan mencapai Rp 750 juta per bulan. Pada April, omzetnya jatuh hanya Rp 99 juta dan pada Mei sebesar Rp 125 juta per bulan.

Namun, Gatot melakukan beberapa upaya sehingga penjualannya mengalami kenaikan. Pada Juni, Juli dan September omzetnya berturut-turut naik Rp 200 juta, Rp 300 juta, hingga Rp 571 juta.

Gatot yang berbisnis batik selama 20 tahun dengan desain batik khusus Lampung, sejak pandemi ini mulai melirik penjualan online di beberapa market place. Gatot memberdayakan karyawannya yang masih muda untuk mengurus penjualan online. "Kalau tak bisa mencari alternatif, ya kami bakal bangkrut," kata dia.

Selain penjualan online, dia masih membuka toko dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Salah satunya menerapkan sanksi tegas bila karyawannya tak mengenakan masker dan face shield. Lewat kamera CCTV dia mengawasi gerakan karyawan. "Bila mereka melanggar, saya beri sanksi uang makan hari itu tak saya berikan. Bila sudah berulang kali, saya tak membayarkan iuran BPJS Kesehatan," kata Gatot.

Gatot juga memanfaatkan jaringan kliennya yang sudah biasa memesan batik seperti dari kantor pemerintahan dan swasta. Untuk menjaga arus kas, selama masa pandemi dia tak memproduksi batik. Dia hanya menjual stok batik yang ada di toko.

"Saat pandemi kami tidak berproduksi tapi berjualan, jadi kami mengelola stok sehingga omset bisa naik. Kami juga menghemat berbagai biaya seperti listrik," kata Gatot. Upayanya membuat dia dapat mempertahankan karyawan.

Belajar Membatik di Kampung Batik Bogor (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/wsj.)

Hanya sebagian kecil pengusaha batik dalam negeri yang dapat mempertahankan bisnisnya. Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya mengatakan banyak anggotanya yang gulung tikar. Lebih dari 50% pekerja dari anggota asosiasi yang kehilangan mata pencaharian.

Komarudin menyebutkan daerah produsen batik Trusmi di Cirebon yang sebelum pandemi terdapat 30 perajin batik di kawasan satu RT, kini hanya tinggal dua orang. "Sebagian besar beralih profesi, bekerja di industri lain atau berdagang makanan seadanya,” ujar dia.

Dia menjelaskan penjualan batik sempat bangkit ketika PSBB dilonggarkan pada Juni. Bahkan penjualan pada Juli sempat mencapai 50% dari normal setelah beberapa bulan sebelumnya anjlok hingga 90%. “Tiba-tiba Agustus corona merebak lagi dan akhirnya PSBB lagi,” kata dia.

Komarudin mengatakan pengusaha batik banyak yang melakukan pivot-pivot bisnis untuk bertahan, seperti membuat masker, mengandalkan produk yang harganya lebih terjangkau seperti daster, baju tidur, tetap berpromosi, dan mengandalkan kanal-kanal online. “Pola pikir kami ubah dari membuat batik mahal, sekarang membuat barang yang dapat mudah terjual dan terjangkau,” ujarnya.

Namun, pivot bisnis semacam ini tak dapat diandalkan selamanya untuk menopang bisnis dalam jangka panjang. Pasalnya seiring banyak pengusaha batik yang beralih ke bisnis masker dan produk-produk yang lebih terjangkau, pada akhirnya pasar akan semakin jenuh sedangkan permintaan tidak bertambah. “Harus sabar menunggu semuanya normal lagi,” kata dia.