Kontroversi Deforestasi ala Menteri Siti

123rf.com/Ion Chiosea
Ilustrasi penebangan hutan atau deforestasi.
Penulis: Sorta Tobing
5/11/2021, 20.02 WIB
  • Demi pembangunan, pemerintah menyebut Indonesia tidak dapat menghentikan deforestasi sepenuhnya di 2030. 
  • Penurunan angka deforestasi dan kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir karena faktor alam dan pandemi. 
  • COP26 masih belum berhasil mendorong pemerataan transisi energi bersih dunia.

Komitmen Indonesia soal mengurangi penebangan hutan atau deforestasii jadi pertanyaan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut pembangunan besar-besaran era Presiden Joko Widodo tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi.

Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola sesuai kaidah berkelanjutan dan berkeadilan. “Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” tulis Siti dalam akun Facebook-nya, Rabu (3/11). 

Pernyataan itu muncul hanya berselang dua hari usai Jokowi mengatakan laju deforestasi Indonesia telah turun signifikan. Angkanya terendah dalam 20 tahun terakhir. Lalu, kebakaran hutan telah turun 82% pada 2020. Indonesia juga telah merehabilitasi tiga juta lahan kritis pada 2010 sampai 2019. 

Targetnya, rehabilitasi hutan bakau atau mangrove akan mencapai 600 ribu hektare sampai 2024. “Sektor yang semula menyumbang 60% emisi karbon Indonesia akan mencapai net carbon sink selambatnya pada 2030,” kata Jokowi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim alias Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Inggris.

Siti mengatakan, net carbon sink jangan diartikan sebagai zero deforestation. Pemerintah telah memiliki komitmen pengendalian emisi kehutanan dan pemanfaatan lahan alias FoLU agar tercapai netralitasi karbon di sektor itu pada 2030. 

Indonesia, menurut dia, tidak bisa memaksakan diri untuk zero deforestation di 2030. Keputusan tersebut menjadi tidak tepat dan tidak adil. Negara maju sudah selesai membangun sejak 1979-an, lalu sekarang menikmatinya. Sedangkan negara ini baru melakukannya. 

Di Kalimatan dan Sumatera masih banyak jalan yang terputus karena harus melewati hutan. Lalu, ada lebih 34 ribu desa berada di kawasan hutan. “Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi?” ucap Siti. 

Karena itu, ia menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Konsep setiap negara berbeda. Eropa punya definisi sendiri soal deforestasi, begitu pula Afrika dan Asia. “Karena itu, pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detail. Bila perlu harus sangat rinci,” katanya.

Deforestasi Masih Terjadi di Indonesia

Greenpeace Indonesia menyebut laju deforestasi Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dari sebelumnya 2,45 juta hektare pada 2003 sampai 2011 menjadi 4,8 juta hektare pada 2011 hingga  2019. 

Tren penurunan deforestasi pada rentang 2019 sampai 2021 tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi Covid-19. “Aktivitas pembukaan lahan terhambat,” kata Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya. 

Faktanya, dari 2002 hingga 2019 terjadi penggundulan hutan seluas 1,69 juta hektare dari konsesi hutan tanaman industri dan 2,77 juta hektare kebun sawit. “Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi akan tetap tinggi,” ucapnya.

Perkiraannya, penggundulan hutan akan terjadi seiring dengan berbagai proyek strategis nasional (PSN) yang sedang dijalankan pemerintah. Salah satunya adalah program lumbung pangan atau food estate. Jutaan hektare hutan alam akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan.

Soal penurunan kebakaran hutan, Greenpeace berpendapat hal ini terjadi karena gangguan anomali fenomena La Nina, bukan sepenuhnya upaya pemerintah. Angka penurunan kebakaran pada 2020 dibanding 2019 yang mencapai 296.942 hektare ini sebenarnya tidak rendah. Luasnya setara empat kali kota DKI Jakarta. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia alias Walhi pun menyebut kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi. Catatan Forest Watch Indonesia (FWI), pada 2021 ada sekitar 229 ribu hektare yang terbakar. 

Pada 2019, luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta hektare. Dari angka ini, 82% terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Di dua pulau ini pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat. 

Greenpeace berpendapat, rencana pemerintah akan merestorasi hutan mangrove terdengar hebat. Namun, luas hutan bakau yang rusak di Indonesia mencapai 1,8 juta hektare. Upaya restorasi 600 ribu hektare menjadi tidak ambisius apabila dibandingkan dengan kerusakannya. 

