Dilema Kenaikan Harga BBM Antara Beban Anggaran dan Daya Beli Tertekan

Ilustrator: Lambok E. Martin Hutabarat | Katadata
Beban besar subsidi bahan bakar (BBM)
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
22/8/2022, 16.45 WIB
  • Pemerintah memberikan sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi pada pekan ini. 
  • Kenaikan harga BBM diambil untuk menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap sehat.
  • Dampaknya, harga BBM yang naik akan mengerek inflasi dan menekan daya beli masyarakat.

Sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi semakin kuat di tengah terus menipisnya kuota Pertalite dan Solar bersubsidi. Dana subsidi dan kompensasi energi dalam anggaran negara sebesar Rp 502 triliun kemungkinan tak cukup menjaga harga BBM khusus jika kuota tak mampu dikendalikan.

Pemerintah sebenarnya gamang saat hendak mengambil kebijakan tidak populis tersebut. Karena itu, serangkaian pembahasan lintas kementerian dan lembaga sering digelar untuk menghitung berbagai indikator ekonomi -juga politik- yang mungkin terdampak. Sepanjang sejarah republik ini, kenaikan harga BBM memang selalu menuai pro kontra.

Namun apa harga BBM murah saat ini sebenarnya dinikmati oleh seluruh masyarakat? Victor, supir travel di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, mengatakan jarang memperoleh Pertalite seharga Rp 7.650 per liter. Dia sering tidak beruntung saat hendak membelinya di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina di Tambolaka, kota tempat tinggalnya. 

“Kalau mau beli Pertalite harus antre dari pukul empat pagi. Siang baru dapat, kadang juga tidak kebagian,” kata Victor pekan lalu. “Di sisi lain, kami harus mengejar jadwal penerbangan untuk mencari penumpang. Percuma saja dapat Pertalite tapi tak dapat penumpang.”

Ia bercerita, antrian panjang di pom bensin bukan cerita baru di Tambolaka. Kisah ini terjadi sejak lama sebelum kuota BBM bersubsidi secara nasional menipis. Sebagian besar yang mengantre adalah penjual BBM eceran.

Pertalite yang dibeli dari SPBU Pertamina dijual kembali dengan harga Rp 10 hingga 11 ribu per liter.  Beberapa penjual BBM eceran bahkan terlihat menggelar dagangannya di depan SPBU Pertamina. 

Menurut Victor, masyarakat akhirnya membeli BBM dari penjual eceran, atau membeli Pertamax karena Pertalite biasanya sudah habis pada siang atau saat antrean yang mengular tak tampak lagi di SPBU. Menurut dia, sebagian besar warga Sumba sudah lama merasakan harga Pertalite Rp 10 ribu per liter. 

Tak hanya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, kelangkaan Pertalite juga terjadi di beberapa daerah lainnya. Masih di Nusa Tenggara Timur, bahan bakar dengan RON 90 ini juga tak selalu tersedia di SPBU di wilayah Labuan Bajo. Namun masyarakat di sana lebih mudah menemukan Pertalite di penjaja eceran seharga Rp 20 ribu untuk 1,5 liter.

Warga Jabodetabek dalam beberapa hari terakhir ini juga mengeluhkan Pertalite yang mulai langka di sebagian SPBU Pertamina. Kelangkaan Pertalite tak lepas dari mulai menipisnya kuota yang dapat disalurkan perusahaan pelat merah itu hingga akhir tahun ini.

Hingga Juli, Pertamina telah menyalurkan 16,8 juta kilo liter (kl) dari total kuota 23 juta kl hingga akhir tahun. Dengan demikian pada awal bulan ini, hanya tersisa 27 % atau 6,2 juta kl yang diharap bisa memenuhi permintaan hingga Desember 2022.

Kuota yang menipis juga terjadi pada Solar bersubsidi. Hingga akhir bulan lalu, Pertamina sudah menyalurkan 9,9 juta kl dari total kuota 14,9 juta kl tahun ini, sehingga hanya tersisa lima juta kl hingga akhir tahun.

Kuota BBM bersubsidi yang menipis terjadi meski pemerintah telah mengerek anggaran subsidi dan kompensasi energi dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502 triliun pada Mei lalu. Ini karena harga minyak yang semakin melambung sehingga selisih dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang dipatok US$ 63 per barel semakin melebar. 

 

Subsidi energi yang kemungkinan tak cukup hingga akhir tahun ini membuat pemerintah hingga DPR waswas. Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga Presiden Joko Widodo mulai khawatir APBN tak sanggup menanggung beban subsidi energi yang berpotensi terus melonjak jika konsumsi BBM bersubsidi tak dikendalikan. 

