Pemulihan ekonomi Tanah Air, termasuk di industri perbankan, makin terlihat seiring serangan pandemi Covid-19 mereda di awal tahun ini. Tak hanya bank-bank besar, performa Bank Perkreditaan Rakyat juga menunjukkan kenaikan.

Melansir Laporan Triwulan I-2022 Otoritas Jasa Keuangan, hingga Maret 2022 kinerja BPR cukup baik. Selain itu, laporan OJK menyatakan ketahanan BPR cukup solid, didukung permodalan yang tinggi di atas threshold.

Beberapa indikator kinerja BPR itu seperti kredit, penghimpunan dana pihak ketiga atau DPK dan aset yang makin besar pada Januari - Maret 2022. Meskipun begitu, peningkatan risiko kredit masih menjadi perhatian seiring penurunan rentabilitas serta efisiensi dibandingkan tahun sebelumnya.

Baca Juga ARTIKEL EDISI KHUSUS PERBANKAN LAINNYA:

Indikator Kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) per Triwulan I-2022

NoKeteranganTriwulan I-2021Triwulan IV-2021Triwulan I-2022Persentase
qtqyoy
1DPKRp 107,98 TRp 117,01 TRp 119,64 T2,35 %10,79 %
2KreditRp 112,36 TRp 116,58 TRp 120,83 T3,64 %7,53 %
3AsetRp 156,90 TRp 168,44 TRp 170,69 T1,33 %8,79 %
4CAR34,02 %32,15 %38,17 %  

Sumber: Laporan Triwulan I-2022 OJK

Meningkatnya DPK pada kuartal pertama 2022 didukung oleh pertumbuhan deposito dan tabungan. Kedua produk tersebut masing-masing naik 9,82 % dan 13,06 % secara tahunan (yoy).

Berkat pertumbuhan DPK, aset BPR pada periode tersebut turut menanjak 8,8 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sekitar 59,73 % aset BPR tersentralisasi di Pulau Jawa, dengan porsi terbesar berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Selanjutnya, penyaluran kredit periode Januari-Maret 2022 juga meningkat 7,53 % yoy. Berdasarkan jenis penggunaan, 53,8 % penyaluran kredit mengalir ke kredit produktif, seperti kredit modal kerja (KMK) sebanyak 46 % dan kredit investasi 7,8 %.

Berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran kredit BPR masih didominasi sektor perdagangan besar dan eceran, dengan porsi 20,7 %. Sementara penyaluran kredit untuk rumah tangga memiliki porsi 13,06 % per Maret 2022.

Adapun rentabilitas BPR sepanjang Januari - Maret 2022 menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal itu tercermin dari rasio profitabilitas atau ROA yang turun menjadi 1,76 % dari 1,87 %. Data tersebut juga diikuti penurunan efisiensi BPR, dilihat dari biaya operasional dan pendapatan operasional atau BOPO yang naik dari 84,3 % menjadi 84,8 % per Maret 2022.

Di sisi lain, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah atau BPRS mampu mencatatkan pertumbuhan aset dua digit, yakni 15,02 % yoy menjadi Rp 17,18 triliun rupiah. Salah satu penopangnya berasal dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).

Baca Juga ARTIKEL EDISI KHUSUS PERBANKAN LAINNYA:

Indikator Kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) per Triwulan I-2022

NoKeteranganTriwulan I-2021Triwulan IV-2021Triwulan I-2022Persentase
qtqyoy
1DPKRp 9,82 TRp 11,59 TRp 11,60 T0,05 %18,10 %
2PembiayaanRp 10,93 TRp 11,98 TRp 12,64 T5,47 %15,59 %
3AsetRp 14,94 TRp 17,06 TRp 17,18 T0,7 %15,02 %
4CAR23,98 %23,79 %24,09 %  

Sumber: Laporan Triwulan I-2022 OJK

Ketua Umum Kompartemen BPRS Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) Cahyo Kartiko mengatakan pencapaian kinerja BPRS melebihi target yang ditetapkan pada 2020. Bahkan, angka tersebut melampaui pertumbuhan sebelum pandemi, yakni pada 2018.

