- Upaya pengurangan emisi bukan lagi pilihan bagi sektor usaha, melainkan keharusan jika mereka ingin mempertahankan bisnisnya.
- Sektor industri melakukan berbagai cara untuk mengurangi emisi: dari transisi energi, diversifikasi usaha, hingga beralih ke kendaraan listrik.
- Perusahaan harus mengikuti standardisasi global dalam menuju net zero emission agar sesuai panduan sains dan berkontribusi nyata terhadap perubahan iklim.
Tumpukan sekam terhampar di pabrik bir milik PT Multi Bintang Indonesia Tbk di Sampangagung, Mojokerto. Sesekali, seorang petugas menyerok kumpulan batang padi itu menggunakan alat berat lantas memasukkannya ke fasilitas pembakaran tak jauh dari gudang. Mesin itu memproses sekam menjadi energi, sementara hasil sisa pembakaran berupa abu dimanfaatkan untuk keperluan lain.
Empat tahun lalu, emite berkode MLBI ini memulai proyek biomassa di pabriknya. Ketika itu belum ada satu pun perusahaan di sektor consumer goods yang punya fasilitas serupa, yang membangun fasilitas biomassa untuk menggantikan peran energi fosil. Hasilnya lumayan. MLBI memangkas emisi karbon 4.050 ton C02 di 2019.
Saat itu, pembangkit dari energi bersih memang bukan hal baru bagi Multi Bintang. Sejak 2016, perusahaan ini telah memanfaatkan gas metana hasil instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebagai sumber energi di pabrik Tangerang. Biogas ini mengurangi penggunaan liquid petroleum gas (LPG) hingga 111.000 kg.
Setelah sukses mengimplementasikan biomassa di Mojokerto, MLBI kembali membangun fasilitas serupa di pabriknya di Tangerang. “Targetnya akhir 2022 akan fully operated,” kata Ika Noviera, Direktur Corporate Affair Multi Bintang, saat berbincang dengan Katadata.co.id.
Ketika pemerintah mulai mendorong pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, Multi Bintang juga tidak ketinggalan. Perusahaan berencana memasang panel-panel surya di Mojokerto dan Tangerang. Gabungan keduanya diharapkan bisa menghasilkan 4.000 mWH. Menurut Ika, perusahaan menargetkan PLTS Atap itu bisa dioperasikan di kuartal pertama 2023.
Multi Bintang memang cukup ambisius menjalankan proyek zero emisi. Perusahaan yang terafiliasi dengan Heineken ini menargetkan 100 % penggunaan EBT di 2025. Ika menuturkan setelah PLTS beroperasi, bauran EBT perusahaan bisa mencapai 70 %. Adapun 30 % sisanya masih mengandalkan setrum dari PT Perusahaan Listrik Negara.
Dalam merealisasikan target 100 % EBT di 2025, perusahaan akan tetap mengandalkan pasokan listrik dari PLN. Namun Multi Bintang berencana meminta PLN untuk menyediakan setrum dari energi terbarukan melalui skema green tariff. “Kami masih berkolaborasi dengan PLN untuk mencari skema green option,” katanya.
Multi Bintang memang bukan satu-satunya perusahaan yang mematok target ambisius guna menurunkan emisi. Ketua Kadin Net Zero Hub Muhammad Yusrizki menyebut transisi ke energi terbarukan dan memangkas emisi karbon sudah menjadi keharusan bagi pebisnis.
Diversifikasi Sektor Tambang Mencapai Zero Emisi
Salah satu sektor usaha yang paling disorot dalam pengelolaan emisi adalah pertambangan, terutama batu bara. Sudah sejak lama emas hitam dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dituding penyumbang polutan utama emisi karbon. Bagi perusahaan di sektor ini, transisi energi menjadi sangat tak terhindarkan.
Wakil Direktur PT Indika Energy Tbk Azis Armand menyebutkan pihaknya menargetkan net zero emission di 2050 atau sebelumnya. Indika membagi upaya ini menjadi tiga strategi utama. Pertama, diversifikasi pendapatan di sektor non-batu bara. Kedua, divestasi usaha di sektor tinggi karbon. Ketiga, upaya dekarbonisasi operasional.
“Target kami 50 % pendapatan Indika berasal dari sektor non-batu bara di 2025,” katanya, saat berbincang dengan Katadata.co.id.
Dengan harga batu bara yang melonjak tinggi, 80 % pendapatan perusahaan masih berasal dari komoditas ini. Namun secara perlahan Indika berencana beralih ke sektor usaha lain demi mengurangi emisi. “DNA kami di sektor tambang, jadi tidak akan kita tinggalkan tetapi akan fokus di emas dan nikel,” kata Azis.