Sri Mulyani sebelumnya menyebut kuota BBM bersubsidi jenis pertalite menipis dan kemungkinan tidak akan cukup hingga akhir tahun. "Ini berarti akan ada tambah di atas Rp 502,4 triliun yang sudah kita sampaikan, belum lagi harga minyak dalam APBN kita asumsikan US$ 100 per barel, sebelumnya pernah mencapai US$ 120 per barel, kata dia dikutip dari Antara. 

Anggaran subsidi energi tahun ini merupakan yang tertinggi setidaknya dalam tujuh tahun terakhir. Pagunya terus naik dalam tiga tahun terakhir. Namun, angka tersebut belum termasuk nominal kompensasi energi yang tidak kalah jumbo. Adapun pagu Rp 502,4 triliun tahun ini, terdiri atas subsidi energi Rp 208,9 triliun dan kompensasi Rp 293,5 triliun. 

Sinyal kenaikan harga BBM yang semakin kuat telah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam kuliah umumnya di Universitas Hasanuddin akhir pekan lalu. Ia menyebut, kemungkinan Presiden Jokowi akan mengumumkan keputusan naik tidaknya harga BBM pada pekan depan. Harga  BBM di Indonesia dinilai sudah sangat murah sehingga ada indikasi harganya mulai dikerek.

 "Mungkin minggu depan presiden akan mengumumkan kenaikan harga BBM. Presiden sudah mengindikasikan. tidak mungkin kita mempertahankan harga yang terus demikian. Itu beban yang terlalu besar untuk APBN," kata Luhut saat memberikan kuliah umum di Universitas Hasanuddin pada Jumat (18/8).

Beban APBN Makin Berat

Ekonom INDEF Abra Talattov menyebut pemerintah sebetulnya masih memiliki ruang untuk menambah subsidi energi pada tahun ini. Defisit anggaran tahun ini diperkirakan hanya 3,92% dari PDB, jauh di bawah target dalam APBN sebesar 4,5%.

"Kapasitas dan ruang fiskal kita kalau memang terpaksa menambah kuota itu masih ada, kita lihat kinerja APBN masih surplus sementara belanja juga masih belum signifikan," kata Abra dihubungi Senin (15/8).

Namun demikian, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai pemerintah perlu melihat dampak kebijakan harga BBM dalam jangka panjang terhadap APBN. Ini mengingat komitmen untuk membawa defisit anggaran kembali ke bawah 3%. 

Sesuai amanat UU, pemerintah hanya diperbolehkan memperlebar defisit di atas 3% selama tiga tahun sejak 2020. Pemerintah sudah berhasil menyusun lintasan yang mulus agar APBN dapat kembali sehat dengan mematok defisit sebesar 2,85% dalam RAPBN 2023. Namun konsolidasi fiskal ini akan sulit dicapai jika pemerintah memutuskan menambah anggaran subsidi lagi.

"Untuk menjaga defisit di bawah 3% anggaran harusnya mulai dari tahun ini sudah mulai diefisiensikan, sehingga memang akan lebih visibel bagi pemerintah untuk memilih menaikan harga BBM ketmbang menahannya," kata Riefky kepada Katadata.co.id, Jumat (19/8).

Selain itu, menurut dia, pemerintah juga perlu menyadari bahwa tantangan di sektor keuangan saat ini semakin berat. Kenaikan suku bunga menyebabkan biaya utang menjadi lebih mahal. Alternatif sumber pembiayaannya dengan memangkas belanja lainnya yang berarti akan mengganggu program prioritas pemerintah lainnya.

 

Riefky menilai, penambahan anggaran subsidi sebenarnya menimbulkan tanda tanya besar terhadap komitmen pemerintah untuk mendorong transformasi subsidi energi yang lebih tepat sasaran. Subsidi energi selama ini masih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas.

"Penambahan anggaran subsidi tentu akan mengganggu progres dan upaya pemerintah menuju reformasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan lebih ramah lingkungan," kata Riefky.

Alasan serupa sebelumnya sempat disinggung oleh Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah pada awal pekan lalu. Politikus asal Madura itu mempertanyakan urgensi pemerintah terus menambah anggaran di saat anggarannya justru tidak tepat sasaran.

Ia menyebut selisih harga antara BBM bersubsidi dengan nonsubsidi makin lebar. Hal ini yang kemudian mendorong banyak masyarakat bermigrasi menggunakan BBM subsidi, Walhasil, kuotanya semakin menipis.

"Kalau seperti ini pemerintah tidak punya pijakan, lebih baik tidak ada penambahan anggaran, sehingga yang terbaik ada pemerintah secara gradual menaikkan harga BBM bersubsidi," kata dia saat ditemui di Komplek Parlemen, Selasa (16/8).

Dalam data Susenas 2020 menunjukkan subsidi khususnya Pertalite justru banyak dinikmati masyarakat menengah atas. Kondisi ini terlihat pada diagram di bawah ini yang menunjukkan, konsumsi Pertalite lebih banyak dinikmati 10% masyarakat terkaya dibandingkan termiskin. 