Sepanjang pandemi, BPRS hanya mematok pertumbuhan 10 % dan idealnya 5 %. Estimasi tersebut seiring jumlah BPRS yang hanya 164 kantor secara nasional. “Sehingga, meskipun nominal pertumbuhan tidak terlalu besar, mungkin (persentase) bisa mendongkrak pertumbuhan hingga 10 %,” kata Cahyo saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (30/6).

Efektivitas Rencana IPO

April 2022, usai pertemuan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mendorong BPR untuk dapat menghimpun dana di pasar modal melalui proses penawaran umum atau initial public offering (IPO). Harapannya BPR dapat go public melalui papan akselerasi.

Terkait rencana tersebut, Asbisindo menilai ada kekhawatiran saham bank pembiayaan dimiliki oleh warga negara asing (WNA). Bila itu terjadi, akan bertentangan dengan prinsip kepemilikan BPR.

“Mungkin IPO yang dimaksud terbatas. Saya setuju kalau itu diperbolehkan, jadi ada pilihan lain bagi permodalan BPRS,” kata Cahyo. Dengan demikian, dia melanjutkan, “Tidak hanya dari setoran modal pemegang saham existing, juga bisa dijual di pasar primer.”

Sedangkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda menilai efektivitas rencana IPO untuk menambah modal BPR tidak begitu besar. Apalagi, kondisi pasar saham saat ini sedang tertekanan, sehingga minat investor di pasar modal cenderung lesu.

Di samping itu, untuk menjadi perusahaan terbuka di pasar modal, BPR/BPRS memerlukan keandalan teknologi. Hal tersebut cukup penting, khususnya untuk bisa menggaet investor muda. Namun pemanfaatan teknologi pada BPR Tanah Air cenderung masih minim.

“Perbankan sudah banyak yang IPO, tapi kalau tidak ada teknologi, sulit untuk menggaet investor milenial. Takutnya, sudah IPO tapi enggak ada yang minat,” kata Huda saat dihubungi Katadata.co.id.

Meraba Digitalisasi Lewat Fintech

Foto Ilustrasi Fintech Landing (Muhammad Zaenuddin|Katadata) 

Menjamurnya inovasi bank digital dan teknologi keuangan (fintech) semakin meningkatkan persaingan antar-institusi keuangan, tidak terkecuali BPR. Huda menilai aksi merger hingga kolaborasi dengan fintech akan lebih efektif dalam mendorong kinerja dan eksistensi BPR.

“Ceruk pasar keuangan dengan digital sangat besar dan bisa dimanfaatkan oleh BPR. Beberapa fintech juga sudah masuk ke BPR, termasuk fintech payment gateway Zendit,” ujar Huda.

Peluang BPR untuk meningkatkan kinerja dengan kolaborasi ini cukup tinggi. Misalnya, dengan margin tekfin pembiayaan atau fintech peer-to-peer (P2P) lending yang cukup tinggi, BPRS bisa mengambil keuntungan dari sana. Begitu juga sebaliknya, lander P2PL juga bisa diarahkan untuk masuk ke BPR.

Sebelumnya, Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Mulya E Siregar, mengatakan arah kebijakan OJK yang ditetapkan dalam POJK 25 akan banyak beralih pada sustainable finance. Hal ini tentu akan menjadi tantangan baru dan sangat penting bagi BPR/BPRS untuk berinovasi dengan cepat.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam seminar virtual mengatakan BPR/BPRS penting untuk berinovasi secepatnya. Tujuannya, agar bisa berkompetisi melayani kebutuhan ekonomi kecil dan UMKM.

Di samping itu, BPR/BPRS juga harus menghadapi shadow banking melalui fintech, dengan regulasi yang lebih longgar dan kompetitif. “Tantangannya, bagaimana BPR/BPRS dapat melakukan penetrasi pasar, sehingga bertumbuh dengan baik,” ujar Dian.

Cahyo pun menyadari gempuran fintech dan bank digital di era pandemi yang memiliki irisan segmen pasar hampir sama. Dia merasa BPR/BPRS memang masih kalah dari segi teknologi dan layanan yang ditawarkan kedua institusi keuangan tersebut.

Namun Asbisindo lebih unggul dalam memahami kondisi nasabah di lapangan, lantaran bank tersebut berbasis komunitas. “Kami mendorong untuk berkolaborasi antara dua industri, karena sepertinya di lapangan segmen pasar yang digarap itu sama,” ujar Cahyo.

Saat ini, Asbisindo sudah bekerja sama dengan fintech P2P lending dan payment gateway. Selain berkolaborasi dengan institusi keuangan, BPRS berharap bisa bekerja sama dengan pemerintah sebagai penyalur dana strategis seperti dana Pemulihan Ekonomi Negara (PEN) dan Program Keluarga Harapan.

Dari segi internal, BPRS juga perlu memperkuat permodalan untuk bisa bersaing dengan industri keuangan lainnya. Dengan begitu, bank syariah tersebut bisa mendorong kinerja dengan ekspansi, serta meningkatkan kompetensi sumber daya manusia.

Baca Juga ARTIKEL EDISI KHUSUS PERBANKAN LAINNYA:

Nasib BPR dan BPRS ke Depan

Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto mengatakan BPR dan BPRS masih memerlukan beragam perbaikan. Itu termasuk regulasi dan tata kelola, misalnya melalui Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Menurut dia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi BPR dan BPRS di era digital, seperti perubahan kebutuhan dan ekspektasi masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan. Itu terjadi seiring pergeseran perilaku yang semakin mengandalkan teknologi.

Selain itu, BPR dan BPRS harus mampu menyediakan produk dan layanan inovatif dan variatif, murah, aman serta mudah diakses di berbagai tempat dan tidak terikat waktu. Kualitas dan kuantitas SDM pun perlu ditingkatkan agar bisa bersaing dengan bank umum.

Di samping itu, ketatnya persaingan antarlembaga jasa keuangan yang semakin ketat, seperti persaingan pemberian kredit atau pembiayaan untuk segmen mikro dan ritel perlu diantisipasi. Sehingga, ketersediaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai perlu menjadi sorotan.

Tak sampai di sana, BPR dan BPRS juga mesti bersiap menghadapi risiko terkait keamanan data dan perlindungan konsumen. Hal itu seiring pemanfaatan teknologi serta penyediaan produk dan layanan berbasis digital yang memiliki risiko keamanan seperti kebocoran data dan serangan siber.

Ketua Umum Kompartemen BPRS Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia Cahyo Kartiko memperkirakan kinerja BPRS tahun ini lebih berat. Ada tiga hal yang mendasari pandangan ini.

Pertama, adanya kemungkinan penarikan dana di BPRS oleh nasabah karena ekonomi Indonesia sudah semakin pulih pasca pandemi. Kedua, penarikan dana tersebut juga bisa dilakukan oleh bank yang melimpahkannya ke sektor riil.

Ketiga, kekhawatiran pelarian dana DPK akibat risiko kenaikan suku bunga bank sentral, baik Bank Indonesia maupun Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed. Ketika suku bunga naik, pemilik dana BPR cenderung mengharapkan bagi hasil yang lebih tinggi sehingga ada kemungkinan penarikan dana ke instrumen lain. “Termasuk risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari tahun lalu,” ujar Cahyo. 

Risiko larinya penghimpunan dana nasabah di BPR juga disadari Huda. Ekonom INDEF tersebut menilai potensi tersebut cukup besar terjadi, seiring meningkatnya perang suku bunga dengan perbankan besar.

BPR diprediksi kesulitan untuk mengamankan net interest margin atau NIM, ketika suku bunga dinaikkan. “Kalau suku bunga kredit naik, permintaan kreditnya akan semakin sulit. Sementara korporasi masih ada NIM (meskipun menaikkan suku bunga),” kata Huda.

Reporter: Amelia Yesidora, Intan Nirmala Sari