Operator telekomunikasi kini tak henti-hentinya merilis dan memamerkan produk dan layanan terbarunya di bisnis digital. Model usahanya pun beragam, mulai dari membangun sendiri produknya, investasi pada perusahaan lain, hingga mengakuisisi perusahaan eksisting. Ini jadi ikhtiar operator telekomunikasi untuk tetap eksis dan menjadi perusahaan raksasa di era digital.

Pada awal Mei lalu misalnya, Telkomsel menjalin aliansi usaha dengan layanan keuangan digital (financial technology / fintech) Kredivo. Lewat aliansi tersebut, pelanggan Telkomsel bisa menggunakan fasilitas paylater untuk membeli produk-produk Telkomsel seperti pulsa, paket data, hingga produk digital lainnya seperti MaxStream atau games.

Telkomsel sebelumnya bahkan mendirikan anak usaha khusus, yakni PT Telkomsel Ekosistem Digital (Indico) untuk menggarap sektor digital. VP Corporate Communications Telkomsel Saki Hamsat Pramono mengatakan perusahaan fokus pada tiga lini digital, yakni konektivitas, platform, dan layanan digital.

“Indico merupakan anak perusahaan Telkomsel yang akan menjadi holding company bagi bisnis vertikal di sektor digital,” kata Saki kepada Katadata.co.id.

Saat ini Indico mengandalkan tiga solusi digital: Kuncie di sektor kesehatan (health tech), Fita untuk sektor pendidikan, dan Majamojo yang fokus di bisnis penerbitan games. Produk yang terakhir ini merupakan hasil kolaborasi dengan GoTo Group.

“Indico juga membuka kesempatan untuk memperluas portofolio bisnis vertikal ke lebih banyak sektor industri lainnya,” katanya.

Saki menjelaskan Telkomsel mengandalkan tiga strategi di bisnis digital. Pertama, "build", yakni perusahaan mengandalkan pengembangan kapasitas digital secara internal.

Kedua, "borrow" atau kemitraan dengan perusahaan digital yang sudah ada. Kolaborasi dengan Kredivo merupakan salah satu contoh strategi ini. Ketiga, "buy" atau investasi strategis ke perusahaan digital yang potensial.

Langkah Telkomsel yang membenamkan investasi di Gojek menjadi salah satu kebijakan strategis perusahaan untuk mengejar sinergi usaha. Direktur Utama PT Telkom Indonesia Tbk Ririek Ardiansyah sempat menyebut investasi ini membawa berkah bagi Telkomsel melalui penetrasi pengguna di kalangan mitra Gojek.

“Fokus kami memang tidak hanya capital gain atau loss. tetapi sinergi usaha,” kata Ririek kepada Katadata.

Telkomsel dan Kredivo bekerja sama dalam menyediakan layanan paylater (Telkomsel)
 

Kian Agresif Pasca Merger

Operator telekomunikasi lain jugha berbenah dan melangkah ke sektor digital. Setelah resmi melakukan merger dan akuisisi dengan Tri pada Januari tahun ini, PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk kian agresif merambah sektor digital.

Sebelum merger, Indosat sudah mengandalkan anak usahanya PT Aplikanusa Lintasarta untuk menggarap lini bisnis tersebut. Lintasarta banyak bermain di sektor data center, komputasi awan, hingga layanan data untuk korporasi.

Baru-baru ini, Lintasarta membentuk usaha patungan dengan PT Starone Mitra Telekomunikasi dan BDX Asia Data Center Holdings Pte Ltd untuk mengembangkan data center.

"Estimasi nilai rencana transaksi adalah Rp 3,3 triliun," kata Corporate Secretary Indosat Billy Nikolas Simanjuntak, Jumat (13/5).

Data center memang menjadi salah satu sektor bisnis yang menjanjikan. Menurut laporan terbaru yang dirilis oleh Mordor Intelligence , pasar pusat data Indonesia bernilai US$ 1,67 miliar pada tahun 2021, dan diperkirakan akan tumbuh menjadi US$ 3,43 miliar pada tahun 2027, dengan tingkat pertumbuhan setiap tahun lebih dari 13%.

Salah satu langkah menarik Indosat di sektor digital adalah perusahaan fokus menggarap pasar fintech. Dua pekan setelah meresmikan merger dengan Tri, Indosat meluncurkan produk pinjaman digital UCan.

Produk hasil kolaborasi dengan PT Bank QNB ini menawarkan solusi pinjaman melalui aplikasi MyIM3. Pengguna tidak hanya bisa meminjam uang tunai, tetapi juga bisa melakukan pinjaman untuk membeli paket data Indosat.

Tak mau kalah, Tri yang kini sudah bergabung dengan Indosat juga punya produk serupa. Kali ini, perusahaan bekerja sama dengan perusahaan fintech peer to peer lending Maucash.

“Kami berusaha untuk terus melengkapi ekosistem digital dan menjawab kebutuhan finansial pelanggan Tri di masa pandemi," kata Chief Commercial Officer Indosat Ooredoo Hutchison Ritesh Kumar Singh.

Industri fintech memang kian unjuk gigi di Indonesia. Berikut ini data penyaluran fintech dalam setahun terakhir. 

Jika Indosat mulai serius melirik bisnis fintech, PT XL Axiata Tbk punya strategi yang agak berbeda. Pada 13 Mei lalu, XL justru mengurangi porsi sahamnya di perusahaan data center. Sebelumnya, XL menggenggam 33,6% saham di PT Princeton Digital Group Data Centres (PDGDC), tetapi kini berkurang menjadi 30%.

