Prospek Cerah Sektor Batu Bara pada 2022 Meski Harga Mulai Melandai

123RF.com/Lorelyn Medina
Ilustrasi batu bara.
Penulis: Happy Fajrian
1/1/2022, 06.00 WIB

Mulai dibukanya perekonomian dari berbagai kebijakan pembatasan sosial dan penguncian wilayah (lockdown) Covid-19 membuat permintaan energi pulih dan meningkat secara signifikan setelah hampir dua tahun lamanya menyusut. Kondisi ini melambungkan harga komoditas energi, mulai dari gas alam, minyak bumi, tak terkecuali batu bara, sebab pulihnya permintaan tak diimbangi dengan ketersediaan pasokan.

Pelaku di sektor energi telah berjuang untuk mendongkrak produksinya. Namun upaya tersebut membutuhkan waktu sebelum pasokan dapat pulih dan dapat memenuhi permintaan. Kondisi ini diperparah dengan produksi pembangkit listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT), seperti angin dan surya, yang di bawah harapan.

Di tengah terbatasnya pasokan minyak, gas, dan sumber energi terbarukan, batu bara kembali menjadi pilihan. Padahal mineral hitam ini mulai ditinggalkan karena komitmen dekarbonisasi dan net zero emission di sektor energi, terutama oleh negara-negara maju di kawasan benua biru. Batu bara dianggap sebagai pencemar berat, sumber emisi karbon dan gas rumah kaca, yang menjadi penyebab utama perubahan iklim.

Namun krisis energi membut negara-negara Eropa tak punya pilihan selain menyalakan kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara untuk mengatasi tingginya harga dan terbatasnya pasokan gas, yang merupakan salah satu sumber energi utama selain EBT.

Termasuk Cina yang sebenarnya merupakan salah satu negara terdepan dalam pengembangan EBT, dengan total kapasitas terpasang pembangkit angin dan surya mencapai 581 gigawatt (GW). Bahkan Cina telah mempensiunkan hingga 297 gigawatt (GW) PLTU sejak 2007. Sama seperti Eropa, produksi pembangkit EBT yang di bawah harapan membuat negara ini jatuh ke dalam krisis energi dan mengandalkan PLTU.

Bahkan, data Bloomberg New Energi Finance (NEF) menunjukkan kalau negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping ini berencana membangun 247 GW PLTU baru hingga 2025 untuk memenuhi permintaan energi yang meningkat seiring pemulihan ekonomi. Simak databoks berikut:

Harga gas acuan Eropa Dutch Title Transfer Facility (TTF) menyentuh level € 180,27 per Megawatt Hour (MWh) pada Desember, meski harganya kini telah turun ke € 77,22 per MWh. Sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) mencapai US$ 83,36 per barel dan Brent sempat menyentuh US$ 86,40. Meski sempat turun ke level US$ 60-an per barel, kini harga minyak mulai kembali menuju level US$ 80-an.

Dengan tingginya harga gas dan minyak mentah, permintaan batu bara meroket karena harganya yang relatif lebih ekonomis. Namun terbatasnya pasokan pada akhirnya ikut melambungkan harga komoditas berjuluk emas hitam ini, hingga menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa pada Oktober di level US$ 269,50 per ton.

Untuk mengatasi keterbatasan pasokan, negara-negara produsen batu bara, terutama Cina, menggenjot produksinya meski sempat terkendala cuaca. Seiring waktu, produksi meningkat sehingga harganya mulai turun hingga menyentuh level US$ 170,1 pada Senin (27/12). Meski demikian, harga batu bara masih berpotensi untuk naik lagi.

"Permintaan batu bara global diperkirakan akan meningkat lagi pada tahun 2022 karena pasar berkembang, khususnya Cina dan India, akan membutuhkan pasokan energi tambahan dari batu bara untuk memenuhi pertumbuhan permintaan energi tambahan," tulis laporan S&P Global Platts Analytics.

