- Krisis geopolitik telah menyebabkan rantai pasok terutama komoditas pangan dan energi terganggu yang memicu inflasi tinggi di banyak negara.
- Para pemimpin dunia harus duduk bersama mencari solusi untuk mengatasi hambatan perdagangan guna memperlancar arus komoditas global.
- Forum Presidensi G20 bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk mendorong keterbukaan perdagangan sekaligus merevitalisasi peran World Trade Organization.
Persoalan lawas soal hambatan perdagangan Indonesia-Jepang kembali mengemuka dalam pertemuan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) di Los Angeles, awal bulan ini. Di sela-sela agenda yang padat, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menemui Menteri Energi, Perdangan dan Industri (METI) Jepang Nishimura Yashitoshi.
Dalam pertemuan itu, Airlangga kembali menyinggung soal pembatasan impor komoditas tuna, pisang, dan nanas. Khusus tuna misalnya, Jepang masih mengenakan tarif bea masuk 7% khusus produk dari Indonesia. Sementara untuk pisang dan Nanas, Jepang menerapkan pembatasan kuota impor.
“Padahal produk tuna dari negara lain tidak dikenakan hambatan impor serupa,” katanya, Sabtu (10/9).
Ini bukan kali pertama hambatan perdagangan dengan Jepang menjadi poin pembahasan. Sejak Menteri Kelautan dan Perikanan masih dijabat oleh Susi Pudjiastuti, Pemerintah Indonesia berkali-kali meminta Jepang memperlakukan tuna Indonesia seperti produk dari negara lain. Bea masuk (BM) 7% bagi produk tuna Indonesia dirasa tidak adil sebab negara lain seperti Thailand dan Vietnam justru memperoleh BM 0%.
Sayangnya, lobi Indonesia tidak kunjung berhasil meskipun ekspor tuna ke Negeri Sakura termasuk sangat besar. Pada 2020 misalnya, nilai ekspor tuna Indonesia ke Jepang mencapai US$ 73,8 juta atau sekitar 12% dari total ekspor produk perikanan.
Dalam pertemuan di Los Angeles itu, Menteri Nishimura menegaskan terkait permintaan pembebasan bea masuk tuna, isu tersebut sedang dibahas di kementerian terkait di Jepang. Adapun untuk peningkatan kuota ekspor pisang dan nanas, hal itu sudah disetujui oleh Pemerintah Jepang.
Eliminasi Hambatan Perdagangan
Hambatan perdagangan global, seperti yang terjadi dalam kasus Indonesia-Jepang, sudah menjadi isu global belakangan ini. Konflik geopolitik Rusia-Ukraina menyebabkan rantai pasok terganggu. Akibatnya, banyak negara menerapkan pagar khusus dalam perdagangan demi menjaga kepentingannya masing-masing.
Ini mulai dari hambatan tarif seperti pengutipan bea masuk hingga non-tarif seperti pelarangan ekspor. Kebijakan ini bahkan juga pernah dilakukan dilakukan Indonesia untuk batu bara dan crude palm oil (CPO).
Wempi Saputra, Staf Ahli Menteri Keuangan, mengatakan terganggunya rantai pasok telah membuat harga komoditas pangan dan energi melambung. Akibatnya, inflasi tinggi terjadi di banyak negara. Bahkan setidaknya 50 negara kini ditengarai terjebak dalam krisis utang akut.
“Salah satu isu penting yang jadi pembahasan dalam perundingan jalur keuangan [financial track] G20 terkait keamanan pangan dan energi,” kata Wempi, dalam T20 Summit di Bali, pekan lalu.
Wempi menyebut, data World Trade Organization (WTO) menunjukkan setidaknya ada 31 negara yang menerapkan 41 aturan perdagangan (measures trade), terutama di sektor pangan, pakan, dan pupuk.
“Ini sangat menyulitkan bagi negara-negara yang sangat membutuhkan produk-produk tersebut,” katanya.
Menurut Wempi, dalam pertemuan WTO di Jenewa pada Juni silam, setidaknya 15 hambatan perdagangan berhasil dihilangkan. “Intervensi perdagangan jadi salah satu rekomendasi di G20 dan ini merupakan kebijakan yang rumit,” katanya.
