• COP27 di Mesir resmi berakhir pada Minggu (20/11) pagi waktu setempat menghasilkan kesepakatan baru soal pendanaan Loss and Damage bagi negara-negara paling terdampak perubahan iklim
  • Kendati demikian, para delegasi belum berhasil menyelesaikan pembahasan Artikel 6 sepenuhnya yang menjadi landasan penting bagi mekanisme perdagangan karbon.
  • Delegasi Indonesia sebetulnya menanti hasil pembahasan Artikel 6 yang akan menjati tulang punggung pengembangan Nilai Ekonomi Karbon terutama untuk pasar internasional.

Drama dan kebuntuan negosiasi COP27 di Sharm el Sheikh akhirnya runtuh pada Minggu (20/11) pagi waktu setempat. Presiden COP27 Sameh Syoukri resmi membuka sidang penutupan (Plennary Closing) pada 03.30 dan berakhir sekitar pukul 08.00. 

Perundingan COP27 yang dijadwalkan berakhir pada Jumat (18/11) molor hingga 48 jam setelah mengalami kebuntuan. Draf pertama dokumen kesepakatan (Cover Text) baru diunggah pada Jumat dini hari, sehingga para negosiator tidak punya cukup waktu untuk mempelajarinya. Belum lagi soal mekanisme ‘Loss and Damage’ yang hingga hari terakhir COP27, tidak jelas nasibnya.

Beberapa jam terakhir, COP27 dibayangi ancaman kegagalan menghasilkan kesepakatan penting. Sepanjang Sabtu (19/11), Presidensi COP27 beberapa kali menunda Plennary Closing, membuat para pihak harap-harap cemas menanti keputusan para delegasi. 

Namun, pada Minggu dini hari itu, dunia bisa bernafas lega. COP27 menghasilkan Cover Text ‘Sharm el Sheikh Implementation Plan’ sebagai produk utamanya. Dokumen ini menyebut dunia membutuhkan US$ 4 sampai 6 triliun untuk mengimplementasikan ekonomi rendah karbon. 

Dokumen itu juga memuat keprihatinan para pihak soal target penggalangan dana sebesar US$ 100 miliar per tahun yang belum bisa terpenuhi. Kesepakatan ‘Sharm el Sheikh’ menuntut negara maju, lembaga multilateral, dan insitusi keuangan global untuk bekerja keras memenuhi target mobilisasi pendanaan perubahan iklim.

“Dokumen ini tidak memberikan ruang untuk kemunduran,” kata Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell, Minggu (20/11).

Dalam COP27, pembiayaan iklim memang menjadi salah satu fokus pembahasan. Di Sharm el Sheikh, momen bersejarah pun akhirnya terjadi. Para pihak bersepakat untuk membentuk dana Loss and Damage, tepat di penghujung perundingan. Ini menjadi oleh-oleh penting dari Mesir yang sudah ditunggu banyak negara selama 30 tahun terakhir. 

Sejak 1991, negara berkembang dan miskin yang terkena dampak perubahan iklim sudah meminta negara-negara kaya penghasil emisi untuk memberikan kompensasi. Jangankan ditanggapi, Loss and Damage bahkan tidak pernah menjadi pembahasan resmi di semua perundingan internasional.

Loss and Damage juga nyaris tidak masuk dalam COP27. Baru di menit-menit terakhir sebelum pembukaan, Presidensi Mesir berhasil memasukkan isu ini dalam pembahasan resmi. 

Di Sharm el Sheikh, grup G77+ Cina dan Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) mendorong pembahasan Loss and Damage dengan sangat sengit. Negara-negara maju pun maju mundur soal kesepakatan ini. Uni Eropa menyepakati pembentukan dana tetapi menuntut target penurunan emisi yang lebih tinggi. Sementara Cina, menganggap dirinya negara berkembang sehingga enggan ikut urunan dana Loss and Damage. Swedia bahkan secara terang-terangan menolak usul tersebut. 

Presiden COP27 Sameh Syoukri menuturkan para pihak akhirnya sepakat membentuk pendanaan Loss and Damage. Para pihak juga membentuk komite transisi untuk membahas soal teknis operasional dan mekanisme pendanaan yang akan dibahas di COP28 tahun depan. Komite transisi ini terdiri dari 23 negara–13 negara berkembang dan 10 negara maju–akan bertemu pada Maret 2023. 

