Sulit Menghindari Gonjang-ganjing Ekonomi Dunia

123RF.com/Elnur Amikishiyev
Pemerintah masih mematok target pertumbuhan ekonomi tahun depan mencapai 5,3%.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
6/12/2022, 07.00 WIB
  • Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga Gubernur BI Perry Warjiyo berulang kali memperingatkan suramnya ekonomi global tahun depan.
  • BI mengalurkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan 4,37%. 
  • Target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2023 masih dipatok 5,3%

Ekonomi dunia akan suram tahun depan. Peringatan itu muncul dari Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, hingga lembaga-lembaga internasional. Target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2023 yang dipatok sebesar 5,3% mulai tak terlihat realistis. 

APBN 2023 yang mematok asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% disusun pada Agustus dan disahkan pada September 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dinamika global membuat tantangan perekonomian semakin berat pada tahun depan. 

"Asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% itu sangat ambisius, terutama saat kondisi ekonomi global berpotensi memperlemah ekspor, investasi, konsumsi melalui suku bunga tinggi," ujar Sri Mulyani, pekan lalu. 

Ia mengatakan, ekonomi global yang memburuk akan memberikan dampak pada perekonomian domestik melalui ekspor. Pertumbuhan ekspor diperkirakan tak akan setinggi tahun ini. Di sisi lain, investasi juga berpotensi terganggu karena suku bunga yang meningkat.

"Sedangkan konsumsi rumah tangga akan tertekan melalui kenaikan harga," kata Sri Mulyani. 

Meski paham bahwa target pertumbuhan ekonomi terlalu ambisius, Sri Mulyani belum menyinggung rencana perubahan APBN 2023. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3%, pemerintah menargetkan belanja negara mencapai Rp 3.061,2 triliun, sedangkan pendapata negara Rp 3.061,2 triliun. 

Bank Indonesia lebih pesimistis ketimbang Sri Mulyani dalam melihat ekonomi tahun depan. Bank sentral memperkirakan ekonomi domestik akan tumbuh di titik tengah rentang 4,5%-5,3%, atau di kisaran 4,9%, melambat dibandingkan tahun ini seiring risiko global yang meningkat. 

Bank Indonesia bahkan sebelumnya sempat mengeluarkan angka berbeda yang lebih pesimistis, yakni hanya tumbuh 4,37%. Namun, BI mengklarifikasi bahwa angka tersebut hanya asumsi  untuk menyusun rencana anggaran tahun depan. Belakangan, BI pun tak pernan menggunakan angka itu lagi.

Target pertumbuhan yang diajukan pemerintah tahun depan terlalu usang’ untuk menangkap semua dinamika ekonomi yang berubah beberapa bulan terakhir. Perkiraan itu juga di atas ramalan berbagai lembaga internasional yang telah merevisi prospek ekonomi Indonesia dalam laporan terbarunya menjadi seperti pada diagram di bawah ini.

Ekonomi Suram

Kondisi suramnya ekonomi dunia juga digambarkan oleh berbagai lembaga internasional dalam outlook terbaru mereka. IMF memperkirakan, pertumbuhan ekonom global tahun depan hanya 2,7% dengan sepertiga perekonomian dunia akan masuk ke jurang resesi. Kalaupun perekonomian lolos dari kontraksi, menurut IMF, banyak orang yang akan merasakan situasi dunia seperti sedang resesi. 

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga melihat ekonomi Indonesia akan sulit tumbuh di atas 5% pada tahun depan  seiring perlambatan signifikan di lingkungan global. "Kalau perkiraan kami mungkin hanya sekitar 4,5%. Ini karena memang ada perlambatan bahkan resesi di beberapa negara dunia," kata David kepada katadata.co.id dikutip Kamis (1/12).

Dampak perlambatan global ke Indonesia akan terasa melalui jalur perdagangan. Permintaan terhadap barang ekspor Indonesia akan melemah jika perekonomian di banyak negara melambat. Perlambatan signifikan akan terlihat di banyak mitra dagang utama Indonesia.

Sebagian besar ekspor barang-barang Indonesia berlayar ke lima negara tersebut. Permintaan dari lima negara tersebut berpotensi turun pada tahun depan seiring perekonomiannya yang lesu. David menyebut perlambatan bukan hanya menyebabkan penurunan ekspor dari sisi volume, tapi juga dari sisi nilai karena harga komoditas diperkirakan mulai mendingin.

