Babak Belur Garuda Indonesia Terbelit Biaya Sewa Pesawat

123RF.com/Rikkyal
Ilustrasi. Kinerja keuangan Garuda Indonesia terpuruk selama pandemi Covid-19.
Penulis: Sorta Tobing
13/9/2021, 20.01 WIB
  • Garuda mengupayakan penyelesaian kewajiban di luar proses hukum kepada para lessor-nya.
  • Beredar kabar Citilink akan mendongkrak pendapatan penerbangan penumpang, terutama rute domestik. 
  • Garuda dinilai perlu melakukan pembenahan organisasi dan arus kasnya.

Turbulensi di tubuh PT Garuda Indonesia Tbk tak kunjung mereda. Sejak pandemi Covid-19, kondisi keuangan maskapai penerbangan itu berdarah-darah. Minimnya penumpang membuat banyak pesawat mangkrak. Hal ini berujung pada membengkaknya tagihan sewa pesawat.

Pekan lalu, perusahaan pelat merah itu kalah dalam pengadilan arbitrase London Court of International Arbitration (LCIA), Inggris. Gugatan ini diajukan oleh dua perusahaan yang menyewakan pesawat atau lessor, yaitu Helice Leasing SAS dan Atterisage SAS. Keduanya di bawah manajemen Goshawk.

Dalam laporan keuangan periode Juni 2021, Garuda menjelaskan, gugatan bermula pada 27 Maret 2020. Helice mengajukan permohonan kepada Pengadilan Belanda untuk melakukan sita jaminan atas dana pada rekening Garuda di Amsterdam. Permohonan ini telah dikabulkan pengadilan. 

Perusahaan juga mengajukan gugatan pokok perkara kepada Garuda di Pengadilan London. Gugatan ini tak dapat diproses, lalu berlanjut ke pengadilan arbitrase. Pada 16 Februari 2021, Helice dan Atterisage mengajukan gugatan tersebut.

Dengan kekalahan itu, Garuda wajib membayar uang sewa pesawat. Ada pula kewajiban yang harus dibayar berdasarkan perjanjian sewa dan pembayaran bunga keterlambatan kepada lessor.

Pesawat Garuda Indonesia. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.)

Garuda sedang menjajaki skema restrukturisasi dengan lessor. Hal ini juga menjadi upaya penyelesaian kewajiban di luar proses hukum.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra optimistis penjajakan tersebut dapat menghasilkan kesepakan terbaik untuk seluruh pihak. “Kami sepenuhnya akan menghormati dan menyikapi secara bijak hal-hal yang telah ditetapkan LCIA,” ujar Irfan, Jumat (10/9). 

Sebelum masalah ini muncul, Garuda juga telah menyelesaikan perkara di luar pengadilan dengan lessor asal Irlandia, Aercap Ireland Limited. Pada akhir Juli lalu, kedua pihak menekan Global Side Letter Agreement yang menyatakan AerCap menghentikan gugatan kepailitan terhadap Garuda.

Sejalan dengan kesepakatan itu, Garuda memulangkan 14 pesawat Boeing 737-800 ke AerCap. “Perusahaan memastikan seluruh aspek kegiatan operasional penerbangan tetap berlangsung normal,” kata Direktur Teknik Garuda Indonesia Rahmat Hanafi dalam keterbukaan informasi 2 Agustus 2021. 

Melansir dari flightglobal.com, Garuda juga sedang melakukan negosiasi dengan lessor lainnya, yaitu SMBC Aviation Capital Limited. Perusahaan merupakan anak usaha Grup Sumitomo, Jepang.

Sebagai informasi, Garuda menyewa pesawat dari 36 lessor. Dari keterbukaan informasi beberapa waktu lalu, perusahaan saat ini hanya mengoperasikan 53 pesawat dari total 142 pesawat. 

Dengan semua kondisi tersebut, Garuda terus melakukan negosiasi dengan para lessor. Ketika ditanya sudah sejauh mana pembicaraannya, Irfan mengatakan belum dapat berkomentar. “Ini lagi proses semua,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (13/9).

Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia. (ANTARA FOTO/Ampelsa/wsj.)

Garuda Indonesia Akan Fokus Penerbangan Domestik?

Sejak tahun lalu Garuda terus berada di ambang kebangkrutan. Kinerja keuangannya tak berhenti berdarah-darah sejak pandemi Covid-19.

Perusahaan mengalami kerugian dan utang menggunung. Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo menyebut salah satu penyebab kerugian tersebut adalah Garuda terlalu banyak menyewa pesawat.

Kondisi tersebut tak diimbangi dengan okupansi penumpang. “Jenis pesawat yang disewa terlalu banyak dan harga sewanya kemahalan,” katanya, dikutip dari KompasTV, pada 9 Juni 2021.

Beban biaya Garuda setiap bulan mencapai US$ 150 juta. Pendapatannya hanya US$ 50 juta. Dengan kondisi ini perusahaan merugi US$ 100 juta atau lebih Rp 1,4 triliun setiap bulan. 

Menteri BUMN Erick Thohir pun meyakini salah satu masalah terbesar Garuda adalah lessor. Ia sempat menyebut ada lessor nakal yang memberi tarif sewa lebih mahal dibandingkan harga pasaran.