Sementara itu laporan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memperkirakan permintaan batu bara di seluruh dunia berpotensi mencapai level tertinggi sepanjang masa dalam dua tahun ke depan. Permintaan global untuk batu bara tahun ini, khususnya untuk industri baja, semen, serta pembangkit listrik, diperkirakan meningkat 6%. "Permintaan batubara diperkirakan akan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2022 dan kemudian permintaannya akan melandai," tulis laporan IEA.

Analis sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi memprediksi harga batu bara mencapai puncak tertingginya pada Januari 2022 seiring puncak musim dingin. Namun setelah itu melandai dan bergerak stabil di kisaran US$ 130 per ton pada Februari. "Seandainya terkoreksi itu terakhir harga tertinggi. Kemungkinan besar memasuki Februari harga gas alam dan batu bara lebih stabil," ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (28/12).

Faktor pendorong turunnya harga selain berakhirnya musim dingin yaitu kembali normalnya kegiatan eksplorasi di Cina, India, Eropa, Australia, dan Amerika. Ini lantaran salah satu tantangan terbesar dalam kegiatan eksplorasi adalah cuaca.

"Seiring waktu Cina kembali lagi melakukan eksplorasi meskipun musim dingin. Tantangan besar itu pada musim penghujan, di Cina juga ada banjir bandang. Di kota-kota di Cina yang mengalami banjir bandang ini yang menyebabkan terjadinya krisis energi," katanya menambahkan.

Dia pun memproyeksikan harga batu bara mulai akan stabil pada kuartal III 2022. Setidaknya, harga batu bara pada periode tersebut diperkirakan akan berada di level US$ 100 per ton. Hal ini seiring dengan kebijakan tapering oleh Federal Reserve (The Fed) dan menguatnya Indeks dolar AS yang berdampak pada perdagangan komoditas internasional. "Kalau dolar menguat tajam ini akan berdampak pada perdagangan komoditas internasional," ujarnya.

Selain itu dengan masih banyaknya proyek pembangunan PLTU baru di dunia, permintaan batu bara masih akan terjamin selama beberapa dekade ke depan lantaran usia minimal pembangkit listrik ini adalah sekitar 30 tahun sebelum efisiensinya menurun.

Potensi Ancaman Omicron Terhadap Permintaan Energi

Sebaliknya, Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan meskipun terus menunjukkan tren pemulihan, pertumbuhan ekonomi global di 2022 melandai. Kondisi global masih menunjukkan berbagai faktor risiko yang berpotensi memperlambat pertumbuhan global salah satunya pandemi yang masih berlanjut, seiring ditemukan varian baru Covid-19 yang bernama Omicron.

Penyebaran Omicron dikhawatirkan dapat memicu negara-negara untuk kembali menerapkan kebijakan pembatasan sosial hingga lockdown. Jika itu terjadi, maka permintaan energi akan kembali terpuruk. "Jika ini adalah gelombang lain seperti yang telah kita lihat sebelumnya, maka itu adalah pukulan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2022," kata kepala penelitian energi di Goldman Sachs Damien Courvalin.

Bank sentral di berbagai negara-negara utama diproyeksikan akan mempercepat pengetatan moneter untuk mengantisipasi kenaikan inflasi yang cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi Cina yang tumbuh lebih lambat akibat krisis utang sektor properti dan dampak inflasi mampu menekan konsumsi domestik. "Di tengah pertumbuhan ekonomi yang melandai, diproyeksikan pertumbuhan kebutuhan batu bara pada 2022 masih cukup baik," katanya.

Dari proyeksi total impor berbagai negara sebesar 1,06 miliar ton, pasar Indonesia untuk Cina, India, Asia Timur dan Asia Tenggara hampir terbuka sebesar 83%. Pertumbuhan kebutuhan batu bara di empat wilayah ini diproyeksikan mencapai sekitar 50 juta ton pada 2022. Ini menjadi sinyal, khususnya bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produksi batu bara nasional.

"Dengan potensi besarnya kenaikan kebutuhan tersebut, menjadi sangat masuk akal jika pemerintah menaikkan produksi batubara menjadi sebesar 639 sampai 664 juta ton. Dari bauran energi dan besarnya kapasitas PLTU Batu bara Cina dan India, diharapkan ke dua negara ini tetap menjadi andalan ekspor batubara Indonesia," ujarnya.