Dalam rencana perusahaan, Indika yang saat ini dikenal publik akan jauh berbeda di masa depan. Ada lima sektor yang bakal menopang bisnis Indika. Pertama, sektor logistik dan infrastruktur. Kedua, mineral melalui eksplorasi tambang emas dan nikel. Ketiga, nature solutions lewat bisnis energi terbarukan dan kendaraan listrik. Keempat, sektor digital, dan kelima bisnis lain yang sedang dikembangkan.
Pertengahan tahun lalu, Indika akhirnya resmi masuk ke bisnis kendaraan listrik melalui anak usahanya PT Electra Mobilitas Indonesia. Berbekal modal Rp 40 miliar yang seluruhnya berasal dari induk perusahaan, EMI meluncurkan produk motor listrik dengan merek Alva.
Di sektor EBT, Indika mendirikan perusahan patungan bersama Fourth Partner Energy Sinergy. Joint venture yang diberi nama PT Empat Mitra Tenaga Surya (EMITS) ini akan fokus di bisnis PLTS. Lingkup bisnisnya meliputi jasa konsultasi, konstruksi bangunan, operasi dan pemeliharaan, penyewaan pembangkit, hingga pembangunan PLTS. Melalui EMITS, perusahaan berkomitmen menggelontorkan investasi hingga US$ 500 juta dalam empat tahun ke depan.
Tidak hanya masuk ke kendaraan listrik dan PLTS, Indika bahkan berencana melebarkan sayap ke sektor perhutanan. Aziz Armand menyebut pihaknya memiliki empat konsesi hutan dengan total luas lahan hingga 16.000 hektare. “Awalnya, waktu kami ambil konsesi hutan belum tahu mau buat apa,” kata Azis.
Saat ini, Indika tengah menyiapkan tiga strategi untuk menggarap sektor kehutanan. Pertama, menjadikannya hutan energi dengan memproduksi komoditas untuk biomassa. Kedua, agroforestri. Ketiga, skema restorasi ekosistem melalui skema pencadangan karbon.
Indika bukan satu-satunya perusahaan yang melakukan diversifikasi besar-besaran. Grup Adaro juga tidak mau ketinggalan gerbong transisi. Agak berbeda dengan Indika yang fokus melakukan diversifikasi di banyak sektor, Adaro mengandalkan satu megaproyek raksasa untuk mendukung ambisinya.
Adaro saat ini tengah menggarap Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Tanah Kuning, Kalimantan Utara. Seperti namanya, ini akan menjadi industrial estate yang menjadi rumah industri-industri hijau strategis. Presiden Joko Widodo bahkan sudah meletakan batu perdana pada 21 Desember tahun lalu.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Indonesia Tbk, Garibaldi Thohir menyebut KIHI akan menopang produksi panel surya, smelter hijau, dan baterai mobil listrik. Fasilitas ini nantinya akan mengandalkan sumber energi bersih, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang bersumber dari Sungai Kayan dan Sungai Mentarang serta PLTS.
“Saya bermimpi, suatu saat nanti produsen otomotif dunia, seperti Tesla, Lucid, Hyundai, Ford, Volkswagen, dan lainnya akan tertarik,” ujar Boy Thohir, sapaan akrab Garibaldi, April lalu.
Salah satu proyek yang ada di depan mata, menurut Boy, berupa pembangunan green alumunium smelter senilai US$ 728 juta (Rp 10,5 triliun). Adaro berkolaborasi dengan perusahaan asal Cina untuk membangun fasilitas ini dengan porsi saham 65:35. Boy optimistis smelter bisa menyuplai kebutuhan suku cadang mobil listrik, termasuk untuk pasar premium seperti Tesla atau Lucid.
Tentu bukan pekerjaan mudah bagi perusahaan batu bara untuk melakukan transformasi. Adaro misalnya, saat ini menjadi penambang batu bara terbesar kedua di Indonesia dengan total produksi 55 juta metrik ton per tahun. Namun, dalam 10-15 tahun ke depan, Boy menargetkan Adaro akan sepenuhnya beralih ke sektor industri hijau, melalui PLTA dan kawasan industri.
Terobosan juga dilakukan oleh PT Vale Indonesia dengan target menekan 30 % emisi karbon pada 2030 hingga mencapai netral karbon di 2050. Wakil Presiden Direktur Vale Adriansyah Chaniago mengatakan komitmen untuk menerapkan good mining practice seperti dengan menjaga kualitas air. “Dengan kualitas air yang baik akan berdampak positif bagi lingkungan. katanya.
Emiten pertambangan nikel ini juga mulai memakai truk listrik. CEO PT Vale Indonesia, Febriany Eddy, menyatakan, saat uji coba ini masih menggunakan satu unit di area pertambangan. “Jika efisien dan durable, seluruh unit akan diganti jadi truk elektrik,” kata Febriany kepada Katadata.co.id.
