Jurang Orang Kaya dan Miskin yang Terus Melebar Karena Pandemi

123rf.com/Artisticco LLC
Ilustrasi ketimpangan ekonomi, antara orang kaya dan miskin.
Penulis: Sorta Tobing
19/7/2021, 19.54 WIB
  • Pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020 justru membuat jumlah orang kaya Indonesia naik 61,69%.
  • Jumlah orang miskin tahun ini diprediksi naik karena tekanan ekonomi yang lebih berat dibandingkan 2020.
  • Upaya mereduksi ketimpangan dapat melalui pengenaan pajak yang lebih tinggi untuk orang kaya.

Jurang ketimpangan antara yang kaya danmiskinn semakin melebar sejak pandemi corona. Data lembaga keuangan Credit Suisse, bertajuk Global Wealth Databook 2021, yang terbit pada pekan lalu menyebut jumlah orang kaya di Indonesia melonjak 61,69% pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.

Yang termasuk dalam kategori itu adalah penduduk dengan kekayaan bersih lebih US$ 1 juta atau Rp 14,5 miliar. Jumlahnya mencapai 171.740 orang pada 2020.

Untuk penduduk dengan kekayaan lebih US$ 100 juta atau Rp 1,45 triliun pada tahun lalu mencapai 417 orang. Jumlah ini naik 22,29% dibandingkan 2019. 

Laporan tersebut juga menunjukkan jumlah miliuner dunia diperkirakan mencapai 56,1 juta orang pada akhir 2020. Angkanya naik 5,2 juta dibandingkan tahun sebelumnya. 

Naiknya jumlah orang kaya dunia tersebut menunjukkan nilai aset yang mereka miliki tidak terpengaruh gonjang-ganjing ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun, ada negara yang jumlah orang kayanya menyusut. 

Brasil mengalami penyusutan jumlah miliuner terbesar. Dari 315 ribu miliuner pada 2019, turun 34,3% atau 108 ribu orang. Alhasil, tersisa 207 ribu orang yang masuk golongan kaya pada 2020. Berikut grafik Databoks negara yang mengalami penyusutan miliuner.

Kembali ke Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah orang miskin semakin bertambah sejak pandemi. Angkanya pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang dari September 2019.

Tingkat ketimpangan pengeluaran atau indeks gini ratio pada Maret 2021 menurun, dari 0,385 pada September 2020 menjadi 0,384. Namun, ketimpangan terutama menyempit di wilayah pedesaan, tetapi melebar di wilayah perkotaan.  

Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, angka ketimpangan ini masih melebar dibandingkan Maret tahun lalu sebesar 0,381. "Gini ratio menunjukkan tingkat ketimpangan pengeluaran dengan indeks 0 dan 1. Semakin mendekati , berarti semakin timpang pengeluaran antar kelompok penduduknya." katanya pada Kamis lalu.

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 6,56%, naik menjadi 7,38% pada Maret 2020. Untuk persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 12,60%, naik menjadi 12,82% pada Maret 2020.

Apa Penyebab Ketimpangan Ekonomi Kian Melebar?

Pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi ketimpangan sosial dan ekonomi saat ini. Hal ini juga disebabkan adanya pembatasan aktivitas masyarakat oleh pemerintah.

Sektor usaha produktivitasnya menurun, banyak pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak pengangguran. “Di sisi lain, pada kelas menengah ke atas dampak pandemi tidak begitu signifikan, tidak mempengaruhi penghasilan mereka,” ujar Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede kepada Katadata.co.id, Senin (19/7).

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, penghasilan orang kaya tidak terpengaruh signifikan selama pandemi karena memiliki pendapatan pasif atau passive income.

“Mereka terus mengakumulasi kekayaan, mau diam di rumah saja juga uangnya tetap mengalir. Sedangkan orang miskin tidak punya aset yang menghasilkan, penerimaan utamanya dari bekerja ke luar rumah,” kata Piter pada Katadata.co.id.

Hal senada juga diungkapkan Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhsitira. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tajamnya ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia.

Pertama, orang kaya memiliki kemampuan melindungi asetnya, tak seperti orang miskin. “Mereka yang menengah ke bawah untuk bertahan (hidup) saja sudah susah,” kata Bhima.

Kemampuan orang miskin bertahan di masa pandemi ini sulit. Tabungan mereka sangat kecil, bahkan di antaranya tidak punya tabungan. Tidak sedikit juga yang menjual asetnya akibat dampak pandemi.

Sementara, orang kaya relatif cepat melakukan lindung nilai. Ketika aset mengalami penurunan tajam, kelompok ini dapat dengan cepat berpindah ke aset yang lebih aman. “Seperti emas, deposito dan lainnya,” lanjutnya.

Sebagai informasi, Lembaga Penjamin Simpanan pada Februari lalu menunjukkan adanya peningkatan nominal simpanan untuk tiering nominal di atas Rp 5 miliar sebesar 3,6% secara bulanan. Secara tahunan peningkatannya mencapai 13,2% menjadi Rp 3.283 triliun.

Untuk nominal simpanan dengan tiering di bawah Rp 100 juta mengalami penurunan 1,3%. Namun, secara tahunan ada peningkatan 5,9% menjadi Rp 907 triliun. Data LPS ini tak hanya menghitung simpanan individu, tapi juga perusahaan.

Faktor kedua yang membuat kesenjangan ekonomi semakin melabar adalah banyak orang kaya yang berada di sektor-sektor menguntungkan selama masa pandemi. Hal ini juga seiring dengan perubahan konsumsi masyarakat yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. 

