- Pemerintah menyiapkan peta jalan untuk menghadapi skenario jika virus corona bertahan tahunan.
- Pemulihan ekonomi Indonesia membentuk kurva W.
- Pengendalian kasus Covid-19 yang antara lain bergantung pada kecepatan vaksinasi menentukan pemulihan ekonomi suatu negara.
Harapan pemerintah bahwa pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 akan sepenuhnya terjadi pada tahun ini mulai samar. Meski ekonomi tumbuh melesat 7,07% secara tahunan pada kuartal II, ekonomi domestik dihadapkan pada ancaman virus Covid-19 yang kemungkinan tak hilang dalam hitungan tahun.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada pekan lalu mengatakan, tak yakin pandemi Covid-19 akan cepat berlalu. Untuk itu, pemerintah tengah menyiapkan peta jalan atau roadmap hingga menghadapi skenario jika virus ini bertahan hingga tahunan.
“Bapak presiden memberikan arahan bahwa kemungkinan besar virus ini akan hidup cukup lama bersama kita. Jadi, arahan presiden, harus ada roadmap,” ujar Budi.
Budi mengatakan, pemerintah akan sagera melaksanakan pilot project yang mengatur penerapan protokol kesehatan di enam aktivitas utama sebagai bagian dari peta jalan ini.
Enam aktivitas tersebut, meliputi perdagangan modern seperti mal, pusat perbelanjaan dan perdagangan tradisonal seperti pasar basah atau toko kelontong. Kemudian, kantor dan kawasan industri serta transportasi darat, laut, dan udara. Selanjutnya, peta jalan untuk lokasi pariwisata seperti hotel, restoran, dan event; aktivitas keagamaan; dan pendidikan juga akan disusun.
Nantinya, pengunjung akan dilakukan pemindaian untuk mengetahui apakah sudah divaksinasi Covid-19. Jika sudah divaksin, pengunjung bisa melonggarkan protokol kesehatan.
Budi mencontohkan, pengunjung restoran yang sudah divaksin bisa duduk berempat di satu meja hingga bisa membuka masker. Sementara, pengunjung yang belum divaksin akan ditempatkan di ruang terbuka dengan kapasitas dua orang di satu meja.
Selain itu, pemerintah akan menggunakan aplikasi Peduli Lindungi untuk menerapkan roadmap protokol kesehatan hingga memantau status vaksinasi pengunjung. Pemerintah pun berharap, protokol kesehatan ini bisa mendampingi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Langkah untuk hidup berdampingan dengan Covid-19 sudah lebih dulu ditempuh banyak negara, salah satunya Singapura. Pemerintah Singapura bahkan meyakini Covid-19 kemungkinan tidak akan pernah hilang dari dunia. Namun, manusia bisa hidup berdampingan dengan virus ini.
Pemerintah Singapura pun sejak akhir Juni telah mempersiapkan penduduknya agar dapat menghadapi Covid-19 sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka merancang sebuah roadmap berisi panduan mengenai cara-cara hidup dengan kenormalan baru. Dalam roadmap tersebut, dijelaskan bahwa Singapura akan menangani Covid-19 seperti penyakit endemik lainnya, yakni flu biasa, atau penyakit tangan, kaki dan mulut.
Meski masih sesuai dengan rencana untuk hidup berdampingan dengan Covid-19, kasus baru di Negeri Jiran ini juga masih naik turun. Pemerintah Singapura bakan menerapkan karantina wilayah atau lockdown partial kedua tahun ini sejak 22 Juli hingga 18 Agustus.
Bisa Pulih Meski Masih Ada Pandemi
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menjelaskan, ekonomi masih berpotensi terus membaik meski virus Covid-19 akan bertahan lama di Indonesia. Ia optimistis pandemi akan mereda dan bahkan berakhir dengan tercapainya herd immunity.
“Kejadian covid mungkin akan biasa saja, seperti halnya flu, tidak berbahaya. Jadi meskipun virus masih akan ada bertahun-tahun lagi, aktivitas ekonomi tidak akan terbatasi,” ujar Piter kepada Katadata.co.id.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus mempersiapkan peta jalan menuju normal baru. Ekonomi berpotensi tumbuh positif jika pandemi terkendali, bahkan meski belum sepenuhnya berakhir. Hal ini terlihat pada kinerja ekonomi kuartal II yang sudah tumbuh positif mencapai 7,07% secara tahunan.
“Apalagi jika roadmap siap dan penyesuaian benar-benar dipersiapkan dengan baik, perekonomian akan bisa pulih dan bangkit kembali,” katanya.
Ekonom CSIS Fajar Hirawan mengatakan pertumbuhan ekonomi 7% pada kuartal II 2021 menjadi modal pemerintah pada tahun ini. Namun, ekonomi memang akan melambat pada kuartal ketiga dengan adanya pembatasan.
“Dengan perkembangan Covid-19 yang seperti ini, memang kita harus siap dengan kemungkinan pembatasan mobilitas yang selalu terjadi dalam kurun waktu tertentu,” katanya.
Kondisi tersebut menyebabkan kondisi ekonomi juga naik turun. Ekonom Chatib Basri memperkirakan, pemulihan ekonomi Indonesia akan menyerupai kurva W, sebagaimana banyak negara berkembang.