Karena itu Garuda harus melakukan renegosiasi dengan lessor-nya. “Ini yang pasti kami bakal standstill, bahkan negosiasi keras dengan mereka,” katanya pada awal Juni lalu, dikutip dari Antara  

Kerugian perusahaan terus membengkak pada semester pertama tahun ini. Rugi bersihnya mencapai US$ 898,65 juta atau lebih dari Rp 12,8 triliun, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini. Pada periode yang sama 2020, ruginya mencapai US$ 712,72 juta atau Rp 10,2 triliun. 

Pendapatannya pada paruh pertama 2021 turun 24,04% menjadi US$ 696,8 juta. Omzet dari penerbangan berjadwal anjlok 25,82% menjadi US$ 556,53 juta.

Pendapatan penerbangan berjadwal terdiri dari, penerbangan penumpang dan bisnis kargo. Untuk penumpang, Garuda mencatat pendapatannya anjlok 40,5% secara tahunan menjadi US$ 375,3 juta. Sedangkan bisnis kargonya melesat 51,69% menjadi US$ 181,24 juta.

Total aset Garuda per Juni lalu US$ 10,14 miliar. Angka ini turun dari US$ 10,78 pada Desember 2020. Liabilitasnya naik menjadi US$ 12,96 miliar per Juni dari US$ 12,73 miliar per akhir tahun lalu. Untuk liabilitas jangka pendeknya US$ 5,05 miliar dan jangka panjang US$ 7,9 miliar.

Dengan kondisi tersebut, Garuda mencatat ekuitasnya negatif US$ 2,84 miliar per Juni 2021. Padahal, per Desember lalu angkanya sudah negatif US$ 1,94 miliar. 

Garuda dikabarkan akan mengalihkan 20 pesawat Airbus A320 ke anak usahanya, PT Citilink Indonesia. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan dari penerbangan penumpang.

Citilink selama ini mengambil segmen tarif tiket lebih murah ketimbang Garuda. Ketika dikonfirmasi, Irfan enggan mengomentari hal tersebut. “Belum komen dulu ya,” ucapnya.

Sebelumnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat selama pandemi Covid-19, Garuda fokus pada penerbangan domestik. Penerbangan internasional hanya menambah beban perusahaan.

Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade mengatakan pada Juni lalu, pihaknya telah meminta penerbangan internasional ditutup saja. Garuda bisa terbang untuk rute tersebut, tapi khusus untuk penerbangan repatriasi. Misalnya, warga negara Indonesia (WNI) dan asing (WNA) yang ingin pulang ke negara masing-masing. 

Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.)

Negosiasi Garuda dan Lessor

Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan, Garuda masih memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi dengan para lessor. Langkah ini akan menjadi solusi paling menguntungkan.

Cara pembayaran, baik melunasi uang sewa maupun pengembalian pesawat, masih dapat dinegosiasikan. “Kalau sudah putusan pengadilan, ya harus dilaksanakan. Tapi tetap bisa dibicarakan soal cara pembayarannya,” ucap Gatot. 

Hal yang perlu perusahaan lakukan adalah membenahi organisasi Garuda dan arus kasnya. Maskapai ini perlu melepas pengeluaran yang tidak perlu. Misalnya, menghapus rute penerbangan yang tidak menguntungkan. 

Selain itu, perusahaan juga perlu melakukan pemangkasan pegawai, jumlah armada, dan manajemen. Yang terpenting, pemerintah mendukung Garuda dalam pembenahan internalnya. “Bisa dengan deregulasi tarif, meminimalkan penugasan, kebijakan pengaturan slot time di masa pandemi dan lain-lain,” ujar Gatot. 

Tarif tiket selama ini mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Aturan tersebut menjadi pedoman bagi maskapai dalam menentukan tarif tiket pesawat. Harapannya, persaingan tidak sehat antar-operator penerbangan tidak terjadi. Selain itu, konsumen pun mendapat perlindungan.

Pakar penerbangan Alvin Lie berpendapat, walaupun bayak lessor menggugat Garuda, tapi ruang untuk negosiasi masih terbuka. “Masih ada proses untuk restrukturisasi penyelesaian tunggakan dan utang,” katanya.

Alvin menyebut, apa yang terjadi di Garuda, dialami pula pada maskapai lainnya, secara global. Karena itu tidak mungkin lessor dapat mengatasi semua masalah sewa pesawat ini melalui pengadilan.

Hampir seluruh sektor aviasi dunia mengalami hal yang sama. Pandemi corona telah membuat banyak orang tak dapat melakukan perjalanan. “Kalau semua diselesaikan secara hukum, itu bukan prioritas bisnis mereka. Kecuali sudah jalan buntu, baru menempuh langkah hukum,” ujar Alvin.

Lion Air Group, flightglobal.com menuliskan, sedang melakukan negosiasi dengan para lessor untuk restrukturisasi utangnya. Beberapa lessor ini adalah Aviation Capital Group (ACG), Goshawk, Minsheng, dan SMBC Aviation Capital. 

Garuda saat ini dengan segala keterbatasannya terus mencari solusi untuk memenuhi kewajibannya. Dari mulai pembayaran dicicil hingga restrukturisasi utang. “Namun, semua ini sangat bergantung pada komitmen pemerintah, selaku pemegan saham terbesar Garuda, untuk memberi dukungan keuangan,” katanya.

Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)

Reporter: Ihya Ulum Aldin