Bank Dunia juga sempat 'menyentil' pemerintah yang dinilai banyak menggelontorkan anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi tetapi tidak tepat sasaran. Subsidi energi diperkirakan meningkat dari 0,8% PDB menjadi 1,1% pada tahun ini. Subsidi yang digelontorkan ini sebagian besar justru dinikmati masyarakat kelas menengah dan atas. Dua kelompok konsumen tersebut menyedot antara 42%-73% dari subsidi solar dan 29% dari subsidi LPG.

Bank Dunia mengestimasikan, jika kedua subsidi ini dihapus, maka akan menghemat anggaran mencapai 1,1% dari PDB. Pemerintah bisa menggantinya dengan bantuan sosial kepada masyarakat miskin, rentang dan kelas menengah yang memang membutuhkan dengan alokasi sekitar 0,5% PDB. Dengan demikian, secara neto, Bank Dunia menyebut keuntungan fiskalnya bisa sebesar 0,6% PDB.

Lembaga ini juga menilai pemberian subsidi hanya menahan tekanan inflasi dalam jangka pendek karena harga komoditas yang tinggi diperkirakan tetap stabil dan karakteristik subsidi yang tidak berkelanjutan.

"Ada alasan kuat mengenai perlunya menyiapkan rencana keluar dari subsidi energi tinggi dengan meneruskan harga ke konsumen secara gradual dan beralih kepada subsidi yang ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan," kata Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2022.

Kenaikan Inflasi dan Pukulan Daya Beli

Menaikkan harga BBM untuk menjaga APBN bukan tanpa risiko. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut kenaikan harga BBM subsidi jenis pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter akan memberi tambahan inflasi 0,93%. Belum lagi, menurut dia, ada second-round effect  atau efek lapis kedua yang dapat muncil. Ia memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi naik ke kisaran 6%-7% pada akhir tahun ini.

"Produsen dan wholesaler akan langsung meneruskan kenaikan harga BBM ini ke konsumen. Kondisi ini beda dengan saat harga gandum naik, mereka belum meneruskan kenaikan itu ke konsumen. Tapi kalau kenaikan BBM, ini sulit untuk ditahan," kata Josua kepada Katadata.co.id

Terlepas dari rencana kenaikan harga BBM, inflasi sebenarnya juga sudah terlihat merangkak naik. Pada Juli, indeks harga konsumen (IHK) mencapai 4,94% yang merupaka rekor tertingginya sejak Oktober 2015.

Menurut Josua, kenaikan harga BBM akan mengganggu proses pemulihan, baik dari sisi konsumsi maupun investasi. Kenaikan harga akan menahan belanja masyarakat, terutama untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Konsumsi yang turun pun berdampak ke investasi dan sisi produksi.

"Kapasitas produksi bisa saja turun serta belanja modal atau investasi yang dilakukan perusahaan juga akan terbatas," kata dia. 

Namun, Josua menyebut magnitude dari dampak kenaikan harga terhadap pertumbuhan ekonomi ini akan bergantung dengan waktu. Dampaknya bisa lebih kecil jika kenaikan harga BBM dilakukan pada saat harga komoditas lain, terutama pangan mulai turun.

Sebaliknya, kenaikan harga BBM akan lebih berisiko jika dilakukan pada saat harga pangan sedang naik seperti pada akhir tahun. "Karena itu perkiraan kami pada semester kedua nanti pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah dibandingkan semester pertama, kemungkinan di kisaran 4,9 - 5 %," kata dia.

 

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyarankan pemerintah masih menahan kenaikan harga untuk menjaga pemulihan ekonomi. Namun jika pilihan itu dirasa suit, opsi lainnya pemerintah perlu mengambil jalan pintas memastikan kuota BBM bersubsidi tidak habis sebelum akhir tahun.

"Tidak harus menambah anggaran atau menaikan harga, tapi fokus pada pengendalian dan pembatasan BBM bersubsidi," ujarnya kepada Katadata.co.id.

Pembatasan melalui aplikasi -MyPertamina- yang sedang diuji coba Pertamina sebelumnya dinilai tidak efektif diterapkan saat ini. Pilihannya dengan hanya memperbolehkan kendaraan roda dua dan angkutan umum untuk membeli Pertalite dan Solar. Mobil pribadi dan di luar dua jenis kendaraan tadi diarahkan untuk membeli BBM nonsubsidi.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengatakan penerapan pembatasan pembelian BBM bersubsidi Pertalite bakal berlaku mulai bulan depan. Ketentuan ini akan diatur dalam revisi Perpres 191 tahun 2014 yang direncanakan rampung pada bulan ini.

Reporter: Abdul Azis Said