Kesepakatan soal pendanaan Loss and Damage menjadi pencapaian penting dalam COP27. Dalam sidang penutupan itu, banyak negara termasuk Pakistan yang menjadi Ketua G77 mengapresiasinya. “Setelah 30 tahun kami berjuang, di Sharm el Sheikh akhirnya tercapai hasil yang krusial,” ujar Menteri Perubahan Iklim Pakistan Sherry Rehman, Minggu (20/11). 

Rehman menuturkan pembentukan dana Loss and Damage merupakan ‘uang muka’ untuk investasi jangka panjang dalam skema iklim berkeadilan. Namun menurutnya, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terkait dengan substansi kerangka kerja yang akan dibahas pada COP28 di Uni Emirat Arab.

Makna Bagi Indonesia

Suara Indonesia yang masuk dalam dalam G77+ Cina sebetulnya kurang banyak terdengar dalam kasak-kusuk perundingan Loss and Damage. Pakistan, Bangladesh dan negara kepulauan kecil seperti Vanuatu serta Antigua dan Barbuda yang paling sering muncul mendesak kesepakatan Loss and Damage. 

Kendati demikian, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Lhaksmi Dewanthi mengatakan Indonesia mendukung penuh sikap Pakistan yang mewakili G77+ Cina terkait Loss and Damage. Ia menyebut sejak awal Indonesia ingin memastikan bahwa COP27 ini menjadi momen implementasi. “Kami percaya kita ada di jalur yang benar,” ujarnya, dalam sidang penutupan COP27, Minggu (20/11).

Lhaksmi yang juga menjadi Kepala Negosiator Indonesia menyebut ‘Sharm el Sheikh Implementaion Plan’ memuat sejumlah poin penting untuk memperkuat mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Ini terutama terkait dengan pembentukan dana khusus dan mekanisme untuk Loss and Damage.

“Sayangnya, kami menyesalkan masih ada beberapa aspek yang harus dibahas dalam perundingan selanjutnya,” ujarnya.

Lhaksmi memang tidak merinci aspek apa saja yang menjadi penyesalan delegasi Indonesia. Namun, kemungkinan besar terkait dengan pembahasan Artikel 6 Kesepakatan Paris. Meskipun sukses melahirkan sejarah baru mekanisme Loss and Damage, COP27 justru gagal menyepakati sepenuhnya pembahasan teknis Artikel 6 yang memuat soal mekanisme perdagangan karbon. 

Pembahasan soal aturan-aturan penting Artikel 6 memang sudah selesai dilakukan di COP26 di Glasgow. Namun, ada aspek teknis terutama terkait mekanisme akuntansi perdagangan karbon yang seharusnya diselesaikan di COP27. Di Sharm el Sheikh, pembahasan Artikel 6 masih masih meninggalkan banyak lubang yang harus segera ditambal.

Aspek kerahasiaan yang diatur dalam Article 6.2 tentang perdagangan karbon bilateral misalnya,  memang sudah disepakati dalam perundingan COP27. Namun, masih dibutuhkan pembahasan lebih lanjut mengenai aspek teknisnya.

Selain itu, pembahasan Article 6.4 yang memuat soal perdagangan karbon internasional juga masih meninggalkan PR besar. Ini terutama terkait dengan potensi penghitungan ganda kredit karbon yang menjadi lubang besar dalam pembahasan COP26. Pembahasan soal ini akan dilanjutkan pada COP28 di UEA tahun depan. 

Bagi Indonesia, Artikel 6 sebetulnya salah satu hasil produk COP27 yang paling ditunggu. Pasalnya, pemerintah baru saja merilis Permen LHK No.21 tahun 2022 tentang Tata Laksana Nilai Ekonomi Karbon. Beleid ini mengatur empat mekanisme ekonomi karbon yakni perdagangan karbon, pajak, RBP–seperti program REDD+ Bank Dunia–dan mekanisme lain.

Lantas bagaimana dampak mandeknya pembahasan Artikel 6 bagi Indonesia? Menurut Eka Melisa, Senior Advisor Perubahan Iklim Kemitraan, beleid NEK mencakup pasar domestik dan pasar internasional. 

“Kalau pasar domestik harusnya tidak bergantung pada nasib Artikel 6, yang penting penyiapan perangkat pasarnya,” ujarnya kepada Katadata. 

Sebaliknya, Artikel 6 akan berpengaruh di pasar karbon global karena menjadi landasan kerja sama internasional. Melisa mencontohkan, aliansi antara Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo di sektor kehutanan misalnya, akan sangat bergantung pada Artikel 6 dalam hal perdagangan karbon.

