- Sejumlah mal dan pusat perbelanjaan di Jabodebatek terlihat sepi pengunjung karena terjadi pergeseran tren belanja ke e-commerce.
- Mal-mal harus berinovasi menyediakan pengalaman berbeda kepada pengunjung agar bisa bertahan.
- Beragam aktivitas seperti pameran, konser musik, hingga wisata kuliner bisa dicoba oleh pengelola mal untuk menarik pengunjung.
Waktu terasa berjalan lambat bagi Rahma. Wanita 29 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai pramuniaga gerai makanan di lantai 5 Blok M Square. Ia sudah menekuni pekerjaan ini sejak 2018 silam. Ia bercerita, sebelum pandemi Covid-19 gerainya masih ramai pengunjung.
“Sekarang sepi. Pas Imlek yang biasanya ramai juga sepi,” ujarnya saat berbincang kepada Katadata.
Lantai 5 Blok M Square identik dengan bioskop XXI. Tepat di depan bioskop, berjejer gerai makanan aneka rupa. Mulai dari skala kecil seperti yang dijaga Rahma hingga restoran cepat saji seperti McDonald. Namun, bahkan ketika Katadata berkunjung ke sana saat jam makan siang, pengunjung yang datang masih bisa dihitung jari.
“Sebelumnya ada juga Kopi Kenangan dan Janji Jiwa. Tapi sudah tutup juga,” Kata Rahma.
Blok M Square yang dikelola oleh PD Pasar Jaya itu sebetulnya pernah menjadi episentrum tongkrongan anak-anak muda. Namun, beberapa tahun terakhir Blok M Square mulai kehilangan pamor. Saat jam makan siang tiba, hanya lantai dasar yang dipenuhi pengunjung. Wajar saja, sebab di area itu bercokol gerai-gerai makanan aneka rupa. Namun, gerai pakaian dan elektronik di area lain mal terlihat sepi.
Ini berbeda dengan Plaza Blok M yang berlokasi persis di seberang Blok M Square. Mal milik Pakuwon itu terlihat lebih ‘hidup’. Selain gerai fesyen dan makanan yang lebih beragam, Plaza Blok M juga lebih unggul karena terkoneksi langsung dengan halte MRT.
Kendati demikian, bukan cuma Blok M Square yang kehilangan pengunjung setianya. Kondisi ini juga terjadi di sejumlah pusat perbelanjaan lain di Jabodetabek. Senayan Trade Centre (STC) di Jakarta Pusat, misalnya, tidak seramai mal-mal tetangganya seperti Senayan City atau Plaza Senayan.
Ini terefleksikan dalam indeks lalu lintas pengunjung dari Google. Indeks ini berkisar antara 0 dan 100. Semakin tinggi indeksnya berarti tempat tersebut semakin sibuk atau pengunjungnya semakin banyak.
Pada Sabtu (28/1) pukul 15.00 WIB, misalnya, indeks kunjungan di STC mencapai 75. Google menulis bahwa tingkat kunjungan ini berarti STC “biasanya sedikit sibuk” (atau “usually a little busy”) pada jam dan hari tersebut.
Sementara itu, Senayan City yang terletak di seberangnya mencatat indeks kunjungan hingga 88 pada waktu yang sama. Ini menandai bahwa mal ini biasanya dapat mencapai level tersibuknya pada jam dan hari tersebut (atau “usually as busy as it gets”).
Perbedaan level kunjungan di STC dan Senayan City berkaitan dengan perbedaan penyewa (atau tenants) antar mal. Penyewa-penyewa yang populer di STC cenderung terkonsentrasi di sektor olahraga, mainan, dan elektronik. Sementara itu, Senayan City menawarkan beragam penyewa populer, mulai dari pakaian hingga bioskop.
Pengalaman Baru
Konsultan properti Colliers Internasional Ferry Salanto mengatakan kegagalan mengikuti perkembangan jaman membuat mal menjadi sepi. Tujuan orang berkunjung ke mal sekarang bukan hanya belanja, tetapi juga mencari pengalaman dan sesuatu yang baru.
“Mal itu kunci suksesnya bukan bagusnya gedung, tapi bagaimana dia mengikuti perkembangan jaman, walaupun lokasinya strategis,” kata senior associate director di Colliers International itu pada Selasa (24/01/2023).
Alphonzus Widjaja dari Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) mengatakan hal yang sama, terutama untuk mal-mal di kota besar. Jika pusat perbelanjaan seperti mal hanya berfokus ke aktivitas belanja, maka akan berhadapan langsung dengan e-commerce.
