• Citigroup menjual bisnis consumer banking atau perbankan retail di Indonesia.
  • Bisnis consumer banking, seperti kartu kredit dan kartu debit yang diterbitkan perbankan mulai ditinggalkan nasabah.
  • Fintech pembayaran seperti Gopay, Shopeepay, OVO dan DANA telah menggeser transaksi kartu kredit dan kartu debit.

Perusahaan raksasa keuangan global Citigroup baru saja memutuskan menarik bisnis consumer banking atau perbankan retailnya di Indonesia. Citi merupakan bank pertama yang mengenalkan layanan consumer banking, kartu kredit kepada masyarakat Indonesia pada 1989.

"Citi akan memulai proses penjualan bisnis consumer bank setelah adanya pengumuman Citi akan keluar dari bisnis consumer di 13 negara, termasuk di Indonesia, ujar Tito Pasaribu, Corporate Affairs Citi Indonesia, dalam pernyataan tertulis, Senin (19/4).

Consumer banking adalah layanan perbankan yang diperuntukan bagi nasabah retail. Ada berbagai layanan dasar dari perbankan retail, seperti pinjaman pribadi, kredit tanpa agunan (KTA), kartu debit, dan kartu kredit.

Bagaimana kondisi bisnis consumer banking di Indonesia, sehingga Citigroup memutuskan untuk menutupnya?

Ketua Bidang Pengembangan Kajian Ekonomi Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan sebenarnya potensi bisnis consumer banking masih besar. Namun, saat ini produknya sudah mengarah ke digital. Produk kartu kredit dan kartu debit dalam layanan consumer banking kemungkinan akan berkurang.

Menurutnya, Citi pasti sudah melihat bagaimana pasar dan ekosistem yang dia miliki di bisnis consumer banking. "Mungkin Citi melihat bisnis ini terlalu berisiko," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (19/4).

Direktur Riset ‎Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan bisnis consumer banking atau retail banking saat ini mendapatkan tantangan yang berat. Bisnis perbankan ini berhadapan langsung dengan perusahaan teknologi finansial (fintech).

Fintech mampu memberikan pelayanan sangat mudah, cepat, dan efisien, karena tidak membutuhkan banyak kantor cabang dan tenaga kerja. Sementara beban biaya tetap bank masih relatif tinggi, seperti biaya gedung kantor dan karyawan.

"Bank harus melakukan perubahan yang cukup besar mengimbangi Fintech agar bisa bersaing memperebutkan pasar retail yang saat ini memang menurun akibat pandemi," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (19/4).

Menurutnya, pasar nasabah retail masih akan tumbuh mengikuti pertumbuhan ekonomi yang akan pulih setelah pandemi berakhir. Namun, persaingan dengan fintech juga akan lebih ketat. Apalagi, layanan fintech juga akan lebih berkembang.

Di sisi lain, kartu kredit yang menjadi salah satu layanan retail perbankan juga semakin menurun. Kartu kredit sebagai salah satu alternatif sistem pembayaran semakin tergerus oleh kehadiran alat pembayaran digital baik yang dikeluarkan oleh bank maupun non-bank seperti Ovo, Shopeepay, Gopay, dan dompet digital lainnya.

 

Dompet digital akan semakin diminati pasar, apalagi didukung dengan iming-iming promo yang sangat menarik. Alat pembayaran ini juga terkait langsung dengan belanja online yang saat ini menjadi tren.

Saat ini kartu kredit lebih banyak digunakan pada transaksi tertentu utamanya yang offline. Sementara untuk transaksi online sudah semakin banyak yang menggunakan dompet digital.

Penurunan penggunaan kartu kredit dialami perbankan nasional saat ini, salah satunya bank pelat merah PT Bank Nasional Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI). General Manager Divisi Bisnis Kartu BNI mengatakan pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat tetap di rumah, menjadi penyebabnya.

"Di industri sekitar 30% penurunannya, tapi di BNI penurunan lebih kecil lebih dari 10% tapi tak sampai 20%," ujarnya, dalam dalam salah satu program "Digital Solution with BNI Credit Card" di CNBC Indonesia TV, Jumat (9/4).

Dia mengatakan penurunan ini terjadi karena adanya perubahan kebiasaan dari pemegang kartu. Mereka yang biasanya travelling, menginap di hotel hingga dine in di restoran terpaksa harus tetap di rumah saja.

Pemegang kartu kredit fokus kepada transaksi sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan pokok dan fokus kepada kesehatan. Tren transaksi kartu kredit juga berubah dari yang biasanya offline menjadi online. Ini terlihat dari naiknya transaksi pada e-commerce alias belanja online. Imbas dari ditutupnya mall, pemegang kartu memanfaatkannya dengan cara belanja online.

Grace mengungkapkan tahun ini transaksi kartu kredit sudah mulai naik. Hingga kuartal pertama 2021, transaksi kartu kredit sudah tumbuh 0,5% dibanding Desember 2020.

Menurutnya, pemegang kartu sudah mulai bertransaksi. Hal ini imbas dari pusat perbelanjaan yang sudah dibuka hingga mereka sudah transaksi makan di restoran. Meski begitu, dia menegaskan bahwa transaksi e-commerce tak menurun.

"Setelah masa pandemi, pertumbuhan itu sangat meningkat tajam. Kalau di industri tumbuh 39-43%," ujarnya.

Pandemi telah membuat budaya transaksi masyarakat bergeser ke arah digital. Menurut Aviliani, lambat laun masyarakat sudah mulai meninggalkan kartu kredit dan kartu debit yang dikeluarkan perbankan.

Masyarakat lebih senang menggunakan dompet digital ketimbang kartu debit. Kartu kredit pun mulai banyak ditinggalkan, seiring menjamurnya fintech yang menawarkan pinjaman dengan mudah. Fintech pembayaran pun sudah mulai marak masuk ke transaksi offline dengan menggunakan kode QR.

Di era digital, banyak perusahaan fintech dapat menyediakan semua layanan yang sama seperti bank ritel melalui platform Internet dan aplikasi smartphone. Kartu debit digantikan dengan dompet digital, seperti Gopay, Shopeepay, Ovo, dan Dana.

Fintech pembayaran juga sudah banyak yang mengeluarkan fitur cicilan dan bayar belakangan (pay later), yang bisa menggantikan kartu kredit. Fintech peer-to-peer atau pinjam meminjam, seperti investree, dan Modalku bisa menggantikan layanan kredit tanpa agunan (KTA) perbankan.

Layanan fintech lebih mudah diakses oleh masyarakat. Semua transaksi dan pendaftaran dilakukan secara online. Fintech juga menawarkan banyak promo yang membuat konsumen tertarik. Di sisi lain, Fintech bisa menang dari bank, karena lebih efisien.

Hasil survei Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) bertajuk 'Persepsi Pasar Indonesia Terhadap Pemanfaatan Fitur Pembayaran Paylater', menunjukkan fitur paylater lebih diminati masyarakat. Sekitar 77,20% dari total 2.000 responden menyatakan akses paylater lebih mudah dibandingkan kartu kredit.

Sebanyak 60,5% sepakat kemudahan permohonan pengajuan kredit jadi keunggulan utama. Keunggulan fitur pay later lain yang diungkap dalam survei tersebut adalah batas transaksi minimal yang kecil. Pengguna juga bisa menetapkan batas limit transaksi belanja bulanannya. Kemudian tidak ada biaya admin jika tak digunakan dan bisa berhenti sewaktu-waktu dengan mudah secara online.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin