Aturan Nilai Ekonomi Karbon, Mampukah Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca?

123rf.com/Aleksandr Papichev
Ilustrasi emisi karbon.
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
11/11/2021, 16.13 WIB
  • Regulasi pasar karbon membuka peluang Indonesia menerima pendanaan pengendalian perubahan iklim.
  • Para penggiat lingkungan menyebut aturan tersebut hanya greenwashing dan ‘legitimasi' untuk terus mencemari alam. 
  • Penentuan harga karbon menjadi titik penting, dunia pun belum menyepakatinya.

Peraturan Presiden tentang nilai ekonomi karbon (NEK) atau carbon pricing telah terbit. Presiden Joko Widodo menandatanganinya sebelum berangkat ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim alias COP26 di Glasgow, Inggris. 

Dalam koferensi itu, Jokowi menyampaikan komitmen Indonesia dalam mencegah pemanasan global. “Carbon market dan carbon price harus menjadi bagian isu perubahan iklim,” ucapnya pada pekan lalu. 

Secara umum, melansir dari situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Perpres Nomor 98 Tahun 2021 itu mengatur pasar karbon. Harapannya, aturan ini dapat menggerakkan lebih banyak pembiayaan investasi hijau yang berdampak pada pengurangan emisi.

Di dalamnya, ada lima mekanisme perdagangan karbon yang diatur. Keempatnya adalah perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off-set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment), dan pungutan atas kabron, serta kombinasi dari skema yang ada. 

Direktur Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dewanthi menyebut carbon pricing dapat menjadi insentif untuk mencapai target pengendalian perubahan iklim. Hal ini telah tercantum pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). 

Dalam dokumen itu, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon sebanyak 41% pada 2030 dengan dukungan internasional. Negara ini juga berkomitmen mencapai net-zero emission pada 2060 atau lebih cepat seperti tercantum dalam dokumen Long-Term Startegies for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). 

Carbon pricing harapannya mendukung instrumen lain, seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energi baru terbarukan (EBT),” kata Laksmi. 

Regulasi pasar karbon ini membuka peluang Indonesia menerima pendanaan yang lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim. Berdasarkan data Bank Dunia, penggalanan dana dari nilai ekonomi karbon bisa mencapai US$ 53 miliar pada 2020.

Namun, pasar karbon tidak bisa bekerja sendiri. “Perlu didukung kebijakan kuat, akuntabilitas, dan transparan,” kata Direktur Lingkungan dan Sumber Daya Alam Praktik Global Bank Dunia Benoit Bosquet.

Emisi karbon (Arief Kamaludin (Katadata))

Penolakan Perpres Nilai Ekonomi Karbon

Dalam perpres nilai ekonomi karbon, pemerintah mengeluarkan unit karbon, berupa bukti kepemilikan karbon. Apabila melewati batas maksimal emisinya, maka perusahaan harus melakukan transaksi perdagangan karbon. 

Nah, bagi yang berhasil mengurangi emisi karbonnya, pemerintah akan memberikan insentif berdasarkan capaian perusahaan. Perhitungan karbon ini memakai sejumlah metode. Selain itu, pemerintah akan menerbitkan sertifikat pengurangan emisi GRK sebagai surat bukti. 

Perpres tersebut menyebut, baseline emisi karbon di 2030 sebesar 2.869 ton karbon dioksida atau CO2. Standar bawahnya, yaitu pengurangan emisi sebesar 29% atau 834 juta ton karbon dioksida dengan upaya sendiri. Sedangkan standar atasnya adalah 41% atau 1.185 juta ton emisi karbon dengan kerja sama internasional.

Dalam pasal 10 ayat 7 tertulis ada enam senyawa yang dimaksud dalam emisi GRK. Keenamnya yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N20), hidrofluorokarbon (HFCS), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). 

Kritik pun berdatangan dari berbagai pihak perihal perpres ini. Kelompok penggiat lingkungan, seperti Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyatakan penolakannya dengan perpres tersebut. 

Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya tidak sepakat terhadap carbon offset dan rendahnya harga pajak karbon.  Kedua hal tersebut hanya akan menjadi upaya greenwashing dari perusahaan penghasil emisi GRK.  

“Pajak karbon terlalu rendah dan diterapkan untuk emisi dengan cap yang tinggi tidak akan bisa menekan emisi. Malah menjadi greenwashing dan ‘legitimasi' untuk terus mencemari,” kata Tata. 

Sebagai informasi, pemerintah sebelumnya juga telah mengeluarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang di dalamnya mengatur soal pajak karbon. Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara.

Kebijakan tersebut berlaku pada 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi (cap and tax).  Tarifnya adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan. Dalam mekanisme pengenaannya, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya.

Bila diperhatikan secara global, harga pajak karbon yang ditetapkan Indonesia memang masih lebih kecil daripada negara maju. Tata menyebut, pajak karbon di Indonesia hanya sebesar US$ 2 per ton. Sedangkan Bank Dunia menetapkan angkanya sebesar US$ 30 sampai US$ 40 per ton. 

