• Pengajuan PKPU dan kepailitan melonjak di masa pandemi Covid-19.
  • Pengusaha mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Perppu moratorium pengajuan PKPU dan kepailitan.
  • Melonjaknya pengajuan PKPU dianggap tidak menyehatkan perusahaan, tapi sebagian menganggap PKPU jalan terbaik.

    Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang  (PKPU) dan kepailitan di pengadilan niaga melonjak selama dua tahun terakhir. Para pengusaha menganggap lonjakan kasus sudah tidak menyehatkan, namun sejumlah kalangan seperti kreditor menilainya sebagai jalan tengah. Pengusaha meminta agar pemerintah segera bertindak untuk menghentikan lonjakan PKPU untuk menjaga iklim dunia usaha di tengah pandemi.

Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang dihimpun dari lima pengadilan niaga di Indonesia, terdapat 1.298 proses pengajuan PKPU dan kepailitan sepanjang tahun 2020-Agustus 2021. Padahal, pada periode 2018-2019, lima pengadilan tersebut hanya memproses kasus PKPU dan kepailitan sebanyak 959 kasus.

Lima pengadilan tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya,Pengadilan Negeri Semarang,Pengadilan Negeri Makassar, dan Pengadilan Negeri Medan.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan paling banyak, yakni 863 pada 2020-Agustus 2021. Pada 2018-2019, mereka hanya menerima 576 kasus. Pengadilan Negeri Surabaya menangani 201 gugatan terkait PKPU dan kepailitan pada 2020-Agustus 2021. Pada tahun 2018-2019, mereka hanya menerima 175 pengajuan.

Tidak hanya perusahaan kecil, beberapa perusahaan besar terdaftar sebagai pemohon seperti Bank Permata, PT Pan Brothers, dan Bank QNB Indonesia. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PT Pollux Aditama Kencana terdaftar sebagai termohon sekitar 10 perkara PKPU sepanjang tahun ini.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak usahanya pun tercatat sebagai termohon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT Waskita Karya Precast, misalnya, mendapat gugatan tiga kali setahun ini dari  enam pemohon termasuk oleh  PT Tatchi Engineering Indonesia dan  PT Dwi Karya Prima.

Pengusaha Meminta Moratorium PKPU

Apindo pada konferensi pers pekan lalu mendesak pemerintah untuk mengeluarkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) moratorium PKPU dan kepailitan.

Sebelumnya, pada rapat kerja nasional Apindo akhir Agustus, mereka sudah melayangkan permintaan serupa secara langsung kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

 "Kami lihat bahwa pengajuan PKPU dan kepailitan ini sudah pada taraf tidak dalam kondisi untuk menyehatkan perusahaan. Tetapi berujung pada kepailitan," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, dalam konferensi pers, Selasa (7/9).

Apindo menilai peningkatan kasus PKPU dan kepailitan selama Pandemi Covid 19 terhadap perusahaan perusahaan yang menghasilkan nilai tambah ekonomi tinggi yang dibangkrutkan / dipailitkan telah menimbulkan kondisi "kedaruratan nasional". 

Jika perkara PKPU dan kepailitan terus melonjak, Hariyadi mengkhawatirkan ikim bisnis di Indonesia akan terganggu, makin banyak perusahaan yang berhenti beroperasi, serta jumlah pengangguran akan bertambah mengingat banyak perusahaan yang bisa berhenti beroperasi karena dipailitkan.

Apindo menyoroti sejumlah persoalan dalam kasus PKPU dan kepailitan yang dianggap memberatkan pengusaha. Di antaranya syarat permohonan PKPU dan kepailitan yang terlalu mudah, termasuk tidak adanya batasan nilai tagihan yang diajukan, tidak adanya aturan dan jeda batas waktu pengajuan pada kasus yang sama sehingga permohonan bisa dilakukan berkali-kali, serta tidak adanya tes insolvensi dalam penetapan kepailitan.

Persoalan lain yang disorot adalah tidak berlakunya perjanjian bisnis antara kreditur dan debitur jika terjadi sengketa serta sistem pemungutan suara yang tidak adil dalam menentukan kepailitan. "Pengajuan bisa berulang-ulang. Perusahaan yang sehat pun bisa "dikerjain" dan benar-benar jadi bangkrut. Kreditur dan vendor serta customer mereka jadi takut karena mereka dianggap bermasalah," kata Hariyadi.

Ekawahyu Kasih, anggota Satgas Kepailitan dan PKPU dari Apindo mengatakan tidak adanya batasan jumlah piutang sebagai dasar permohonan kepailitan juga membuat pengajuan kasus PKPU marak. Perusahaan juga akan terganggu operasionalnya jika digugat berkali-kali.

PT Sri Rejeki Isman (Sritex) misalnya memiliki total utang Rp 20 triliun, dan anak perusahaannya diajukan PKPU oleh krediturnya yaitu CV. Prima Karya untuk utang sebesar Rp  5,5 miliar  atau 0,055% dari total utang Sritex. Gugatan tersebut dikabulkan Majelis Hakim.