Mendorong implementasi perdagangan terbuka (open trade) menjadi salah satu rekomendasi penting dalam T20 Summit. Lembaga think tank yang diisi oleh para akademisi dari berbagai negara ini berperan sebagai ‘bank ide’ bagi para pemimpin dunia menjelang pertemuan puncak G20, November mendatang.
Chatib Basri, Ekonom sekaligus Lead Co-chair Task Force 7 T20, mengatakan kondisi global saat ini membuat banyak negara dilematis. Di satu sisi, mereka harus melindungi kepentingan jangka pendek negaranya dengan menerapkan berbagai hambatan perdagangan. Padahal dalam kangka panjang, aksi ini membuat kolaborasi global sulit dicapai yang berdampak pada terganggunya rantai pasok global.
“Banyak negara terpaksa memangkas stimulus fiskal yang sebetulnya sangat diperlukan untuk mendorong pemulihan ekonomi,” kata dalam forum T20 Summit.
Dalam forum yang sama, Kepala Ekonom the Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Fukunari Kimura menyebut rantai pasok global sebetulnya terbukti tangguh di masa pandemi Covid-19. Ia mencontohkan neraca dagang Amerika Serikat dan Jepang dengan Cina justru merangkak naik pada 2021.
“Rezim perdagangan WTO tetap harus dipertahankan,” ujarnya.
Rekomendasi T20
Dalam dokumen ‘T20 Communique’ para think tank menyebut tensi politik global, kusutnya rantai pasok yang diikuti dengan krisis energi, pangan dan inflasi tinggi telah menyebabkan pemulihan ekonomi terganggu.
“Memperkuat rantai pasok global dan regional melalui kolaborasi dan peningkatan perdagangan harus menjadi prioritas,” tulis para peneliti di T20.
Kelangkaan komoditas, terutama pangan dan energi, telah memicu banyak negara menerapakn proteksi ketat yang dalam bentuk ekstremnya berupa pelarangan ekspor. “Memang ini godaan yang tidak terhindarkan bagi setiap negara untuk melindungi produknya sendiri. Tapi dalam jangka panjang justru akan berbahaya,” kata Co-Chair T20, Yose Rizal Damuri.
Hambatan perdagangan berupa dumping dan ‘subsidi ilegal’ juga kerap dilakukan oleh banyak negara. Akibatnya, transparansi perdagangan global akan sulit tercapai yang membuat rantai pasok global kian terganggu. Merevitalisasi peran World Trade Organization (WTO) untuk menjamin rezim perdagangan terbuka bisa menjadi solusi menangani krisis rantai pasok dan inflasi.
Reformasi Peran WTO
“Regulasi WTO dalam Putaran Doha sepertinya memang sudah melempem. Jadi perlu dilakukan reformasi untuk memasukkan regulasi-regulasi baru,” kata Pengamat Perdagangan Deny W. Kurnia, kepada Katadata.
Deny menyebut perundingan-perundingan ini bisa dilakukan secara bertahap untuk poin-poin tertentu. Selain itu konsep free trade agreement (FTA) yang hanya melibatkan beberapa negara bisa lebih didorong.
“FTA bisa mendorong pergerakan arus barang dan jasa,” katanya.
Namun ia menilai aspek politis bisa menjadi tantangan besar dalam mendorong keterbukaan perdagangan. Deny melihat minat negara-negara di dunia untuk keterbukaan dagang sudah sangat kecil.
“Makin ke sini perdagangan makin dikucilkan karena dampaknya tidak serta merta merata kepada setiap negara,” ujarnya.
Deny menilai Indonesia punya peran besar dalam perhelatan G20 untuk mendorong keterbukaan perdagangan. Apalagi Indonesia telah membentuk Trade, Investment, and Industry Working Group untuk mendukung gelaran Presidensi G20.
“Ini terobosan penting karena sebelumnya tidak melibatkan ‘industri’ dalam perundingan G20,” kata Deny.
Padahal menurutnya, industrialisasi harus menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dengan perdagangan dan investasi. Industrialisasi terutama harus dilakukan pemerintah di sektor-sektor di mana kinerja perdagangan kita tidak terlalu baik.
“Kelangkaan barang selalu menyebabkan inflasi. Keterbukaan perdagangan bisa mengatasi masalah itu,” katanya.