“Fungsi lain dari pusat perbelanjaan akan selalu berubah dari waktu ke waktu karena sangat erat dengan gaya hidup,” kata ketua umum APPBI itu pada Kamis (26/01).
(Baca: Biang Kerok Sejumlah Mal Sepi Meskipun PPKM Telah Dicabut)
Menurut Alphonzus, mengatur bauran penyewa dapat menjadi cara bagi pengelola mal untuk memberikan pengalaman baru kepada pengunjung. Dengan demikian, fungsi mal bertambah dan bukan hanya untuk belanja.
Pacific Place di Jakarta Pusat, misalnya, memiliki taman tematik KidZania. Di taman seluas 7.500 meter persegi ini, anak-anak berusia antara 2 dan 16 tahun bisa mencoba lebih dari 100 profesi orang dewasa. Ini misalnya pilot, pemadam kebakaran, polisi, pembawa berita, apoteker, dan juru masak.
Namun, Ferry mengatakan bahwa pengelola mal juga perlu melakukan peninjauan terhadap bauran penyewa dari waktu ke waktu. Ini untuk mengetahui penyewa yang sudah tidak menarik lagi bagi pengunjung.
“Misalnya, tenant itu ada di situ terus. Tapi tenant itu tidak menarik buat pengunjung. Mereka sudah harus ganti dengan yang lain,” kata Ferry.
Ferry menambahkan pengelola bisa menawarkan pengalaman yang berbeda sehingga tidak membosankan bagi pengunjung. Salah satunya lewat penyewa makanan yang tidak ada di tempat lain.
Mal Taman Anggrek di Jakarta Barat, misalnya, memiliki gerai ritel perabotan rumah dan kantor asal Swedia IKEA. Di Indonesia, ini merupakan gerai IKEA pertama di dalam pusat perbelanjaan. Gerai seluas 9.400 meter persegi ini mulai beroperasi pada April 2022.
(Baca: Sempat Sepi, Mal Pinggiran Jakarta Kembali Ramai Berkat Area Mainan)
Ruang Berkumpul
Alphonzus mengatakan bahwa mal harus mampu menambahkan fungsi sebagai hub koneksi sosial baik dari sisi gedung ataupun bauran penyewa. Ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang senang berkumpul dengan keluarga, teman, kolega, dan komunitas.
Ini adalah cara mal menangkap kebangkitan pertemuan masyarakat setelah tidak bisa berinteraksi dengan bebas selama tiga tahun akibat pandemi Covid-19. Gina Rafifa dan Siti Masyita misalnya, sering datang ke Blok M Square untuk berkumpul dengan teman-temannya. Mahasiswa berusia 18 tahun ini biasanya memanfaatkan kafe atau restoran di mal untuk nongkrong bersama.
(Baca: Keramaian dan Mobilitas Masyarakat di Ujung Pandemi)
“Tujuannya buat kumpul sama teman-teman saja. Teman-teman sekolah,” kata Gina pada Jumat (20/01/2023).
Siti dan Gina ke mal utamanya bukan untuk belanja karena lebih sering menggunakan e-commerce untuk belanja, terutama setelah pandemi COVID-19. Perubahan perilaku ini sejalan dengan konsumen digital lainnya.
Tren tersebut terlihat dalam survei terhadap 948 responden dalam laporan e-Conomy SEA 2022 dari Google. Menurut Google, 50% dari responden berencana untuk mempertahankan penggunaan e-commerce dalam 12 bulan ke depan, sementara 32% dari responden berencana untuk menggunakannya lebih sering lagi.
Menurut Ferry, mengadakan acara atau kegiatan merupakan cara yang efektif untuk mendorong lalu lintas pengunjung ke mal. Colliers International menulis pengelola mal sudah dapat mengadakan acara yang sesuai dengan kondisi terkini, seperti tema liburan, olahraga, dan kultural.
Di Senayan City, misalnya, terdapat wahana Avatar: Way of Water pada Desember 2022. Instalasi ini muncul menjelang penayangan film sekuel dari sutradara James Cameron itu. Pengunjung dapat menikmati instalasi karya yang menawarkan pengalaman Pandora, yaitu planet fiktif dalam film tersebut.
“Jadi mengadakan event (dan) kegiatan, entah mengundang grup musik atau (yang lain), itu efektif untuk menarik traffic ke dalam mal,” kata Ferry.