PKPU Sritex, Puncak Gunung Es Masalah Industri Tekstil Tanah Air

sritex.co.id
Seorang pekerja menjahit pakaian militer di pabrik Sritex.
Penulis: Pingit Aria
28/4/2021, 06.40 WIB
  • Pemulihan ekonomi belum cukup mendorong industri tekstil Tanah Air.  
  • Ramadan dan Lebaran tak bisa diharapkan mengerek penjualan.
  • Pemerintah berencana memberlakukan tarif safeguard untuk produk tekstil impor.

PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) terjerat kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Apakah masalah yang menimpa induk bisnis Grup Sritex ini mencerminkan kondisi industri tekstil yang lesu setelah dihantam pandemi Covid-19?

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai momentum pemulihan belum terlalu dirasakan oleh sektor industri tekstil. Meski, secara umum, Prompt Manufacturing Index (PMI) pada kuartal I 2021 tercatat sebesar 50,01% atau baik dari 47,29% pada kuartal sebelumnya.

Sekretaris Jenderal (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menyatakan, memang terdapat peningkatan utilisasi pada kuartal I 2021 dibanding kuartal IV 2020, terutama di hulu seperti serat dan benang. Hal itu tercermin dari utilisasi produksi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada Maret 2021 yang hampir 90% untuk polyester dan 75% untuk filament.

Bagaimanapun, Redma menegaskan bahwa tidak ada ekspansi di bagian hilir sektor tekstil, seperti pakaian jadi. “Memang dari sisi utilisasi mengalami peningkatan, tapi kalau secara keseluruhan kami belum masuk dalam fase ekspansi,” katanya, Selasa (27/4) lalu.

Redma menjelaskan, pada akhir Maret 2021 pasar tekstil mulai menurun, terutama di hilir seperti produk pakaian jadi. Kondisi ini merupakan anomali, sebab menjelang Ramadan, biasanya terjadi peningkatan permintaan. “Daya beli memang ada, tapi tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.

Ia juga menilai momentum Lebaran tidak bisa diharapkan meningkatkan permintaan tekstil dan pakaian dalam negeri. Sebab, masyarakat lebih memilih membeli pakaian jadi impor secara online dibanding  produk yang dijual para peretail di toko offline.

Lebih lanjut, Redma berharap pemerintah dapat menekan volume impor di industri tekstil terutama pakaian jadi. “Sebab, walaupun pemerintah kasih insentif fiskal, tax allowance atau tax holiday, kalau tidak punya pasar ya tidak bisa jalan,” ujar dia.

Masalah Impor

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, impor produk pakaian jadi memang mengancam industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dalam negeri.

“Serbuan impor ini sangat menganggu industri kecil dan menengah, karena akan menyulitkan pemasaran produk-produk dalam negeri,” kata Enny dalam webinar yang digelar di Jakarta, Kamis (22/4) lalu.

Seperti diketahui, impor produk tekstil saat ini bisa dari Tiongkok dan negara-negara ASEAN bisa dilakukan tanpa bea masuk. Enny mengatakan, hal ini jadi menjadi sentimen buruk bagi investasi dan berdampak pada neraca perdagangan, yang secara tidak langsung berpotensi melemahkan konsumsi. Jika itu terjadi, pemulihan ekonomi dari dampak pandemi akan berjalan lebih lambat.

Menurut dia, industri tekstil di Indonesia melibatkan tenaga kerja yang sangat besar, sehingga diperlukan adanya keberpihakan dari Pemerintah di sisi regulasi. “Pemerintah perlu memberikan perlindungan pasar dalam negeri dari impor yang berlebihan,” katanya.

Menurut data BPS, pada tahun 2020 ekspor tekstil senilai US$ 10,55 miliar, sementara impornya senilai US$ 7,20 miliar. Meskipun surplus, Indef menyoroti komposisi ekspor impor TPT tahun 2020 tersebut paling banyak didominasi adalah pakaian jadi, dibanding benang, serat, dan bahan baku tekstil lainnya.

Simak Databoks berikut: 

Sementara itu, Kementerian Perindustrian mengusulkan sejumlah tarif safeguard guna melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor. Usulan tersebut telah bergulir melalui Kementerian Perdagangan ke Kementerian Keuangan.

“Masih ada satu tahapan lagi di Kementerian Keuangan, baru dapat ditetapkan oleh Menteri," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh di Jakarta, Senin (26/4) malam.

Elis mengatakan Kemenperin mengusulkan tarif safeguard bervariasi pada produk-produk garmen. Ia mencontohkan, untuk atasan casual, termasuk produk T-shirt, diusulkan tarif Rp27.000 untuk setiap produk impor yang masuk.

