- Aturan tax amnesty jilid II akan masuk dalam rancangan undang-undang ketentuan umum perpajakan.
- Anggota DPR belum sepakat dengan rencana pengampunan pajak.
- Ekonom berpendapat tax amnesty seharusnya diberikan sekali seumur hidup, lebih dari itu memunculkan moral hazard.
Wacana pengampunan pajak alias tax amnesty jilid II muncul. Pemerintah berencana memasukkannya dalam rancangan undang-undang atau RUU ketentuan umum perpajakan dan tata cara perpajakan (KUP).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RUU itu juga akan mengatur pajak penghasilan (PPh) pribadi dan badan, pajak penjualan barang mewah (PPnBM), cukai, dan pajak karbon.
Presiden Joko Widodo pun sudah berkirim surat dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas rancangan aturan itu. “Hasilnya kita tunggu pembahasan dengan DPR,” kata Airlangga pada Rabu pekan lalu.
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyambut positif rencana tersebut. “Saya mendukung penuh inisiatif pemerintah kembali mengadakan tax amnesty yang dikonsepkan dalam RUU KUP,” katanya, dikutip dari Antara.
Legislator dari Partai Golkar itu, seperti juga Airlangga, meyakini pengampunan pajak akan berefek ganda. Tak hanya menutup kekurangan atau shortfall penerimaan pajak, tapi juga membantu dunia usaha.
Pimpinan DPR, menurut dia, telah menerima surat Presiden Jokowi perihal kebijakan tax amnesty yang masuk dalam RUU KUP. Rancangan ini pun telah masuk program legislasi nasional atau Prolegnas Prioritas 2021.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu memperkirakan tax amnesty akan disambut positif kalangan dunia usaha. “Ini adalah big bang tax incentive bagi dunia usaha dan para pengusaha untuk keluar dari resesi akibat pandemi Covid-19,” katanya.
Ada dua catatannya tentang pengampuan pajak ini, berdasarkan pengalaman pemerintah pada tax amnesty jilid pertama di 2016. Pertama, langkah ini harus didukung sosiliasi gencar, durasi pelaksanaan lebih panjang, dan regulasi lebih sederhana.
Kedua, pemerintah perlu menuntaskan piutang pajak sangat besar yang tidak bisa ditagih. “Persoalan itu harus dibuatkan konsep penyelesaiannya lewat tax amnesty kedua nanti,” ujar Misbakhun.
DPR Belum Sepakat Soal Tax Amnesty
Tak semua anggota Dewan sepakat dengan Misbakhun. Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel menyebut pengampunan pajak kedua harus jelas tujuan dan target sasarannya.
Pemberian pengampuan pajak jilid pertama, menurut dia, belum mampu menjaring uang pengusaha yang disimpan di luar negeri untuk kembali ke Tanah Air.
“Jangan sampai cuma memutihkan dana di luar negeri tapi gagal melakukan repatriasi. Harus ada kombinasi keduanya,” katanya dalam keterangan tertulis pada Sabtu lalu.
Dalam program pengampunan pajak 2016, deklarasi harta warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri terbesar berasal dari Singapura, yakni mencapai Rp 741,59 triliun. Nilai ini 71,6% dari total deklarasi harta luar negeri senilai Rp 1.036 triliun, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Pengampunan pajak harus diberikan kepada pelaku ekonomi kecil. Tak hanya fokus pada pengusaha besar.
Pemberian tax amnesty pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat menjadi wujud dukungan pemerintah. Dukungan pemerintah terhadap ekonomi kecil akan memiliki multiplier effect karena mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut anggota Dewan masih mengkaji dan membahas lebih rinci soal pengampunan pajak bersama pemerintah. “Kami juga akan memperhatikan beberapa catatan evaluasi pelaksanaan tax amnesty pada 2016,” ucapnya.
Polisiti Partai Gerindra itu mengatakan, pembahasaanya melibatkan masukan dari akademisi, pengusaha, dan UMKM. Ia berharap kehadiran RUU KUP nantinya dapat mendorong penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Tax amnesty, menurut anggota Komisi XI DPR Fauzi H Amro, hanya memanjakan pengusaha kelas atas. Karena itu, kebijakannya tidak perlu diteruskan lagi.
Selain itu, pemerintah belum memberi laporan formal mengenai dampak amnesti pajak pertama terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Berhentilan memanjakan para pengusaha, apalagi saat APBN lagi mengalami defisit karena pandemi,” ucapnya.
