Ekonomi Indonesia Bersiap Melaju di Akhir Tahun

Leo Lintang/123rf
Penulis: Agustiyanti
22/10/2021, 20.12 WIB
  • Ekonomi Indonesia pada kuartal keempat diperkirakan akan semakin membaik.
  • Status Jakarta yang masuk ke PPKM level 2 akan mendorong mobilitas dan konsumsi masyarakat. 
  • Pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada di kisaran 3,5% hingga 4%.

Jakarta pada pekan ini turun status dan masuk ke pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 2. Sejumlah aturan terkait kapasitas kian dilonggarkan. Pasar tradisional, supermarket, hingga mal kini boleh menampung pengunjung hingga 75% total kapasitas sebelumnya 50%. Transportasi publik bahkan boleh menampung penumpang hingga 100%.

Tak hanya itu, pelonggaran kapasitas juga berlaku untuk perkantoran, tempot ibadah, bioskop, gym, hingga tempat resepsi. Tempat bermain anak di pusat perbelanjaan kembali dibuka, demikian pula dengan kegiatan pada area publik. Anak-anak berusia di bawah dua belas tahun kembali boleh naik kereta api dan pesawat dengan sejumlah persyaratan. 

Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, pelonggaran yang dilakukan pemerintah akan mendorong mobilitas sehingga konsumsi masyarakat akan semakin membaik. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi tahun ini.

“Konsumsi masyarakat selama PPKM sebenarnya tidak terdistrupsi sebesar saat PSBB karena belanda online trennya naik terus meski offline drop. Jadi, kejatuhan pada tahun ini tidak sedalam seperti tahun lalu,” ujar David kepada Katadata.co.id, Jumat (22/10). 

Ia memprediksi ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini tak seburuk dugaan awal. David pun merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Juli-September dari 3,5% menjadi 4% secara tahunan atau year on year.  “Konsumsi ternyata masih cukup bagus dan kita tertolong dengan ekspor yang sangat bagus pada Juli-September,” kata David. 

Data Badan Pusat Statistik mencatat ekspor sepanjang tahun ini hingga September 2021 mencapai US$ 164,29 miliar, melonjak 40,38% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan impor melonjak 40,31% menjadi US$ 139,22 miliar sehingga tercapai surplus perdagangan US$ 25,07 miliar. 

Adapun khusus pada Juli-September, ekspor tercatat mencapai US$ 59,74 miliar atau naik 10,11% dibandingkan US$ 53,97 miliar pada April-Juni. Sedangkan impor naik 3,7% dari US$ 46,03 miliar menjadi US$ 48 miliar. 

 

David menilai kontribusi ekspor terhadap perekonomian pada tiga bulan terakhir tahun ini tak akan sekencang kinerja kuartal ketiga. Namun, perekonomian akan terbantu oleh konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah yang akan tumbuh lebih baik. 

“Ekonomi kuartal keempat akan tumbuh 3,5%-4% sehingga keseluruhan tahun dapat tumbuh sekitar 4%,” ujar David.

Prediksi tak jauh berbeda diberikan Ekonom Bank Permata Josua Pardede. Ia memperkirakan kontribusi ekspor terhadap PDB pada kuartal ketiga tahun ini akan lebih baik dibandingkan kuartal kedua. Ia memperkirakan ekonomi kuartal petiga akan tumbuh 3%. 

“Ekonomi pada kuartal keempat diperkirakan akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi sehigga ekonomi keseluruhan tahun akan tumbuh 3% hingga 3,5%,” kata dia. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga  memperkirakan ekonomi akan semakin membaik memasuki pengujung tahun ini. Selain data ekspor impor, sejumlah indikator dini perekonomian lainnya juga mengkonfirmasi perbaikan ekonomi berpotensi berlanjut memasuki tiga bulan terakhir tahun ini. 

“Perbaikan ekonomi tercermin pada perkembangan indikator dini hingga Oktober 2021, seperti penjualan eceran, ekspektasi konsumen, PMI Manufaktur, transaksi pembayaran melalui SKNBI dan RTGS, serta ekspor,” ujar Perry dalam Konferensi Pers Rapat Dewan gubernur Bank Indonesia, Selasa (19/10). 

Berdasarkan data BI, indeks keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat dari 77,3 poin pada Agustus menjadi 95,5 poin pada September sejalan dengan pelonggaran PPKM. Namun, keyakinan konsumen tesebut masih tertahan di zona pesimistis lantaran berada di banal angka 100. 

Data PMI Manufaktur juga kembali memasuki fase ekspansif pada September di level 52,2 poin setelah berada di fase kontraksi selama dua bulan berturut-turut. Ekspansi manufatur ditandai dengan angka PMI berada di atas 50. Angka PMI manufaktur pada Juli dan Agustus masing-masing tercatat 40,1 dan 43,7. 

Perbaikan juga terjadi pada data sistem pembayaran tercermin dari data sistem nasional kliring Bank Indonesia (SKNBI) dan Real Time Gross Settlement (RTGS). 

Transaksi RTGS yang memproses pembayaran dengan nominal besar pada September naik dari 792.573 pada Juli dan 822.552 pada Agustus menjadi 882.489 pada September. Secara nominal. Jumlah transaksi RTGS pada September mencapai Rp 16,68 triliun, lebih tinggi dibandingkan Agustus Rp 15,6 triliun, tetapi lebih rendah dibandingkan Juli Rp 17,65 triliun. 

Jumlah transaksi SKNBI naik dari 13,68 juta pada Juli menjadi 14,44 juta pada Agustus dan 14,73 juta pada September. Sedangkan secara nominal, transaksi SKNBI naik dari Rp 376 triliun pada Juli menjadi Rp 401,7 triliun pada Agustus dan Rp 421,77 triliun. 

Tantangan Lesunya Ekonomi Cina dan AS

Meski kondisi sejumlah indikator dini perekonomian domestik menunjukkan perbaikan, Perry memperkirakan tantangan akan datang dari perekonomian global. BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 5,8% menjadi 5,7%. 

"Pemulihan ekonomi global akan berlanjut tetapi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya," ujar Perry. 

Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari prakiraan awal terutama terjadi di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang sejalan dengan kenaikan kasus varian delta, gangguan rantai pasokan, dan krisis energi global. Di sisi lain, pemulihan ekonomi Eropa lebih tinggi sehingga akan menahan perlambatan ekonomi global. 

"Secara keseluruhan 2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap berada dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 3,5%-4,3%," katanya. 

David juga menilai perlambatan ekonomi di Cina dan AS patut diwaspadai. Kedua negara ini memiliki hubungan erat dengan Indonesia, terutama dari sisi perdagangan.

"Kuartal keempat ada potensi perlambatan dari Cina dan AS. Amerika karena stimulus fiskal yang belum sepenuhnya clear, sedangkan Cina sepertinya sengaja melambatkan ekonominya," kata David. 

Menurut David, perlambatan ekonomi dari kondisi eksternal terutama perlu diwaspadai pada November dan Desember. Melambatnya ekonomi Cina akan berdampak pada penurunan harga komoditas yang sudah mulai terjadi saat ini, salah satunya batu bara. 

"Ini akan berdampak pada kontribusi ekspor yang menurun pada PDB kuartal IV, tapi ekonomi masih akan mampu tumbuh 4% pada tahun ini," katanya.