Mencegah Ekonomi RI Tersambar Stagflasi Seperti Cina dan AS

123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilutrasi. Stagflasi kini membayangi perekonomian Amerika Serikat, Jepang, dan Cina.
Penulis: Agustiyanti
17/11/2021, 11.53 WIB
  • Kenaikan harga energi dan kemacetan rantai pasokan telah menghidupkan kembali percakapan tentang stagflasi.
  • Stagflasi kini membayangi perekonomian Amerika Serikat, Jepang, dan Cina.
  • Indonesia berpotensi menghadapi lonjakan inflasi pada tahun depan seiring mulai pulihnya permintaan masyarakat.
    Fenomena stagflasi atau lonjakan harga barang dan jasa yang diiringi dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi mulai terjadi di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Cina. Meski inflasi Indonesia saat ini masih rendah, lonjakan kenaikan harga berpotensi terjadi pada tahun depan jika pemerintah tak melakukan sejumlah langkah antisipasi. 

Mengutip CNBC Internasional, Indeks Harga Konsumen (IHK) AS bulan lalu mencapai 6,2% secara tahunan, tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Inflasi terutama didorong harga energi dan penjualan kendaraan bekas yang meroket, naik dua digit secara tahunan.

Lonjakan inflasi AS terjadi beriringan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di Negara Paman Sam ini. Ekonomi AS pada kuartal ketiga tahun ini hanya mencapai 2%, melambat dibandingkan kuartal II 2021 yang mencapai 6,7%. Kondisi ini memicu dugaan mulai terjadinya stagflasi di AS. 

Mengutip laman World Economic Forum, stagflasi adalah periode ketika kenaikan inflasi terjadi saat pertumbuhan ekonomi melambat dan pengangguran meningkat. Ketika ekonomi global dibuka kembali, pertumbuhan telah meningkat di ekonomi-ekonomi besar dunia.

Kondisi ini menimbulkan kenaikan harga yang lebih tinggi untuk segala hal, mulai dari satu galon bensin hingga satu jam kerja dan berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi. Inflasi pada gilirannya juga dapat memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga,  menempatkan lebih banyak hambatan pada ekspansi PDB. 

 Kekahawatiran stagflasi tak hanya muncul di AS, Cina dan Jepang juga menghadapi kondisi serupa. IHK Cina sebetulnya masih rendah sebesar 0,7% secara bulanan dan 1,5% secara tahunan. Kinerja tahun tersebut juga masih berada di bawah target pemerintah 3% tahun ini. Kendati demikian inflasi bulan lalu merupakan kenaikan dalam lima bulan berturut-turut. Inflasi tahunan juga tertinggi sejak September tahun lalu.

Selain itu, kenaikan harga-harga di Cina berpeluang besar terjadi seirng inflasi harga produsen (PPI) yang sudah lebih dulu meroket 13,5% secara tahunan pada bulan lalu. Ini merupakan yang tertinggi sejak pemerintah Cina memulai perhitungan PPI pada pertengahan tahun 1990-an.

Ekonomi Cina juga tengah mengalami perlambatan dengan pertumbuhan yang hanya mencapai 4,9% pada kuartal III, setelah tumbuh 18,3% pada kuartal pertama dan 7,9% pada kuartal kedua. 

Sementara di Jepang, ekonomi pada kuartal ketiga tercatat minus 3% setelah berhasil tumbuh 1,3% pada kuartal sebelumnya. Negeri Sakura ini juga tengah dibayangi lonjakan inflasi dengan kenaikan harga barang di tingkat grosir mencatatkan rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Ilustrasi Jepang (Pixabay/Sofia Terzoni)

 

Potensi Lonjakan Inflasi di Dalam Negeri

Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai kondisi stagflasi yang terjadi di sejumlah negara saat ini kemungkinan tak akan menimpa Indonesia. Ekonomi Indonesia saat ini masih dalam tahap pemulihan dan inflasi masih sangat terkendali, bahkan cenderung masih rendah. 

"Meski begitu, lonjakan inflasi ini harus diwaspadai terutama menjelang akhir tahun, terutama pada tahun depan saat permintaan semakin pulih," kata David kepada Katadata.co.id, Rabu (17/11). 

Saat ini, menurut dia, sudah terjadi kenaikan inflasi di tingkat produsen. Namun, para produsen masih menahan diri untuk menaikkan harga karena daya beli yang masih lemah hingga kuartal ketiga lalu. 

"Produsen belum menaikkan harga, terutama makanan seperti beras,  cabai, bawang, hingga ayam pasokannya berlimpah. Ini yang antara lain menjadi beban bagi peternak ayam karena sebenarnya harga pakan naik tetapi daya beli masyarakat belum tumbuh," ujarnya.

Dengan aktivitas ekonomi yang mulai pulih, menurut David, ada potensi produsen mulai akan melakukan penyesuaian harga dan memicu lonjakan permintaan terutama menjelang akhir tahun. Meski demikian, ia memperkirakan, inflasi tidak akan melonjak setinggi yang terjadi di Amerika Serikat hingga mencapai 6,2%. 

"Inflasi hingga Desember secara tahunan mungkin masih akan berada di kisaran 2%," kata dia. 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kondisi inflasi dalam negeri mirip dengan Cina. Sekalipun IHK belum naik signifikan,beberapa komponen lain sudah menunjukkan kenaikan. Indeks Harga Perdaganagan Besar mencatat inflasi 0,18% secara bulanan dan 2,87%. Kenaikan bulanan menunjukkan pembalikan setelah sebelumnya deflasi 0,01%, namun secara tahunan turun tipis dari 2,89%.