“Dalam kasus Indonesia, kita keluar dari resesi pada kuartal II tapi harus diantisipasi penurunan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III karena penerapan pembatasan,” kata Chatib dalam Webinar Dari Pademi Menuju Smart Nation pada Minggu (15/8).
Chatib menjelaskan, pemulihan ekonomi di negara maju dan berkembang memiliki perbedaan. Ini terutama disebabkan oleh akses vaksin dan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pemulihan ekonomi di sebagian besar negara maju, menurut dia, membentuk kurva V. Artinya, ekonomi jatuh atau terkontraksi cukup dalam akibat covid-19 tetapi pulih dengan sangat cepat ke level sebelum pandemi.
Sementara di sebagian besar negara berkembang yang memiliki masalah keterbatasan vaksin dan protokol kesehatan yang lebih longgar, pemulihan ekonominya membentuk kurva seperti huruf L, membentuk logo Nike, atau huruf W.
"Negara yang punya masalah pada akses vaksin, pemulihan ekonomi seperti huruf L yakni ekonomi turun lalu stagnan atau seperti logo nike yakni ekonomi turun lalu naik tetapi sangat lambat, atau huruf W yakni ekonomi turun, naik sedikit lalu turun lagi," katanya.
Hal ini menunjukkan, pemulihan ekonomi sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19. Salah satu yang paling krusial dilakukan, menurut dia, adalah mempercepat vaksinasi.
"Untuk mengendalikan pandemi ini dibutuhkan pembatasan yang harus diiringi dengan bantuan sosial. Selain itu, jika ingin fokus pada pengendalian pandemi, biaya seperti test PCR juga harus terjangkau," ujarnya.
Mantan Menteri Keuangan era Presiden SBY ini mengusulkan pembatasan yang ketat untuk mengendalikan kasus. Namun, bantuan sosial seharusnya diberikan bukan hanya kepada orang miskin tetapi juga rentan miskin yang mencakup 160 juta orang atau 40 keluarga. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan bantuan kepada UMKM.
"Masing-masing keluarga diberikan Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta sehingga dibutuhkan anggaran Rp 40 triliun hingga Rp 60 triliun dalam satu bulan atau paling banyak Rp 180 triliun dalam 3 bulan," katanya.
Jika pandemi telah benar-benar terkendali, menurut Chatib, pemerintah perlu memberikan dukungan pada industri yang potensial berkembang seperti teknologi seiring perubahan prilaku masyarakat. "Kemudian bagaimana membuat green recovery," ujarnya.
Ia mengusulkan pemerintah untuk membuat kebijakan cukai bahan bakar mineral (BBM) yang sebagian besar dikonsumsi kalangan menengah atas. Dana cukai ini dapat digunakan untuk pembiayaan kesehatan yang membutuhkan alokasi anggaran besar untuk penanganan pandemi Covid-19.
"Cukai BBM ini juga bagus untuk lingkungan dan dapat menghasilan pendapatan lebih untuk membiayai kebutuhan penanganan Covid-19," ujarnya.
Ekonom INDEF Faisal Basri juga menekankan pentingnya penanganan kesehatan untuk memulihkan ekonomi. Selain ini, menurut dia, pemerintah terlalu menganggap remeh pandemi Covid-19. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran APBN 2021 yang awalnya memangkas anggaran kesehatan tetapi menaikkan anggaran kesehatan. Pemerintah mengasumsikan Covid-19 tak lagi menjadi masalah besar pada tahun ini.
"Di APBN 2021 itu awalnya anggaran untuk infrastruktur naik tajam, sedangkan kesehatan turun. Namun, akhirnya diubah kembali oleh pemerintah karena lonjakan kasus," ujarnya.
Ia juga menilai pemulihan ekonomi di Indonesia relatif lambat dibandingkan negara-negara lain. Dampaknya, ekonomi Indonesia yang sudah sempat naik kelas pada 2019 ke dalam kelompok negara pendapatan menengah atas, kembali turun kelas.
Faisal pun menilai sulit bagi Indonesia untuk kembali naik kelas jika tak mampu mengendalikan Covid-19. Selain vaksinasi, pemerintah perlu memperbaiki tingkat pengetesan yang masih rendah dan tertinggal jauh dari banyak negara.
Bappenas sebelumnya bahkan memperingatkan ekonomi Indonesia berpotensi disalip Filipina dan Vietnam dalam beberapa tahun ke depan. Ini bahkan akan terjadi jika rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5%.
"Tanpa ada redesign transformasi ekonomi, pendapatan perkapita Indonesia akan disalip oleh Filipina pada 2037 dan Vietnam pada 2043," kata Deputi bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar awal bulan ini.
Ia menekankan, Indonesia akan sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap dengan rata-rata pertumbuhan 5%. Padahal, Indonesia menargetkan dapat menjadi negara maju pada 2045.
Ia memperkirakan, Indonesia perlu mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi 6% untuk menjadi negara maju usia kemerdekaan genap 100 tahun. Pertumbuhan yang lebih agresif 7% bahkan bisa membantu Indonesia mencapai predikat negara pendapatan tinggi atau high income country sebelum 2040.
Untuk mencapainya, menurut dia, perlu melalui transformasi ekonomi pasca Covid-19. Ada dua langkah yang bisa dilakukan. Pertama, mengubah struktur perekonomian dari perekonomian dengan produktivitas rendah menjadi perekonomian yang produktivitasnya tinggi. Kedua, meningkatkan produktivitas di dalam sektor yang sudah ada saat ini.