Di area penambangan Sorowako, Sulawesi, Vale punya target mereduksi emisi fase satu dan dua pada 2030 untuk menuju net zero emission pada 2050. “Bentuk nyata dari sepertiga emisi reduction-nya dengan memakai truk listrik,” ujarnya.
Geliat Kendaraan Listrik Sektor Transportasi
Visi besar Adaro membangun ekosistem mobil listrik akan memberikan dampak signifikan terhadap perusahaan yang bergerak di sektor transportasi. PT Blue Bird Indonesia Tbk misalnya, mencanangkan visi pengurangan 50% emisi di 2030. Salah satu metodenya dengan mengganti armada taksi konvensional menjadi mobil listrik.
Namun, ini bukan perkara mudah. Wakil Direktur Utama Blue Bird Adrianto Djokosoeteno menyebut tahun ini awalnya perusahaan akan membeli 500 unit mobil listrik. Namun, rupanya harga mobil listrik tak kunjung turun. “Justru yang kita harapkan [mobil listrik] semakin turun harganya, justru malah naik,” katanya saat berbincang dengan Katadata.
Adrianto menuturkan perusahaan harus berhati-hati melakukan investasi untuk membeli kendaraan mahal seperti mobil listrik. Pasalnya, investasi satu mobil listrik setara dengan empat mobil konvensional. Blue Bird pun memangkas target 500 unit kendaraan listrik di tahun ini menjadi 100 unit saja.
Tidak hilang akal, Blue Bird kini mengandalkan armada berbasis gas utuk mengurangi emisi. Kendaraan jenis ini masih lebih murah ketimbang mobil listrik sehingga cocok untuk masa transisi. Saat ini Blue Bird memiliki 2.700 unit kendaraan berbasis gas atau sekitar 23 % dari total armada. “Visi kami di 2030 sudah tidak ada lagi taksi berbasis BBM yang kami operasikan,” kata Adrianto.
Transisi ke kendaraan listrik juga menjadi salah satu upaya perusahaan transportasi lain untuk mengurangi emisi. Grab Indonesia kini mengoperasikan 8.500 unit kendaraan listrik di Jawa dan Bali.
Director Strategy & Special Project Grab Indonesia Rivana Mezaya mengungkapkan ribuan kendaraan listrik ini memangkas 5.000 ton emisi karbon. Menurutnya, satu motor listrik bisa mengurangi penggunaan BBM hingga empat liter per hari. “Kami ingin mencapai netral karbon pada 2040," ujar Rivana kepada Katadata.
Salah satu tantangan penggunaan kendaraan listrik adalah soal baterai. Sudah menjadi rahasisa umum jika baterai masih menjadi salah satu komponen mahal di kendaraan berbasis listrik. Grab pun maju dengan solusi penukaran baterai. Jadi pengguna bisa menukar baterai motor listriknya yang sudah habis daya di tempat-tempat penukaran khusus. Grab berkolaborasi dengan PT Pertamina untuk menyediakan 400 titik penukaran di Jabodetabek dan puluhan lainnya di Bali.
Grab juga punya sistem unik untuk mendorong pengemudi beralih ke kendaraan listrik. Pengguna bahkan tidak perlu membeli kendaran listriknya sendiri. Pengemudi hanya perlu menyewa unit kepada Grab untuk bisa mengangkut penumpang.
Agus, salah satu pengemudi motor listrik yang ditemui Katadata, bercerita ia mengeluarkan Rp 50.000 per hari untuk sewa kendaraan dari Grab. Menurut Agus, ini keputusan jitu sebab ia tidak lagi dipusingkan harga BBM yang kini melonjak. “Saya nge-charge di rumah selama lima jam, cukup untuk ngojek seharian,” katanya.
Perusahaan lainnya, GoTo, juga telah memulai beberapa langkah menuju net zero emission. Group Head of Sustainability GoTo Tanah Sullivan mengatakan pihaknya menargetkan armadanya mengadopsi 100% kendaraan listrik pada 2030.
GoTo bahkan membentuk perusahaan patungan khusus bernama PT Energi Kreasi Bersama (Electrum) untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Electrum telah memiliki ratusan unit motor listrik dan membangun berbagai infrastruktur penukaran baterai di Jakarta Selatan, melalui kerja sama dengan Pertamina.
Melalui perusahaan patungan tersebut, Gojek akan mengembangkan usaha dalam bidang manufaktur kendaraan listrik roda dua. Ini termasuk juga teknologi pengemasan, dan infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.
Uji coba komersial kendaraan listrik ini telah dimulai pada Februari 2022. Pada awal Juni, kurang dari lima bulan sejak uji coba komersial diluncurkan, Sullivan menyebut pemesanan layanan GoRide Electric melonjak dua kali lipat.