AS dan Eropa menjadi perhatian utama dunia saat ini. Dua perekonomian terbesar dunia itu terancam masuk ke jurang resesi. Risiko resesi Eropa seiring ancaman krisis energi, sementara resesi di Amerika Serikat karena rezim suku bunga tinggi dan tekanan inflasi memukul perekonomian.

Cina yang merupakan mitra dagang utama Indonesia, juga perlu terus dipantau. Negeri tirai bambu itu juga masih menghadapi prospek pertumbuhan rendah di tengah berlanjutnya kebijakan lockdown Covid-19. Selain itu, negara tersebut juga masih berjuang mengatasi masalah krisis di sektor properti. 

Prospek ekonomi Cina akan sangat mempengaruhi perekonomian dalam negeri. Studi Bank Dunia menunukkan pengaruh dari perlambatan ekonomi Cina ke Indonesia akan lebih besar dibandingkan dampak yang berasal dari perlambatan ekonomi di negara grup 7 (G7).

Ancaman Domestik: Suku Bunga hingga Pemilu

Risiko ekonomi Indonesia tahun depan tidak melulu berasal dari global. Ada pula risiko yang berasal dari dalam negeri.

  • Suku Bunga Tinggi

Indonesia mulai memasuki era suku bunga tinggi. BI mengerek bunga 25 bps pada Agustus 2022, kenaikan pertama sejak terakhir kali November 2018. Kenaikan suku bunga kemudian dilipatgandakan 50 bps selama tiga pertemuan terakhir sehingga mencapai level tertingginya dalam tiga tahun di 5,25%. Kenaikan ini diperkirakan masih berlanjut sampai awal tahun depan.

Meski demikian, kenaikan bunga BI bertujuan menjinakkan inflasi yang jika dibiarkan tinggi juga dapat menimbulkan konsekuensi bagi perekonomian. Adapun bunga yang makin tinggi berarti biaya pinjaman makin mahal. Hal ini bisa membuat masyarakat mengurangi konsumsi, karena biaya bunga kartu kredit hingga bunga KPR akan semakin mahal.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat dampak kenaikan suku bunga ke perekonomian akan mulai terasa pada kuartal kedua tahun depan. Setelah mulai dinaikkan Agustus lalu, transmisinya ke kenaikan suku bunga perbankan biasanya memerlukan beberapa bulan.

"Bagi pelaku usaha, karena kondisi ekonomi makronya juga kurang kondusif, ditambah lagi dengan kenaikan suku bunga, maka kebutuhan pembiayaan dari dunia usaha akan relatif menurun, ini akan membatasi dari sisi investasi atau PMTB," kata Josua.

Data pertumbuhan ekonomi historis sejak 2010 di atas menunjukkan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan investasi setiap kali suku bunga BI dinaikkan. Pertumbuhan investasi turun di bawah 5% selama enam kuartal beruntun pada kuartal kedua 2014 hingga 2015 setelah suku bunga dikerek ke atas 7% pada kuartal ketiga 2013.

Namun setelah pelonggaran suku bunga pada kuartal pertama 2016, investasi tumbuh menguat mulai awal tahun berikutnya hingga awal 2018. Namun tren ini tidak terlihat saat suku bunga diturunkan pada akhir 2019 karena perekonomian kemudian terpukul pandemi Covid-19 pada 2020.

  • Ruang Fiskal Menyempit

Dunia usaha memerlukan insentif dari pemerintah saat dunia sedang sulit tahun depan. Namun, hal itu tampaknya sulit mengingat ruang fiskal pemerintah juga semakin terbatas, defisit anggaran ditekan lebih rendah di bawah 3%.

Kebijakan fiskal ekspansif yang mendukung pemulihan ekonomi selama tiga tahun pandemi mulai ditarik. Tidak ada lagi belanja jumbo ratusan triliun dalam rangka penanganan Covid-19 dna pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pasalnya, sesuai amanat UU 2 tahun 2020, defisit APBN harus turun di bawah 3% mulai tahun depan.

"Namun ruang fiskal Indonesia masih lebih baik, karena kondisi seperti ini juga dialami banyak negara dan bahkan mereka lebih buruk," kata David.

Belanja pemerintah ini juga menyumbang dalam pembentukan PDB sekalipun tidak signifikan. Selama beberapa kuartal terakhir pertumbuhan belanja pemerintah memang negatif seiring ekonomi makin puli dan dukungan dari sisi fiskal berangsur ditarik.