Dalam siaran persnya, Walhi menyebut alasan penolakannya karena tidak adanya keterlibatan masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan dan anak muda dalam menyampaikan pendapat. 

Skema perdagangan karbon dan offset emisi merupakan skema keliru karena tidak efektif mengurangi emisi secara drastis dan cepat. Apalagi, tidak menjadikan rakyat sebagai subyek, berpotensi memperluas konflik, perampasan tanah dan memperuncing ketidakadilan. 

“Perdagangan karbon dan offset emisi tidak lebih dari sekadar perampasan ruang hidup rakyat dengan kedok hijau serta menjadi skema greenwashing bagi korporasi perusak lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi. 

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebut potensi dari perdagangan karbon dapat mencapai nilai ekonomi sebesar ribuan triliun rupiah. Namun, hal ini sangat bergantung pada pelaksanaannya. “Kita tidak usah melihat angkanya, percuma kalau tidak ada upaya riil dalam merealisasikannya,” ujarnya. 

Pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.)

Hitung-hitungan Harga Karbon

Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mempertanyakan perhitungan unit karbon dalam perpres tersebut. Misalnya, satu ton karbon dioksida itu setara berapa banyak batu bara.  “Sampai saat ini, secara teknis saya belum melihat perhitungan yang detail, yang clear,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (8/11).

Di sisi lain, kehadiran carbon pricing dinilai dapat mendorong transisi energi dari fosil ke hijua. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebut perpres itu sebagai pertanda baik. "Pemerintah benar-benar bergerak maju dalam transisi energi ini," ujar Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar.

Selama ini masalah transisi energi adalah harga minyak, gas, dan batu bara yang lebih rendah daripada energi baru terbarukan. Tidak ada kesempatan produk ramah lingkungan bersaing dengan tenaga fosil.

Di negara maju, kondisinya sedikit lebih baik. Pembangkit listrik energi surya mulai lebih murah. “Namun, di Indonesia belum terjadi,” katanya.

Soal harga karbon, ia mengatakan memang akan sulit untuk menentukannya. Pemerintah harus menetapkan dengan hati-hati sehingga benar-benar sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu pengurangan emisi. 

Hal yang harus diperhatikan dalam penentuan harga karbon adalah bagaimana mengatur cap atau batas atasnya. “Jika cap-nya tidak ketat, harga karbon akan rendah. Ini tidak baik bagi transisi energi,” ucapnya.

Dalam siaran pers KLHK beberapa waktu lalu, Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arief Havas Oegroseno menyerukan agar dunia internasional mau mewujudkan penetapan harga karbon yang adil bagi negara-negara pemilik cadangan karbon.

Ia mencontohkan pengalaman yang dialami sebuah negara di Afrika. Cadangan karbonnya hanya dihargai dengan harga US$ 2 dolar AS. "Kalau harga segitu sama dengan kolonialisasi," katanya. 

Isu carbon pricing menjadi topik hangat pula pada COP26. Financial TImes menyebut konferensi itu dapat membuat kemajuan kalau setiap negara menyepakati soal harga karbon.

Perusahaan keuangan besar dunia ingin angkanya di US$ 50 per ton. Para pelaku usaha juga akhirnya bersedia mengikutinya. Harga karbon global ini targetnya akan mendorong produsen energi, industri, konsumen, dan pasar keuangan untuk beralih ke aktivitas rendah karbon. 

Perusahaan jasa profesional multinasional, PricewaterhouseCoopers atau PwC dalam analisisnya bersama Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebut, penetapan harga karbon global dapat mengurangi emisi dunia sebesar 12%. Dengan demikian, carbon pricing dapat menjadi alat untuk mempercepat dekarbonisasi.

Penetapan harga karbon telah digunakan di lebih dari 60 skema lokal di seluruh dunia. Tetapi skema ini mencakup persentase emisi karbon yang terbatas dan menciptakan “lapangan bermain” yang tidak merata.

Dana Moneter Internasional atau IMF telah mengusulkan adanya kesepakatan global. PwC pun sepakat. Harga karbon internasional dapat mengurangi produk domestik bruto (PDB) kurang dari 1%. Dalam jangka panjang, kerugian ini dapat diimbangi dengan pengurangan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, kerugian pada sektor pertanian dan kerusakan kesehatan manusia. 

Pengurangan emisi hingga 12,3% dari harga karbon akan menjaga suhu bumi tidak naik di atas 2 derajat Celcius. Hal ini pun sesuai kesepakatan 196 negara dalam Perjanjian Paris pada 2015.

Agar berhasil, PwC menyatakan, penetapan harga karbon internasional perlu partisipasi negara-negara berpenghasilan menengah, seperti Tiongkok. Transisi ekonomi ini harus dikelola secara adil, baik di dalam maupun antar negara. 

Reporter: Amelia Yesidora