“Lebih dari 70% mitra driver yang bergabung dalam uji coba komersial mengalami peningkatan pendapatan bersih hingga Rp 46.000 per hari,” katanya melalui pesan tertulis kepada Katadata.
Tidak hanya operasional di jalan raya, GoTO juga mulai beralih ke sumber EBT untuk memenuhi kebutuhan listrik kantor dan gudang. Secara bertahap, perusahaan menetapkan tujuan 100% energi terbarukan dalam beberapa tahun ke depan.
Sullivan mengatakan pihaknya telah membeli 361 Sertifikat Energi Terbarukan (Renewable Energy Certificate/REC) dari PLN untuk penggunaan energi di kantor pusat.
“Ini setara dengan konsumsi listrik sebesar 361.000 kWh," katanya.
Sertifikat REC menjadi bukti sahih bahwa produksi tenaga listrik PLN berasal dari pembangkit listrik EBT. Jumlah REC GoTo ini akan terus bertambah guna membantu menyerap sebagian jejak karbon dan meningkatkan kontribusi perusahaan dalam proyek EBT.
Agar Tidak Terjebak Gimmick
Gegap gempita sektor swasta mengurangi emisi ini menarik dicermati. Ada berbagai cara dan metode yang disesuaikan dengan kebijakan masing-masing perusahaan. Sejumlah perusahaan di sektor tambang batu bara berusaha keluar dari jebakan energi kotor melalui strategi diversifikasi dan divestasi.
Di sektor konsumen dan manufaktur, transisi pembangkit dari yang berbasis energi kotor menjadi energi terbarukan, seperti yang dilakukan Multi Bintang, menjadi fokus utama. Sementara bagi perusahaan transportasi, peralihan ke kendaraan listrik dianggap menjadi solusi.
Lantas, bagaimana seharusnya sektor swasta menjalankan strategi pengurangan emisi agar apa yang mereka lakukan tidak sekadar gimmick belaka? Sustainable Business And Corporate Engagement Manager World Resource Institute (WRI) Nanda Noor menyebut ada standarisasi global yang bisa memandu perusahaan menuju netralitas karbon. Standar ini penting sebab upaya transisi harus berbasis sains agar yang mereka lakukan bisa lebih terarah dan tidak terjebak pada gimmick belaka.
Salah satu standar paling yang diakui secara global adalah Science Based Initiative Technology (SBTI). Ini merupakan standar internasional yang mulai serius dikonsep sejak 2015 dan sudah dipakai ribuan perusahaan di seluruh dunia. SBTI kini juga menjadi acuan utama Kadin Net Zero Hub dan para anggotanya.
“Kalau mereka lulus SBTI maka target Net Zero itu terbukti secara science bisa mengurangi peningkatan suhu bumi 1,5 derajat Celcius,” katanya,
Nanda mengatakan SBTI dimulai dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat sehingga keterlibatan perusahaan dari Asia masih ketinggalan. Di Indonesia, bahkan baru sembilan perusahaan yang bergabung dalam inisiatif ini. Kendati demikian, perusahaan lokal yang terafiliasi dengan perusahaan internasional biasanya menginduk pada kebijakan emisi di tingkat global.
“Multi Bintang misalnya, dia tidak tercatat di SBTI di Indonesia tetapi menginduk ke Heineken di tingkat global,” kata Nanda.
Nanda merinci ada beberapa tahap untuk menerapkan SBTI. Pertama adalah peningkatan kapasitas untuk memahami konsep netralitas karbon. Kedua, tahap komitmen melalui penerbitan letter of commitment sebagai penanda perusahaan itu akan melakukan perjalanan net zero berdasarkan SBTI. Ketiga, penghitungan baseline atau nilai dasar emisinya. Tahap keempat penentuan target.
Selanjutnya baru masuk kepada strategi untuk mengurangi emisi baik di level kebijakan maupun taktis. Tahap keenam adalah komunikasi untuk membeberkan kepada publik atau investor soal target-target yang sudah ditetapkan. Selanjutnya adalah tahap pelaporan untuk memantau kinerja pengurangan emisi dari tahun ke tahun.
“Sebagian besar perusahaan di Indonesia baru di tahap ketertarikan atau awareness,” kata Nanda.
Kendati demikian, menurut Nanda banyak juga perusahaan yang sudah memulai aksinya untuk melakukan transisi baik berupa proyek percontohan maupun yang sudah berjalan. Khusus untuk perusahaan seperti ini, Nanda mewanti-wanti agar tidak keliru dalam melakukan komunikasi ke publik supaya tidak terjebak pada klaim berlebihan.
Salah satu overklaim yang sering terjadi misalnya, perusahaan baru mulai berkomitmen netralitas karbon tetapi mengaku sudah menuju Net Zero. “Padahal standar net zero sangat tinggi dan sulit dilakukan, tapi bukan berarti tidak mungkin,” katanya.