Pemasukan dari pajak seharusnya digenjot, bukan dipangkas. Berdasarkan data Kementerian Keuangan per akhir November 2020, penerimaan negara tercatat Rp1.423 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp2.306,7 triliun.
Penerimaan masih minim, sedangkan belanja melonjak masih terjadi tahun ini. ”Pada kuartal I-2021, APBN kembali mengalami defisit sebesar Rp144,2 triliun," ujar politikus dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu.
Ditambah lagi, rasio penerimaan pajak negara terhadap produk domestik bruto atau PDB terus turun. Pada 2008 angkanya 13,3%, lalu turun menjadi 9,76% pada 2019. “Maret lalu hanya 7,32%, rasio yang rendah sejak era Orde Baru,” katanya.
Wibawa Pemerintah Jadi Taruhan dalam Tax Amnesty
Usulan pengampunan pajak dianggap blunder pemerintah untuk mendongkrak penerimaan negara. “Ya buat apa bayar pajak. Toh, pemerintah memberikan tax amnesty berjilid-jilid,” kata peneiti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira.
Pemberian amnesti pajak jilid dua hanya menimbulkan dampak negatif ke perekonomian. Dalam pelaksanaannya yang pertama, tidak terbukti dapat meningkatkan penerimaan negara jangka panjang.
Terbukti, pada periode 2018 sampai 2020, rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3%. “Rasio pajak bukannya naik, malah melorot terus. Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty,” ujar Bhima.
Pengampunan pajak yang berulang-ulang rawan menjadi sarana pencucian uang lintas negara. Mereka yang melakukan kejahatan dapat dengan mudah memasukkan uand dari luar negeri ke Indonesia.
Kebijakan amnesti pajak juga berpotensi menciptakan ketimpangan antara kaya dan miskin. Apalagi, selama pandemi ini sudah banyak kebijakan yang pro-korporasi, seperti penurunan PPh badan dari 25% menjadi 20% hingga 2022. Lalu, ada pula diskon PPnBM untuk mobil. Sedangkan masyarakat umum akan terkena kenaikan pajak PPN-nya.
Pemerintah seharusnya mengejar wajib pajak yang tidak ikut tax amnesty 2016. “Fokus saja mengatasi pandemi. Kalau teratasi, ekonomi akan pulih dan penerimaan pajak kembali meningkat,” ujar Bhima.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, tax amnesty seharusnya diberikan sekali seumur hidup. Kalau diberikan dalam jangka waktu yang begitu dekat justru tidak efektif dan memunculkan moral hazard.
Seharusnya, pemerintah melakukan penegakkan hukum setelah tax amnesty jilid pertama rampung. Mereka yang tidak mengikuti pengampunan pajak dan terbukti melanggar harus diproses hukum lebih lanjut. “Bukan malah diberikan tax amnesty lanjutan,” kata Piter.
Saat ini memang banyak pelaku ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. Yang mereka butuhkan bantuan mengatasi cash flow yang negatif, seperti keringanan pajak. “Tapi bukan tax amnesty,” ucapnya.
Negara telah mengalami banyak kerugian karena pelaku ekonomi yang tidak taat pajak. Lalu, sekarang akan ada pengampuan pajak. Kredibilitas dan wibawa pemerintah bakal jatuh. Piter menyebut tax amnesty jilid dua itu sebagai perlakuan tak adil pemerintah terhadap mereka yang patuh pajak.
Siang tadi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut penerimaan pajak hingga April 2021 mencapai Rp 374,9 triliun. Angka ini sekitar 31% dari target total tahun ini yang sebesar Rp 1.229,6 triliun.
Realisasi tersebut terkontraksi 0,46% secara tahunan. Namun, pertumbuhannya masih lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang minus 3%.
Penerimaan pajak, menurut dia, mulai mengalami perubahan arah ke perbaikan. “Tidak semua sektor pulih, tapi ada yang membaik cukup nyata,” kata Sri Mulyani.
Beberapa jenis pajak yang mengalami pemulihan antara lain PPh badan yang tumbuh mencapai 31,1%. PPN dalam negeri juga membaik. Meskipun secara neto terkontraksi, namun secara bruto tumbuh 6,4 persen.
Penyumbang bahan: Muhammad Fikri (magang)