“Artikel 6 salah satunya mengatur bagaimana pendanaan dari negara kaya ke negara miskin,” ujarnya. 

Di Indonesia, salah satu mekanisme ekonomi karbon yang sudah berjalan adalah skema Result Based Payment (RBP) melalui mekanisme REDD+. Menurut Elisa, Artikel 6 akan mempengaruhi level komitmen negara donor terutama untuk pembiayaan yang didapatkan melalui lembaga multilateral seperti Bank Dunia. Pasalnya, Artikel 6 mengatur kerangka pendanaan internasional terutama dalam hal pencatatan penurunan emisi. 

“Mandeknya [pembahasan] Artikel 6  bisa saja mempengarugi proses pengkinian dan implementasi NDC Indonesia,” kata kepada Katadata.

Sidang penutupan COP27 (UNFCCC)
 

PR Besar Indonesia

Pemerintah Indonesia sebetulnya datang ke Sharm el Sheikh dengan rasa percaya diri tinggi. Dua pekan sebelum COP27 digelar, Indonesia memperharui komitmen penurunan emisi melalui  Enhanced National Determine Contribution (ENDC). Ini memuat kenaikan target penurunan emisi karbon dari 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional. 

Perubahan target tersebut merupakan akumulasi dari lima sektor yang menjadi fokus penurunan emisi, yaitu kehutanan dan lahan (FOLU), energi, limbah, industri, dan pertanian.

Sepanjang dua pekan COP27, paviliun Indonesia juga sangat aktif menyelenggarakan berbagai diskusi. Total ada 66 sesi yang berhasil digelar di paviliun. Temanya sangat beragam; mulai dari dekarbonisasi sektor industri, transisi energi, blue carbon, transparansi, hingga target FOLU Net Sink 2030.

Pemerintah Indonesia berhasil menyegel sejumlah kesepakatan penting pada COP27. Pada hari ketiga COP27 misalnya, Bank Dunia mengumumkan pembayaran awal US$ 20,9 juta untuk proyek reducing emission from degradation and deforestation (REDD+) di Kalimantan Timur. Ini merupakan salah satu proyek dalam payung Pembayaran Berbasis Kinerja (Result Based Payment/RBP), salah satu mekanisme yang diajukan pemerintah dalam tata laksana nilai ekonomi karbon.

Indonesia juga membentuk dua kolaborasi penting; aliansi negara hutan tropis dengan Brasil dan Republik Demokratik Kong serta aliansi mangrove dengan Uni Emirates Arab. Kendati demikian, perkembangan paling penting bagi Indonesia justru bukan datang dari COP27 tetapi dari G20 yang digelar pada 15-16 November 2022, tepat pada hari ke-8 COP27.

Di G20 Bali, G7+ Norwegia dan Denmark mengumumkan pendanaan US$ 20 miliar untuk mendukung program transisi energi Indonesia. “Ini akan menjadi game changer. Seluruh dunia kini akan melihat bagaimana Indonesia menjalankan program ini,” kata Direktur Global Climate Policy dari The Sunrise Project, Justin Guay.

Kesepakatan Just Energi Transition Partnership (JETP) yang diumumkan di G20 membuat pemerintah Indonesia kini memiliki banyak pekerjaan rumah. Selain harus melanjutkan negosiasi teknis JETP, pemerintah juga harus memulai komitmennya untuk menurunkan emisi. 

Indonesia misalnya harus membatasi emisi puncak ketenagalistrikan tidak lebih dari 290 metrik ton pada 2030. Emisi di sektor ini juga harus mencapai nol pada 2050. Selain itu, bauran energi terbarukan juga harus mencapai 34% di 2030, hampir tiga kali lipat dari posisi saat ini sekitar 12%.

COP27 dengan segala dinamika, perdebatan, aksi protes, dan tarik-tarik menarik kepentingan resmi berakhir. Seperti sebelum-sebelumnya, COP tidak bisa menyenangkan semua pihak. Minggu (20/11) sore di Bandara Sharm el Sheikh, para delegasi yang kelelahan menanti dengan sabar pesawat yang akan membawa mereka pulang ke negaranya masing-masing. Setahun dari sekarang, para delegasi ini akan mengulang rutinitas yang sama di COP selanjutnya.

“Saya tidak tidur 30 jam terakhir. Tapi saya cukup puas dengan hasilnya,” kata salah satu negosiator yang Katadata temui di bandara.

Reporter: Rezza Aji Pratama