"Jadi, ketika ada atasan casual dari Tiongkok sebut saja, masuk dengan harga Rp 20.000, dikenakan safeguard Rp 27.000, harga yang masuk ke Indonesia menjadi Rp 47.000," ujarnya.

Dengan harga demikian, ia berharap industri dalam negeri mampu bersaing dengan memproduksi jenis pakaian serupa, bahkan dengan harga yang relatif lebih murah.

Jenis produk lain seperti outer seperti jaket diusulkan untuk dikenai tarif safeguard sebesar Rp 63.000 per item.

Sedangkan, untuk produk headwear atau hijab, tarif yang diusulkan adalah Rp 19.800 per lembar. Elis mengatakan serbuan impor hijab dari Tiongkok harus betul-betul diantisipasi, karena harganya bisa hanya Rp 3.000-6.000 per lembar.

Kemudian untuk produk gamis, Kemenperin mengusulkan tarif sebesar Rp 59.000 per lembar. Usulan ini merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai kiblat pakaian Muslim dunia. "Selain itu, gamis dan terusan itu banyak yang diproduksi oleh industri kecil dan menengah dalam negeri," ujarnya.

Ia menambahkan Kemenperin memilih untuk mengusulkan harga pasti dan bukan persentase untuk tarif safeguard garmen, karena mekanisme tersebut dinilai lebih tepat sasaran. Adapun penentuan besaran tarif yang diusulkan tersebut diformulasikan dari perbedaan rata-rata harga impor dengan harga jual di dalam negeri.

Kondisi Sritex

Sritex merupakan salah satu pemain besar dalam industri tekstil Tanah Air. Dalam dua bulan terakhir, empat perusahaan kompak menggugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Sri Rejeki Isman Tbk. Selain induknya, lima anak usaha, hingga pemilik Sritex pun ikut digugat secara beruntun.

Berdasarkan data Pengadilan Negeri Semarang, dua kreditur, PT Swadaya Graha dan PT Indo Bahari Ekspress menggugat PKPU anak usaha Grup Sritex yakni, PT Rayon Utama Makmur.

Selanjutnya, pada 19 April 2021, kreditur lain, CV Prima Karya menggugat PKPU induk usaha, Sri Rejeki Isman. Tak hanya itu, tiga anak usaha Sritex pun terseret, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Rayon Utama Makmur, PT Bitratex Industries, PT Primayudha Mandirijaya.

Tak berselang lama, PT Bank QNB Indonesia Tbk menggugat anak usaha Sritex yang lain, PT Senang Kharisma Textil. Yang menarik, Bank QNB juga turut menggugat pemilik Sritex, Iwan Setiawan Lukminto dan sang istri, Megawati.

Khusus menanggapi gugatan PKPU CV Prima Karya, manajemen Grup Sritex juga menyatakan akan mengikuti dan menghormati proses hukum yang berlaku. “Kami berharap tindakan CV Prima Karya bukan atas intervensi pihak-pihak yang tidak memahami hubungan bisnis yang sudah terjaga baik,” ujar Corporate Communication Sri Rejeki Isman, Joy Citradewi dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/4) lalu.

Ia menjelaskan, perusahaan memperkirakan permintaan tekstil membaik seiring kehadiran vaksin Covid-19 dan pemulihan ekonomi pada 2021. Namun, pada saat bersamaan, beberapa mitra dari sektor perbankan asing menarik fasilitas keuangan secara terstruktur dan masif.

Simak Databoks berikut: 

"Tujuan utama kami tetap jelas, yaitu mempertahankan operasional perusahaan di mana lebih dari 17.000 karyawan (50.000 dalam Sritex Group) menumpukan hidupnya sebagai mata pencaharian," demikian keterangan tertulis perseroan.

Sritex memastikan operasional perusahaan yang berbasis di Solo ini tetap berjalan dan tidak terganggu oleh kasus hukum.

Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2020, total utang Sritex menembus US$ 1,18 miliar atau setara Rp 17,1 triliun (Kurs RTI 1 US$ = Rp 14.524). Padahal total aset Sritex hanya US$ 1,85 miliar atau setara Rp 26,8 triliun. Akumulasi utang itu menyebabkan arus kas menjadi minus US$ 59,24 juta atau Rp 860,4 miliar.

Pada awal April 2021, Moody's Investors Service menurunkan Corporate Family Rating (CFR) PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), dari B3 menjadi Ca dengan prospek negatif.

"Peringkat tersebut mencermikan ketidakpastian yang signifikan atas keberlanjutan struktur permodalan Sritex saat ini dan risiko bahwa kondisi likuiditas Sritex yang menantang dapat menyebabkan adanya percepatan pembayaran kewajiban perusahaan dalam waktu dekat," kata Analis Moody's Stephanie Cheong dalam risetnya, Jumat (9/4). 

Reporter: Lavinda, Antara, Cahya Puteri Abdi Rabbi