Para konglomerat banyak masuk ke sektor teknologi digital. “Seperti jasa pesan antar makanan, e-commerce, dan teknologi finansial (fintech) untuk mempertahankan, bahkan menambah, kekayaannya,” ucapnya.

Penjaja jasa reparasi telepon selular  di trotoar Jakarta (Muhammad Zaenuddin|Katadata)

Sampai Kapan Ketimpangan Ekonomi Terus Melebar?

Bhima memprediksi, pada September 2021 ini, jumlah orang miskin akan naik satu juta sampai 1,5 juta orang. Tekanan ekonomi tahun ini semakin besar dibandingkan September 2020 lalu.

Kondisi ini juga dipengaruhi dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat sejak 3 Juli lalu. Sedangkan jumlah perlindungan sosial bagi masyarakat sangat kecil, hanya 1,1% dari besaran produk domestik bruto Indonesia. “Akan sulit menopang ekonomi rakyat agar tidak jatuh di bawah garis kemiskinan,” katanya.

Data BPS pada Maret 2020 menunjukkan, garis kemiskinan negara ini sebesar Rp 454.652 per bulan. Rata-rata rumah tangga miskin memiliki 4,66 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, rata-rata besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin adalah Rp 2.118.678 per bulan.

Pemerintah memberikan bantuan sosial saat pandemi, salah satunya berupa uang tunai sekitar Rp 300 ribu per keluarga per bulan. “Jumlah tersebut sangat tidak cukup. Idealnya harus lebih tinggi dari rata-rata garis kemiskinan,” kata  Bhima.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim penyaluran anggaran perlindungan sosial sepanjang tahun lalu berhasil menahan kenaikan angka kemiskinan dan pengangguran. Pemerintah menyalurkan anggaran perlindungan sosial melalui program pemulihan ekonomi nasional atau PEN mencapai Rp 216 triliun pada tahun lalu.  

"Program perlindungan sosial yang diberikan pemerintah dalam PEN berhasil melindungi kelompok  paling rentan," kata Sri Mulyani dalam sidang paripurna DPR RI, Kamis lalu.

Ia juga mengatakan, penyaluran bantuan sosial berhasil menjaga kenaikan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan naik, dari 9,78%  pada Maret 2020 menjadi 10,14% pada Maret tahun ini. Sebanyak 1,12 juta orang jatuh miskin dalam setahun terakhir menjadi 27,54 juta orang. 

Meskipun program PEN efektif mengurangi lonjakan pengangguran, Sri Mulyani mengatakan tingkat pengangguran terbuka pada tahun lalu merupakan yang terburuk dalam enam tahun terakhir. Tingkat pengangguran pada Agustus 2020 mencapai 7,07% atau 9,8 juta orang. Angkanya melonjak dibandingkan Maret 2020 yang mencapai 5,23% atau 7,01 juta orang. 

Kementerian Keuangan mencatat realisasi penyaluran PEN pada tahun lalu mencapai Rp 575,8 triliun, atau 82,83% dari pagu Rp 695,2 triliun. Realisasi anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 216,6 triliun atau 94% dari pagu Rp 230,21 triliun.

Dampak Ketimpangan Ekonomi

Piter menyebut, dampak pelebaran ketimpangan ekonomi ini akan mengarah ke persoalan sosial. Pertambahan penduduk miskin akan memberi beban pada perekonomian.

Akhirnya, timbul permasalahan sosial, seperti kriminalitas. “Sedangkan perekonomian akan terus bergerak. Meskipun akan melambat tapi itu bagian siklus, bukan masalah,” ujar Piter.

Hal serupa juga Bhima utarakan. Permasalahan sosial di tengah masyarakat akan meningkatkan ongkos ekonomi. Ketimpangan ini akan menghambat pemulihan ekonomi nasional.

“Banyak orang kaya melakukan lindung nilai dengan bergeser ke sektor keuangan, seperti bitcoin. Jadi, kalau uangnya berkumpul disitu, maka ekonomi akan macet,” katanya.

Berbeda dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Ketika dapat uang, mereka akan langsung membelanjakan uangnya. Perputaran ekonomi akan lancar karena uang mengalir ke sektor riil.

Angka kemiskinan meningkat sejak pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.)
 

Pajak Bagi Orang Kaya 

Bhima mengatakan, berdasarkan berbagai studi, jalan satu-satunya yang paling efektif dalam mereduksi ketimpangan adalah melalui pajak. Urusan terkait reformasi pajak harus segera diselesaikan oleh pemerintah.

“Pemerintah didorong untuk menaikkan tarif PPh (pajak penghasilan) untuk penghasilan di atas Rp 500 juta itu jadi 40% sampai 45%,” katanya.

Pemerintah harus mewujudkan penguatan keadilan perpajakan. Orang kaya harus dikenakan pajak yang sesuai dengan penghasilannya.

Peter juga mengusulkan solusi yang sama. Ia mengatakan, pajak bagi orang kaya ini adalah wujud dari keadilan perpajakan. Sebagai upaya mengentaskan kemiskinan juga menurunkan ketimpangan yang ada saat ini.

Selanjutnya, anggaran pajak tersebut dipergunakan untuk membantu kelompok miskin melalui program-program pemerintah. “Program tersebut harus diinisiasi dengan memberi pendidikan juga pekerjaan kepada masyarakat dalam rangka mengurangi kemiskinan,” katanya.

Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)

Reporter: Abdul Azis Said

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan