• Arus mobilitas penduduk pada wilayah penyangga Jakarta bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, pemukiman, pendidikan, melainkan juga hiburan.
  • Citayam Fashion Week merupakan bentuk protes terhadap ruang yang lebih besar. Fesyen selama ini dianggap hanya dikuasai pemilik modal.
  • Pemerintah Daerah dinilai kekurangan anggaran untuk memperluas ruang publik dibandingkan APBD Jakarta yang besar. 

Fenomena Citayam Fashion Week di Jakarta turut membuka jendela akan kondisi sosial kota-kota penyangga Ibu Kota dewasa ini. Banyak wajah baru, usia tanggung, berlenggok bak model tersohor, di atas zebra cross Dukuh Atas.

Gaya nyentrik bocah-bocah asal kota penyangga Jakarta itu sukses mendapat atensi masyarakat Indonesia hingga dunia. Disorot berbagai media hingga pejabat Tanah Air bukan lagi hal baru. Media dari Jepang pun tak luput menyorot fenomena Citayam Fashion Week itu. 

Dalam cuitan di Twitter, media fesyen asal Negeri Sakura, Tokyo Fashion membandingkan fenomena Citayam Fashion Week dengan pergelaran street fashion Harajuku. 

Pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya menilai kawasan Dukuh Atas sebagai lokasi yang mudah dan murah dicapai beragam transportasi, seperti MRT, KRL dan Transjakarta. Selain itu, ruang terbuka di kawasan tersebut cukup luas dan relatif bebas dari lalu lintas kendaraan bermotor.

"Menariknya, para penyelenggara Citayam Fashion Week tentu kerumunan orang di Dukuh Atas. Mereka perlu penonton sebagai validasi," kata Marco kepada Katadata.co.id, Sabtu (23/7).

Sedangkan dari sudut pandang sosiologi, fenomena Citayam Fashion Week merupakan bentuk protes yang dilakukan anak-anak muda yang membutuhkan ruang eksistensi. Umumnya, kebutuhan tersebut tidak mereka dapatkan di daerah pinggiran. Alhasil, para remaja tanggung itu mencari tempat lain untuk mewadahi kreatifitas mereka.

"Kenapa dikemas dalam fesyen? Ini bentuk protes terhadap ruang yang lebih besar. Fesyen selama ini cuma jadi para pemilik modal dan sumbernya di Sudirman Central Business District (SCBD), di sana uang triliunan rupiah berputar setiap hari," kata Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (22/7).

Kini, kawasan Dukuh Atas tak hanya akrab dengan fenomena Citayam Fashion Week, tapi juga sapaan baru, yakni SCBD. Nama baru itu merupakan plesetan dari abreviasi Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok. Menurut Sigit, nama "SCBD" yang baru merupakan upaya pemuda sub-urban Jakarta untuk mendapat pengakuan dan perhatian pemerintah untuk membangun ruang publik dan tidak dimonopoli pemilik modal atau mereka yang banyak uang.

"Anehnya, mereka yang dikritik enggak peka, justru memanfaatkan panggung anak-anak untuk menaikkan eksistensi. Padahal ini protes terhadap mereka," ujar Sigit.

Dia juga menyoroti fungsi trotoar, yang kini kerap dijadikan lapak catwalk untuk melenggok bak model di Dukuh Atas. Semakin banyak orang berkerumun di lokasi Citayam Fashion Week, dikhawatirkan bakal mengganggu suasana dan ketertiban kota. 

Pengamat tata kota, Yayat Supriatna mengatakan ada perbedaan jauh antara tata kota Jakarta dengan kota-kota penyangganya. Adapun kekuatan besar yang mendorong perubahan itu berasal dari media sosial seperti Tiktok, Instagram, yang bisa membuat orang tampil layaknya raja, namun akan hilang dalam waktu cepat.

"Citayam, Bojonggede itu kan cuma kota kecamatan, wilayahnya masih berbau rural, tapi nuansa metropolitan begitu kuat. Apalagi kalau dikaitkan dengan media sosial," ujarnya kepada Katadata.co.id.

Yayat menekankan, para milenial asal kota penyangga Jakarta membutuhkan panggung untuk eksistensi. Sementara, ruang terbuka kota asal mereka belum memberikan makna simbolis, nilai hingga prestise, dan posisi untuk bisa menyorot atensi besar.

"Dukuh Atas, di Thamrin, atau Sudirman itu panggungnya besar, ada gedung-gedung pencakar langit,  jalan lebar, banyak mobil. Itu menarik buat anak pinggiran, buat melakukan mobilitas sosialnya, dari orang pinggiran tiba-tiba menjadi orang kota," kata Yayat. 

Citayam Fashion Week (Muhammad Zaenuddin|Katadata)

Keandalan Tata Kota Bangun Pondasi Sosial

Dalam konteks masyarakat urban, Dukuh Atas menjadi salah satu kawasan yang berhasil disulap dengan desain menarik, nyaman, dengan akses transportasi mudah. Alhasil, mobilitas warga kota meningkat di sekitaran kawasan tersebut. Tak sedikit pula warganet yang membagikan keseruannya di media sosial, ketika bertandang ke Dukuh Atas.

"Secara sosiologis, demam nongkrong di "SCBD" ini disebut sebagai perilaku kolektif. Artinya, perilaku yang berkembang sesaat dan tak berpijak pada norma-norma berlaku," ujar Sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida kepada Katadata.co.id, Minggu (24/7).

Kehadiran remaja "SCBD" juga berkaitan erat dengan pencarian eksistensi diri. Ida menilai fenomena Citayam Fashion Week bisa diproduksi di tempat lain, selama difasilitasi pihak-pihak terkait, tanpa mengintervensi dan mematikan kreativitas.

Berdasarkan pengalaman Ida mendampingi kelompok nongkrong di Jakarta Pusat, menurutnya belum ada keberpihakan dan komitmen kuat dari negara dalam membangun tata kota ramah untuk kelas menengah ke bawah. Padahal, idealnya keberadaan fasilitas umum terbuka seperti taman kota, lapangan, menjadi bagian yang melekat dari fasilitas pemukiman.

"Kalaupun ada kebijakan kota ramah anak, harus diakui masih sloganisme," katanya. 

Sementara itu, Sigit memandang Pemda perlu memperhatikan potensi perkembangan kota untuk 5-10 tahun mendatang sebelum menyusun tata kota. Apalagi, pembangunan tata kota tidak sebatas membangun tata fisik, melainkan juga sosial dan budaya. Untuk itu, pembangunan suatu daerah harus bertumpu pada nilai budaya masing-masing daerah.

"Yang dirancang kurang memperhatikan tuntutan kondisi mendatang, terlalu fokus pada kondisi sekarang. Ini menjebak, dan versinya sama dari satu kota ke kota yang lain, jadi perencanaannya kurang kuat," ujar Sigit. 

Sedangkan Yayat memandang keterbatasan tata kota di beberapa kawasan penyangga Jakarta, terjadi karena ketimpangan anggaran yang cukup besar. Untuk membangun kota diperlukan kehadiran ruang terbuka, alun-alun, hingga taman.

Dalam membangun kota juga diperlukan kreativitas hingga simbol atau ikon kuat untuk mencerminkan kehadiran dan eksistensi kawasan. Dengan begitu, bukan tidak mungkin untuk menciptakan fenomena serupa Citayam Fashion Week di kota lainnya di Indonesia.

"Jadi bukan malas (Pemda membangun kota), enggak punya duit. Jangan membandingkan dengan Jakarta, jauh," kata Yayat. 

Pengamat tata kota, Marco menyatakan perlunya ruang terbuka cukup luas, perlintasan transportasi masal, hingga kepadatan rata-rata yang cukup, untuk memajukan kota-kota penyangga Ibu Kota. Apalagi, kota dirancang untuk kenyamanan mobilitas dan tempat tinggal.

Menanam Akar yang Hilang

Selain gaya fesyen yang nyentrik, remaja "SCBD" juga kerap mengumbar kemesraan di tempat umum. Sebut saja pasangan viral Jeje dan Roy, serta Bonge dan Kurma. Pasangan-pasangan tersebut berani mendeklarasikan hubungan mereka di muka umum, sembari menunjukkan kemesraan dengan bergandengan tangan, merangkul, hingga berpelukan. 