Cina memiliki 68% pembangkit thermal, kapasitas pembangkit PLTU terpasang per Januari 2021 mencapai 1.245 gigawatt (GW) atau hampir separuh dari total kapasitas pembangkit listrik tersebut di dunia. Demikian juga India, hampir 54% atau 208.6 GW merupakan PLTU batu bara. "Total seluruh pembangkit listrik Cina 2.200 GW dan India sebesar 388,8 GW, jauh mengalahkan Indonesia yang saat ini kapasitasnya totalnya 73,7 GW," katanya.


Di tengah proyeksi melandainya pertumbuhan ekonomi global pada 2022, isu lingkungan menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi harga batu bara. Namun, isu lingkungan diperkirakan belum berdampak signifikan tahun depan, mengingat berbagai negara importir batu bara, khususnya Cina dan India masih merencanakan kenaikan impor batu bara.

"Menjadi tidak mudah memetakan harga batu bara di 2022 secara tepat. Hal yang sama di 2021, tidak ada satupun pihak yang memprediksi harga batu bara dapat menyentuh sampai di US$ 250 per ton," katanya. Ancaman Omicron berpotensi menekan kembali pertumbuhan ekonomi global, dan dipastikan akan mempengaruhi harga batu bara. Banyak pihak yang memproyeksikan indeks harga batu bara di 2022 akan kembali pada kisaran US$ 120 per ton.

Namun kondisi pasar akan berubah di saat Australia dan Cina akan membangun kembali alternatif dalam mitra perdagangan untuk kepentingan bersama. Namun dampak pengaruh kedua negara lebih dirasakan dampaknya untuk batu bara metalurgi, dibandingkan batubara steam coal.

"Harus diakui dengan kebutuhan yang cukup meningkat cepat pasca pemulihan ekonomi, telah mengakibatkan terjadinya supply chain disruption di berbagai negara, yang berdampak salah satunya pada kelangkaan atau kekurangan kapal pengangkut," katanya.

Perkembangan Pesat Energi Terbarukan dan Komitmen Iklim

Untuk jangka waktu yang lebih panjang, kapasitas energi terbarukan terus bertambah seiring tuntutan untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Apalagi, biaya pembangkitan listrik energi terbarukan semakin hari semakin murah dengan semakin majunya perkembangan teknologi.

Menurut analisis IEA, harga listrik batu bara biasanya US$ 17 per MWh lebih mahal daripada gas alam, US$ 32/MWh lebih mahal daripada pembangkit surya, dan US$ 38/MWh lebih mahal daripada pembangkit tenaga angin. Pada harga ini, memasang energi terbarukan seringkali lebih murah daripada menjalankan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada. Harga gas alam mungkin memiliki sedikit ruang untuk penurunan lebih lanjut, tetapi penurunan harga angin dan matahari sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Pembangkit listrik tenaga angin dan surya sekarang menyediakan hampir 10% dari listrik global, dan jumlah ini meningkat setiap tahun. IEA, yang secara historis meremehkan pertumbuhan energi terbarukan, memproyeksikan bahwa penambahan kapasitas tahunan akan terus tumbuh di tahun-tahun mendatang, yang berarti laju perubahan akan lebih cepat dari sebelumnya.

Pertumbuhan berkelanjutan energi terbarukan berarti bahwa batu bara akan berada di bawah tekanan selama bertahun-tahun yang akan datang. Di samping itu, semakin banyak negara yang dengan sengaja menghapus batubara dari jaringan mereka.

Pada KTT iklim COP26, 23 negara berkomitmen untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara, termasuk lima dari 20 negara pengguna tenaga batu bara teratas. Kanada dan hampir seluruh Eropa sekarang berniat untuk sepenuhnya meninggalkan batu bara. Tetapi bahkan negara-negara berkembang seperti sejumlah negara Afrika ikut berjanji untuk menghapuskan batu bara. Mengingat ekonomi mereka yang tumbuh cepat, ini akan menjadi pukulan besar terhadap permintaan batu bara di masa depan.

Reporter: Verda Nano Setiawan