PT Ace Hardware, pada 6 Oktober 2020 dan 27 Mei 2021 diajukan permohonan PKPU sebanyak dua kali dengan utang senilai Rp 10 juta. Tidak adanya upaya hukum jika perusahaan sudah diputuskan pailit juga memberatkan dunia usaha karena mereka akan berhenti beroperasi padahal masih memiliki potensi untuk bangkit.

"PKPU yg diajukan oleh kreditur memungkinkan terjadinya proses PKPU dengan tujuan untuk menutup usaha debitur" ujar Ekawahyu.

Dia mencontohkan Sritex dan anak perusahaannya yang saat ini berada dalam masa perpanjangan PKPU sampai dengan tanggal 21 September 2021 akibat permohonan dari CV. Prima Karya yang memiliki tagihan sebesar Rp 5,5 miliar. Sritex akan menghadapi konsekuensi jatuh pailit tanpa dapat mengajukan upaya hukum apapun jika proposal perdamaian ditolak melalui sistem pemungutan suara.

Persoalan pemungutan suara juga dikritik Apindo karenda dinilai tidak adil. Sistem pemungutan suara dalam PKPU dan Kepailitan dilakukan secara terpisah antara kreditur separatis dan kreditor konkuren.

Persetujuan perpanjangan PKPU atau proposal perdamaian harus memenuhi persetujuan kelompok kreditur separatis dan kelompok kreditur konkuren sehingga dapat terjadi jumlah kreditur dengan piutang minoritas dapat menyebabkan debitur pailit.

Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU diatur jenis kreditor yakni kreditur separatis, preferen, dan konkuren. Kreditur separatis merupakan kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan seperti hak tanggungan, gadai, dan agunan lainnya.

Kreditur preferen adalah mereka yang mempunyai hak prioritas atau diistimewakan. Termasuk dalam kelompok ini adalah pekerja/buruh. Sementara itu,  kreditur konkuren adalah yang tidak termasuk dalam kreditur separatis dan kreditur preferen tetapi mereka berhak menagih debitur karena memiliki perjanjian utang-piutang. 

Tidak adanya tes insolvensi dalam kasus  PKPU dan kepailtian juga dinilai memberatkan perusahaan. Padahal tes tersebut diperlukan untuk mengukur kemampuan operasional perusahaan sebelum dinyatakan pailit. Sejumlah negara seperti  Singapura, Amerika Serikat, India, Australia, Thailand, Belanda, dan Inggris juga telah menerapkan tes insolvensi.

Saat ini, ketetapan dalam keadaan insolvensi berdasarkan perkiraan dan pemungutan suara bisa saja subjektif. UU No. 37 Tahun 2004 pasal 178 menyebutkan jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima.

Apindo berharap PKPU dan kepailitan bisa dimoratorium sampai ada amendemen Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Mereka mengingatkan sejumlah negara telah melakukan kebijakan moratorium restrukturisasi dan PKPU.

Singapura, misalnya, mengeluarkan kebijakan Temporary Measures Act. Dengan keijaka baru tersebut, ambang minimum permohonan kepailitan dinaikkan dari SG$ 15.000 menjadi SG$ 60.000. Singapuura juga memberikan keringanan sementara bagi debitur dan tindakan hukum kreditur hingga 6 bulan terhitung sejak 20 April 2020.

Selain itu, periode hukum bagi debitur untuk menanggapi tagihan diperpanjang dari 21 hari menjadi 6 bulan. Jerman melarang sementara pengajuan permohonan kepailitan sampai dengan 30 April 2021.

Kebijakan kepailitan di beberapa negara selama pandemi Covid-19 (Apindo)
 

Saatnya Sharing The Pain

Wakil Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (BTN) Nixon LP Napitupulu mendukung moratorium PKPU dan kepailitan. Sebagai lender yang memiliki banyak kreditur, BTN mengakui dampak pandemi Covid-19 ke dunia usaha sangat besar. Banyak perusahaan yang mengalami masalah keuangan karena anjloknya pendapatan akibat melemahnya daya beli masyarakat.

"Pandemi kan terjadi di seluruh dunia. Kita ini korban semua. Banyak usaha yang susah terus tiba-tiba datang masalah pailit. Padahal, ini bukan salah mereka," tutur Nixon, kepada Katadata, akhir pekan lalu.

PKPU, menurutnya, juga tidak banyak menyelesaikan persoalan utama yakni pembayaran utang. Sebaliknya, PKPU menimbulkan persoalan baru dalam hal penjualan aset. Aset hasil sitaan kepailitan akan dihindari pembeli karena kurang menarik dan ada kekhawatiran bisa menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

"Berdasarkan data yang ada di BTN. Pada umumnya ada yang sampai selesai tapi kemudian gantung. Kalaupun kita lelang asetnya, jarang ada yang berminat. Jadi secara hukum, itu solusi tapi secara finansial bukan solusi terbaik," tuturnya.