Pemerintah saat ini dinilai lebih mengutamakan investasi yang memunculkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir. Kebijakan tersebut dapat merusak ekosistem mangrove dan menghambat upaya restorasi.

Karena itu, Greepeace berpendapat sudah saatnya Indonesia segera mengakhiri deforestasi. Kondisi ini perlu didukung dengan undang-undang dan kebijakan yang ketat. “Hak-hak masyarakat adat dan lokal harus menjadi inti dari semua kebijakan perlindungan alam,” kata Leonard. 

Kesepakatan Batu Bara pada COP26

Selain isu deforestasi, KTT COP 26 seharusnya menjadi ajang dunia mengatasi perubahan iklim. Namun, banyak kekecewaan muncul. Kritik tak hanya tertuju pada klaim dan komitmen Indonesia. Negara lain pun mengalami hal serupa.

Negosiasi selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak Perjanjian Paris 2015, tidak banyak membuahkan hasil. Seluruh negara memang berjanji akan mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih 1,5 derajat Celcius tapi tidak ada langkah konkret terjadi.

Inggris, selaku tuan rumah, mengatakan salah satu tujuan utama KTT Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini adalah mengubur batu bara dalam sejarah. Hanya 23 negara yang sepakat membuat komitmen baru.

Pemilihan Glasgow menjadi menarik dalam konteks tersebut. Di kota inilah seorang insinyur bernama James Watt pertama kali menemukan mesin uap pada 1776. Peristiwa tersebut menjadi titik awal Revolusi Industri. Di kemudian hari, mesin itu tanpa diduga membuat manusia membakar begitu banyak energi fosil selama lebih dua abad dan menyebabkan bencana iklim.

Pembakaran batu bara, minyak, dan gas bumi telah menyebabkan kenaikan emisi karbon yang memicu meningkatnya suhu bumi. Efek bergulirnya adalah permukaan air laut naik, bencana alam semakin sering terjadi, perubahan iklim dan cuaca, ancaman krisis pangan dan kesehatan, serta lingkungan yang tercemar. 

Indonesia, Polandia, Vietnam, dan negara lain telah berjanji menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Bahkan mereka sepakat menghentikan pembangunannnya. Namun, negara pemakai batu bara dalam jumlah besar, seperti Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Australia tidak mau menandatangani ikrar tersebut.

Presiden KTT COP26 Alok Sharma menyebut kesekatan itu merupakan langkah awal mengakhiri batu bara. “Akhir dari batu bara sudah di depan mata,” katanya.

Emisi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara menjadi penyumbang terbesar perubahan iklim. Penghentian pemakaiannya menjadi penting untuk mencapai target iklim global. 

Tiongkok telah lama menempati posisi puncak negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Negeri Panda penyumbang 54,3% konsumsi batu bara global selama 2020. India memakainya sebesar 11,6% dan AS 6,1%. Sedangkan Australia merupakan salah satu negara produsen besar energi fosil tersebut. 

Presiden AS Joe Biden berencana melakukan dekarbonisasi jaringan listrik pada 2035. Pembangkit di negara itu nantinya mayoritas memakai energi baru terbarukan (EBT). Namun, rencana itu mendapat banyak penolakan, terutama dari para pengusaha batu bara. 

Absennya keempat negara menghambat upaya transisi energi dari fosil ke baru terbarukan.Wakil direktur lembaga kajian Chatham House, London, Antony Froggratt mengatakan, kesepatakan tersebut menunjukkan tidak meratanya transisi menuju energi bersih di seluruh dunia. 

Sejauh ini KTT COP26 telah menghasilkan kesepakatan tentang batu bara, deforestasi, dan metana. Namun, belum terang benar rencana yang jelas dan konkret untuk tiap-tiap negara. 

Para ahli percaya untuk mencegah kenaikan suhu bumi, dunia perlu memangkas emisi karbon hampir setengahnya pada 2030. Lalu, pada 2050 menjadi bebas emisi. 

Mayoritas negara di dunia telah berjanji mencapai target tersebut. Namun, tidak sedikit yang mematok lebih dari tahun tersebut. Tiongkok akan mencapainya pada 2060, seperti Indonesia. India pada 2070. 

Aktivis lingkungan Greta Thunberg meminta jutaan pendukunganya untuk menandatangani surat terbuka yang menyebut para pemimpin dunia telah berkhianat. “Ini kode merah untuk planet bumi. Jutaan orang akan menderita karena planet kita hancur,” tulisnya. 

Reporter: Antara