"Artinya perdagangan besar sudah mengcover kenaikan tarif logistik karena container harganya makin mahal. Tetapi mempertimbangkan beberapa bulan terakhir permintaan mungkin belum kelihatan, mereka belum berani menaikkan ke harga konsumen, makanya belum terefleksi ke IHK," kata Josua kepada Katadata.co.id. 

Ia mengatakan kenaikan inflasi mungkin akan semakin meningkat pada tahun depan didorong beberapa kondisi. Permintaan diperkirakan akan semakin kuat seiring perbaikan perekonomian. Hambatan di rantai pasok juga akan meningkatkan risiko lonjakan inflasi. Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) sebelumnya juga melihat masalah rantai pasok mungkin akan bertahan lebih lama, sehingga meningkatkan ekspektasi inflasi tinggi yangmasih akan bertahan.

Dari dalam negeri, periode stimulus ekonomi yang akan berakhir juga dapat mendorong harga-harga kembali normal. Jika tidak diperpanjang, harga listrik akan kembali normal setelah diberi diskon sampai akhir tahun. Sehingga mendorng kenaikan pada komponen harga diatur pemerintah.

Selain itu, rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% tahun depan juga berpeluang mendorong kenaikan harga-harga.

Potensi lonjakan inflasi di dalam negeri seperti yang terjadi di AS dan Cina juga mendatangkan kekhawatiran bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Apalagi, menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, mobilitas masyarakat sudah mulai meningkat dan bahkan sudah meningkat ke level sebelum pandemi Covid-19 pada Oktober. 

"Hal ini berdampak pada retail, supermarket, rekreasi. Kinerja sektor perdagangan kita mencatatkan lonjakan cukup tinggi," kata Sri Mulyani, Selasa (16/11).

Hal ini, menurut dia, terkonfirmasi antara lain dari data indeks belanja Bank Mandiri pada Oktober yang mencapai 114. Indeks ini sempat merosot tajam saat puncak kasus akibat varian Delta terjadi pada Juli dan hanya mencatatkan angka 73,3. 

Namun, menurut dia, pemulihan ekonomi juga dapat menimbulkan konsekuensi kenaikan harga. Hal ini sudah terjadi di Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. "Indonesia saat ini masih dapat mengendalikan inflasi. Namun, inflasi juga dibutuhkan dalam level yang sangat modest karena menggambarkan permintaan yang kuat dan resilience," kata dia. 

Oleh karena itu, menurut Sri Mulyani, pemerintah akan berupaya untuk mendorong pemulihan dari sisi permintaan tanpa menimbulkan lonjakan inflasi. Pemerintah tetap akan melakukan berbagai upaya dalam mengendalikan harga, baik dari sisi harga yang bergejolak, harga yang diatur pemerintah, maupun inflasi inti. 

"Di AS dan Eropa, distrupsi suplai memberikan dampak yang luar biasa. Kita harus waspada kemungkinan ini terjadi di Indonesia jika kenaikan permintaan lebih cepat dari kenaikan suplainya . Untuk itu sektor manufaktur perlu disiapkan," kata dia. 

Sejauh ini, menurut Sri Mulyani, industri manufaktur juga sudah memasuksi zona ekspansi. Dengan demikian, suplai diharapkan terjaga saat permintaan kembali naik. 

Efek Rambatan Stagflasi di Cina dan AS

Meski kemungkinan tak terjadi di Indonesia, stagflasi yang terjadi di AS, Cina, dan beberapa negara lainnya tentu membawa pengaruh bagi perekonomian Indonesia. Ada dampak positif dan negatif dari kondisi tersebut. 

David Sumual menilai kondisi stagflasi yang kini terjadi di Cina dan AS justru menjadi berkah bagi Indonesia. Hal ini lantaran lonjakan inflasi disebabkan oleh krisis energi yang berdampak pada harga komoditas. Kenaikan harga komoditas ini positif bagi perekonomian Indonesia. 

"Kita justru diuntungkan dengan stagflasi yang terjadi di negara lain. Tahun 1950an, saat stagflasi dan harga karet naik. Tahun 1970an juga sama, kita diuntungkan karena harga migas naik," kata David. 

Sementara saat ini, menurut dia, neraca perdagangan Indonesia Januari-Oktober berhasil mencetak surplus besar mencapai lebih dari US$ 30 miliar seiring harga komoditas yang melonjak akibat krisis energi. 

"Neraca transaksi berjalan kita bahkan bisa mengarah ke surplus, karena ada 'durian runtuh' dari kenaikan harga batu bara, CPO, dan lain-lain. Ekonomi luar jawa yang terutama menikmati," kata dia. 

Sementara itu, Josua melihat dalam jangka pendek, kenaikan inflasi di AS dapat mendorong pasar kembali memperhatikan rencana tapering off The Fed. Sekalipun bank sentral sudah memperingatkan belum mempertimbangkan kenaikan bunga acuan, pasar semakin khawatir dengan inflasi yang memanas.

"Kenaika inflasi tersebut dampaknya langsungnya sudah terlihat dari rupiah melemah, kenaikan inflasi mendorong tren yield US Treasury meningkat," kata Josua.

Adapun dalam jangka panjang, jika inflasi terus naik dan bertahan lama, dapat memicu pemulihan ekonomi AS terganggu. Pemulihan yang melambat dapat memukul perekonomian domestik melalui jalur ekspor-impor. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dapat mendorong permintaan ekspor dari Indonesia juga turun, padahal AS adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. 

Reporter: Abdul Azis Said