  • Efek Menjelang Tahun Pemilu

Risiko lainnya yakni perlu bersiap dengan efek tahun pemilu. Josua mengatakan kinerja investasi cenderung lesu sekitar dua kuartal sebelum pemilihan presiden atau pemilu lainnya. Investor wait and see menanti kepastian terhadap calon pemimpin eksekutif maupun legislatif yang terpilih. Dunia usaha juga biasanya mengerem investasi.

Sentimen negatif berasal dari ketidakpastian terhadap hasil pemilu, pasalnya investor dan pengusaha was-was dengan keberlanjutan dari kebijakan ekonomi yang ada. Sering kali, pergantian rezim kepemimpinan diikuti pula pergantian dari sisi kebijakan yang tentunya akan berdampak ke dunia usaha.

"Apalagi pada Februari 2024 nanti semuanya berbarengan. Pilpres, Pilkada, Pileg, itu yang akan membuatnya berbeda dari Pemilu langsung sebelum-sebelumnya," kata Josua.

Ia memperkirakan efeknya mungkin sudah mulai terlihat pada paruh kedua hingga akhir tahun depan. Pasar keuangan seperti IHSG dan nilai tukar juga berpotensi ikut terkoreksi.

Namun sebetulnya efek Pemilu tidak melulu negatif. Selama periode kampanye hingga puncak pemilihan, biasanya belanja untuk kebutuhan Pemilu meningkat. Hal ini berpotensi mendongkrak konsumsi pemerintah pada tahun depan.

??

Data di atas menunjukkan kinerja investasi cenderung melambat dua hingga tiga kuartal sebelum Pilpres. Namun perlambatan terlihat lebih signifikan pada Pilpres 2019 ketimbang 2014, saat penentuan untuk dua periode masa Presiden Jokowi. Sebaliknya, pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat sekitar satu hingga dua kuartal sebelum penyelenggaran Pilpres.

Dengan berbagai risiko internal yang ada, Josua melihat target pertumbuhan 5,3% dalam APBN tahun depan cukup berat. Ia memperkirakan kisaran pertumbuhannya hanya 4,8%-5%.

Masih Ada Optimisme  

Perekonomian memang berisiko melambat tahun depan, tetapi bukan berarti akan jatuh dalam. Ada sejumlah alasan untuk tetap optimis terhadap prospek ekonomi Indonesia tahun depan. Sekalipun melambat, prospek Indonesia masih lebih baik dibandingkan banyak negara lain yang akan melemah signifikan.

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku RIefky lebih optimistis soal proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan ketimbang dua ekonom sebelumnya. Ia memperkirakan pertumbuhan antara 5,1%-5,2%, tetapi juga masih memungkinkan untuk bisa tumbuh hingga 5,3%.

Menurutnya, ada dua faktor yang menjadi optimisme bagi pertumbuhan yang kuat tahun depan. Pertama, konsumsi rumah tangga masih akan solid karena daya beli relatif masih kuat. "Meski pertumbuhan konsumsi relatif akan melambat karena kenaikan suku bunga, tetapi masih akan cukup kuat dna ini kontribusinya besar terhadap PDB," ujarnya.

Kedua, efek rambatan dari perlambatan ekonomi global tidak akan signifikan ke dalam negeri. Hal ini karena ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor tidak besar dibandingkan komponen pembentuk PDB lainnya. Karena itu, kalaupun dunia resesi dan permintaan ekspor menurun, koreksinya ke pertumbuhan tidak signifikan. 

Kondisi ini membuat efek yang dirasakan Indonesia relatif terbatas dibandingkan negara-negara lain yang ketergantungan ekspornya besar. Indonesia merupakan negara dengan ketergantungan terhadap ekspor yang paling rendah dibandingkan ASEAN-5, atau kontribusi ekspor dalam PDB paling kecil.

Grafik di atas membuktikan ekonomi Indonesia paling aman dibandingkan ASEAN-5 lainnya saat dunia menghadapi resesi dan permintaan ekspor terpukul. Saat perekonomian dunia negatif karena krisis keuangan 2009 dan pandemi 2020, negara dengan ketergantungan ekspor tinggi seperti Singapura, Thailand dan Malaysia ikut terpukul paling dalam. Meski demikian, perlu dicatat juga, Indonesia hanya 'kecipratan' sedikit dibandingkan Singapura dkk yang mampu pulih kuat saat perekonomian dunia rebound. Pertumbuhan Singapura kemudian melesat hingga belasan persen pada 2010 dan tumbuh kuat pada 2021.

Reporter: Abdul Azis Said