Ditelusuri lebih jauh, kebanyakan remaja "SCBD" adalah anak-anak putus sekolah akibat faktor ekonomi keluarga. Di sisi lain, fenomena Citayam Fashion Week mampu memberikan mereka panggung eksistensi sekaligus cuan. Alhasil, para remaja itu menganggap pendidikan bukan hal prioritas untuk mereka bisa bekerja dan meraup rezeki di masa depan. 

Sigit menilai perilaku remaja "SCBD" merupakan hasil didikan media sosial. Namun, ketika mereka mencapai tahap popularitas, para remaja tersebut belum mampu mengendalikan diri. Padahal, setiap kelompok atau orang yang mencapai posisi tertentu membutuhkan pengendalian, agar tidak merusak pondasi sosial.

Selain itu, perkembangan Citayam Fashion Week dinilai tidak memiliki akar dengan pondasi yang kuat, baik dari sisi latar belakang ekonomi, struktur organisasi, hingga jaringan. Remaja "SCBD" dianggap terlalu menikmati euphoria eksistensi mereka dan mengekspresikannya di tempat umum. 

"Mereka seperti tercabut dari akarnya, melakukan tindakan-tindakan yang enggak bisa kita kontrol, seperti pacaran di muka umum untuk mencari perhatian publik," ujar Sigit.

Di sisi lain, Ida menilai kepopuleran Jeje, Bonge, dan lainnya bisa menjadi "rujukan" yang kurang baik, ketika berkembang anggapan, dengan putus sekolah mereka tetap bisa meraih sukses. Kondisi tersebut dianggap mengkhawatirkan, karena bagaimanapun sumber daya manusia berkualitas menjadi modalitas eksistensi bangsa dan negara di era digital.

Tak hanya itu, Sosiolog UI itu menilai bonus demografi Tanah Air bisa terancam, mengingat struktur populasi ke depan adalah usia muda. Untuk itu, dibutuhkan rekognisi keberadaan bocah "SCBD" sebagai kelompok anak-anak kreatif.

"Mereka harus didampingi, diperkuat kompetensinya melalui pendidikan-pendidikan vokasi, khususnya fesyen, content creator, IT dan lainnya. Artinya, pasca tren "SCBD" mereka tetap bisa eksis, produktif dan positif," ujarnya.

Cerminan kondisi sosial remaja yang muncul pada Citayam Fashion Week turut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah penyangga Jakarta. Yayat menyarankan Pemda untuk bisa mempersiapkan anak-anak kreatif dari kotanya, kemudian Jakarta akan menjadi panggung utama mereka. 

Untuk itu, kehadiran sanggar, pusat pelatihan, pusat pendidikan, hingga wadah untuk membuat atraksi budaya menjadi hal yang dibutuhkan dalam merangkai tata kota di sub-urban. Pemda juga dituntut untuk menciptakan ruang kota yang lebih kreatif dalam mewadahi kreatifitas remaja sub-urban.

"Bagi anak pinggiran itu, berangkat ke Sudirman itu murah naik kereta api. Jadi enggak masalah (biaya), yang masalah tempat (kota asal) mereka tidak mendukung," kata Yayat.

Adapun dari sisi sosiologi, Sigit menilai anak-anak "SCBD" harus dikembalikan ke dunianya, sekolah atau kuliah lagi. Di samping itu, perlu ditindaklanjuti pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas rekreasi, ruang terbuka umum untuk bersosialisasi dan mengaktualisasi diri. 

Pemanfaatan kawasan Dukuh Atas sebagai area Citayam Fashion Week juga perlu diatur kembali, seperti menerapkan waktu penggunaan kawasan sebagai area nongkrong di jam-jam tertentu. Ditambah lagi, perlunya dukungan pengembangan bakat bagi remaja "SCBD" untuk lebih produktif. 

"Kalau pemerintah peduli dengan ini, jangan beri beasiswa untuk sekolah, melainkan pengembangan bakat. Ada banyak sumber ilmu yang bisa didapat oleh Gen Z dari berbagai sumber," kata Sigit.