Presiden Direktur dan CEO XL Axiata Dian Siswarini menegaskan perusahaan akan fokus di tiga lini: mobile, home and convergence, dan enterprise. Lini bisnis mobile memang menjadi penopang utama pendapatan perusahaan. Namun, lini bisnis home and convergence justru yang paling menarik dan potensial.

Perusahaan menggarap sektor ini dengan meluncurkan solusi fixed broadband XL Home. Tidak hanya menyediakan paket data rumahan unlimited, XL membundel dengan layanan video on demand.

Operator telekomunikasi ini bergerak lebih jauh dengan memperkenalkan XL Satu pada Desember 2021. Solusi ini menawarkan pelanggan paket data fixed broadband sekaligus paket internet mobile dengan kuota tertentu.

Di sektor video on demand, XL juga menjalin kolaborasi dengan platform Vidio untuk memberikan konten-konten premium. “XL Axiata memandang kolaborasi menjadi suatu hal yang mutlak dilakukan untuk terus berkembang di industri digital Tanah Air,” ujar Direktur & Chief Commercial Officer XL Axiata David Arcelus Oses, April lalu.

Berdamai dengan OTT?

Strategi kolaborasi XL dengan pemain over the top (OTT) seperti Vidio mungkin sulit dibayangkan beberapa tahun sebelumnya. Kala itu, OTT seringkali dianggap sebagai musuh bebuyutan operator telekomunikasi.

Layanan OTT yang membutuhkan kuota jumbo dianggap membebani layanan data yang diberikan operator. Telkomsel bahkan telah memblokir Netflix sejak 2016, sebelum akhirnya melunak dan mulai menerima platform tersebut pada 2020 lalu.

Kini, kolaborasi operator dengan layanan OTT sudah kian lumrah. “Keberadaan website [OTT] tidak bisa dielakkan,” kata Direktur Utama PT Smartfren Indonesia Tbk. Merza Fachys kepada Katadata.

Ia menyebut operator telekomunikasi tidak punya kompetensi untuk memproduksi konten seperti yang dilakukan platform video on demand. Namun, operator harus memastikan platform OTT tersebut memiliki sumber daya mumpuni untuk menjajakan produknya kepada pelanggan.

“Sekarang kalau pas lagi nonton tiba-tiba buffering, pasti operator yang disalahkan. Padahal bisa jadi server-nya yang bermasalah,” kata Merza.

Tren semacam ini bisa jadi merugikan bagi operator karena pelanggan berpotensi pindah ke operator lain. “Jadi sekarang kami aktif memberikan rekomendasi kepada partner kalau kapasitas server-nya kurang, misalnya,” katanya.

Netflix (Netflix)
 

Diversifikasi Sumber Pendapatan

Diversifikasi produk digital, apapun bentuk dan strateginya, bisa menjadi solusi bagi operator untuk menggali sumber-sumber pendapatan baru. Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan persaingan layanan data dan internet saat ini sangat ketat. Pendapatan di lini bisnis ini sudah menjadi pendapatan yang normal bagi operator.

“Diversifikasi saat ini sangat diperlukan selain menjual layanan data sebagai core business operator,” katanya kepada Katadata.

Heru menjelaskan operator bisa memodifikasi layanan digital dari pemain lain atau membangun layanan sendiri dari awal. Saat ini pemanfaatan industri 4.0 bisa jadi merupakan bisnis digital baru. Sejumlah solusi terkini seperti analisis big data, internet of things (IoT), kecerdasan buatan serta layanan streaming maupun dompet digital menjadi kue bisnis yang bisa diperebutkan.

Salah satu tantangannya adalah pasar yang masih baru. Menurut Heru, butuh waktu untuk membentuk pasar digital yang baru. Selain itu, meluncurkan layanan digital berarti juga butuh modal yang tidak sedikit.

Apalagi tidak semua manajemen perusahaan berani keluar dari zona nyaman yang hanya menjajakan pulsa atau paket data internet daja. “[Pendapatan] dari konektivitas masih yang utama. Karena itu perlu diversifikasi agar tidak stagnan ke depannya,” kata Heru.

Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno mengatakan mau tidak mau operator memang harus memasuki bisnis digital. Menurutnya, pasar bandwidht internet saat ini sudah mulai jenuh. Selain terbebani oleh investasi infrastruktur yang besar, operator juga masih menghadapi perang tarif paket data.

“Pendapatan operator di sektor bandwidth mulai stagnan, dan berpotensi turun terus,” kata Sarwotonya.

Persoalan bandwidht saat ini hanya tinggal kesenjangan akses. Namun, persoalan ini dinilai akan segera teratasi dalam 2-3 tahun ke depan. “Setelah itu apa? Pertumbuhan bisnis bandwidht akan segitu-gitu saja,” katanya.

Memasuki bisnis digital bisa menjadi penolong operator di tengah segudang persoalan di bisnis bandwidht. Apalagi menurutnya, operator punya captive market pelanggan yang sangat besar. Ini yang membedakan operator telekomunikasi dengan start up lain yang sudah masuk ke pasar.

“Bayangkan misalnya kalau Telkomsel bisa membuat semua mitra Gojek pakai bandwidht Telkomsel. Berapa itu potensi keuntungannya,” ujarnya menyebut strategi investasi Telkomsel di Gojek.

Kendati demikian, menurut Sarwoto, bisnis digital bukan tanpa tantangan. Menurutnya, ini lini bisnis dengan risiko tinggi meskipun menjanjikan potensi keuntungan yang tinggi pula.

“Saya rasa sekarang masih di tahap pembelajaran. Soal keuntungan itu tergantung strategi masing-masing operator,” kata Sarwoto.

Reporter: Rezza Aji Pratama