Utang Garuda Membengkak US$ 5 Miliar di 2020
Hingga akhir 2019 total utang atau liabilitas Garuda yang tercatat dalam dalam laporan keuangan hanya US$ 3,73 miliar. Ini terdiri dari liabilitas jangka pendek US$ 3,26 miliar dan liabilitas jangka panjang US$ 477,22 juta. Namun, belum setahun berselang, nilainya meningkat hingga hampir tiga kali lipat.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2020, total liabilitas Garuda mencapai US$ 10,36 miliar. Liabilitas jangka pendek mengalami peningkatan 44% menjadi US$ 4,69 miliar. Sementara liabilitas jangka panjang kenaikannya sangat tinggi, menjadi US$ 5,67 miliar.
Mengutip penjelasan laporan keuangan Garuda Indonesia kuartal III-2020, lonjakan nilai liabilitas terjadi karena pada tahun lalu perseroan menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73. Ini membuat liabilitas sewa pembiayaan naik hingga US$ 5,07 miliar, menjadi US$ 5,12 miliar.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) memang mulai memberlakukan PSAK 73 pada tahun lalu. Ketentuan ini mengubah pembukuan transaksi sewa dari sisi penyewa (lessee). Penyewa harus membukukan hampir semua transaksi sewanya sebagai sewa finansial (financial lease).
Pembukuan sewa operasi (operating lease) hanya boleh dilakukan atas transaksi sewa yang kurang dari setahun dan bernilai rendah. Konsekuensinya, perusahaan harus mencatatkan aset dan kewajiban sewa di dalam neraca keuangan. Pencatatan ini bisa mempengaruhi rasio utang dan rasio pengembalian aset.
Demi menyelamatkan Garuda dari lilitan utang dan kinerja perusahaan yang terpuruk akibat pandemi, saat ini pemerintah sedang dalam proses memberikan pinjaman ke Garuda lewat obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond (MCB) yang diterbitkan Garuda.
Garuda akan menerbitkan surat utang dengan nilai maksimum Rp 8,5 triliun dengan tenor selama 7 tahun. Setelah tenornya habis, obligasi ini akan dikonversi menjadi saham baru melalui mekanisme penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement.
Dana tersebut akan digunakan untuk memperbaiki posisi keuangan GIAA, pembiayaan operasional, dan membantu keberlangsungan usaha. Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan hingga Mei lalu, surat utang yang sudah diterbitkan Garuda baru Rp 1 triliun. Masih ada Rp 7,5 triliun lagi yang belum bisa diterbitkan karena masalah adminstrasi.