Melonjaknya pengajuan PKPU dan kepailitan bisa berujung pada banyaknya perusahaan yang tidak bisa beroperasi. Kondisi ini akan berujung pada semakin banyaknya pengangguran dan roda bisnis yang semakin sulit berputar.

"Kalau mau diperkarakan, terus semua kena gimana?Banyak banget yang dipailitikan. Yang ada proyeknya berhenti, aset ga bisa dijual, tidak ada investor yang masuk, kerjaan banyak yang mangkrak. Saya kira tidak pas ya dalam situasi seperti ini,"katanya.

Kreditur harusnya memahami jika saat ini bukanlah kondisi normal. Pengajuan PKPU dan kepailitan bisa dilanjutkan jika situasi sudah kembali seperti sebelum pandemi. "Yah kita sama-sama sharing the pain lah. Ini bukan karena karakter debiturnya yang ga mau bayar utang tapi karena situasinya memaksa itu," tuturnya.

Jalan Tengah Bagi Kreditur

Berbeda dengan Apindo, kurator Imran Nating mengatakan jalan terbaik yang dimiliki perusahaan di tengah pandemi Covid-19. Melonjaknya kasus PKPU dan kepailitan di tengah pandemi juga hal yang wajar mengingat banyak perusahaan yang mengalami masalah keuangan.

Pengajuan PKPU dan kepailitan memang pahit tapi debitur juga pasti memahami kalau kreditur tidak asal mengajukan proposal PKPU. "Justru dunia usaha butuh itu. PKPU memang harus banyak sekarang karena banyak perusahaan kesulitan finansial di tengah pandemi. Lewat PKPU, kreditur akan lebih percaya dan yakin debiturnya serius karena once PKPU gagal, ancamannya adalah pailit," tutur Imran kepada Katadata.

Walaupun sama-sama bisa mengajukan proses PKPU dan kepailitan ke pengadilan, menurut Imran, 80% pengajuan yang saat ini ada ditempuh melalui voluntary dan hanya 20% yang melalui hostility.
"Saya yakin 70-80% itu yang call debiturnya langsung (ke kreditor) untuk mengajukan PKPU. Kalau debitor maju sendiri biasanya jalannya panjang karena harus melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dan mengajukan rencana itu ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," tuturnya.

PKPU dan kepailitan juga bukan produk hukum baru sehingga perusahaan sebagai debitur pasti memahami alasan dibalik pengajuan PKPU dan konsekuensinya bila gugatan dikabulkan.

Sebagai informasi, sejarah UU PKPU dan kepailitan Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan yakni melalui Wetboek Van Koophandel atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Reglement op de Rechtsvoordering. Peraturan ini kemudian berkembang menjadi Failistment Verordenning yang berlaku sejak 1906.

Indonesia baru memiliki UU PKPU dan kepailitan buatan sendiri saat pemerintah mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan. Perppu ini kemudian berlaku sebagai UU No 4 Tahun 1998. Pemerintah pada saat itu mengeluarkan Perppu menyusul banyaknya perusahaan yang diguguat pailit setelah krisis moneter melanda Indonesia.

Pemerintah kemudian menerbitkan UU No 37 Tahun 2004 sebagai respon makin berkembangnya dunia usaha sekaligus mengantisipasi persoalan yang menimpa perusahan baik debitur maupun kreditur dalam perebutan aset jika perusahaan bermasalah.

Dalam perkara PKPU, pihak kreditur sebagai pemberi pinjaman ataupun debitur sebagai peminjam bisa mengajukan perkara. Namun, biasanya kreditur lah yang mengajukan perkara karena mereka menjadi pihak yang dirugikan atas gagal bayarnya debitur saat utang memasuki jatuh tempo.

Imran mengatakan pengajuan PKPU bisa memberikan kepastian pembayaran utang karena ada ketetapan dari pengadilan niaga. PKPU juga memberi kesempatan bagi debitur dan kreditur untuk mengatur kesepakatan baru terkait cara pembayaran utang.

Dengan keputusan PKPU, debitur masih memungkinkan untuk melanjutkan usahanya karena tidak ada penyitaan aset seperti yang terjadi pada putusan pailit.Dengan demikian, masih ada kesempatan bagi debitur untuk mengatur keuangan nya dan membayar utang mereka.

PKPU juga menjadi wadah paling aman bagi kreditur karena mereka mendapat kepastian mengingat waktunya dibatasi. Hal tersebut sangat berbeda jika kreditur mengajukan perkara melalui kasus perdata yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Merujuk pada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 225 disebutkan bahwa apabila permohonan PKPU sudah dikabulkan maka pmbayaran utang berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan.

Imran mengatakan restrukturisasi utang bisa menjadi pilihan untuk meringankan perusahaan tetapi fasilitas tersebut kurang efektif untuk debitur dengan jumlah kreditur yang banyak.
"Bayangkan perusahaan yang memiliki ratusan atau ribuan kreditur, kan tidak mungkin ketuk pintu satu per satu. Dengan PKPU, maka bisa tuntas dalam 45 hari," ujarnya.