- Kecepatan jumlah pengguna ChatGPT mengalahkan TikTok.
- Pekerjaan yang membutuhkan kemampuan berpikir manusia berpotensi digantikan oleh ChatGPT.
- Ada peluang ChatGPT menggeser kedigdayaan Google.
Terpancing ramainya unggahan di media sosial, Ghazi akhirnya mencoba ChatGPT sebagai candaan. Empat hari lalu, lelaki berusia 25 tahun ini meminta kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) tersebut untuk membuatkan teks singkat untuk mendeskripsikan pasangannya.
“Terus gue minta supaya dibikin agak lucu,” cerita lelaki berusia 25 tahun ini kepada Katadata.co.id, Senin (6/2). “Ya hasilnya enggak lucu, sih. Tapi karena robot yang ngomong, jadi lucu.”
ChatGPT, chatbot yang dikembangkan OpenAI ini, memang mengalami pertumbuhan pesat. Baru dua bulan rilis, ia sudah dipakai oleh 100 juta pengguna. Sebagai perbandingan, analis aplikasi Sensor Tower mencatat, TikTok butuh waktu sembilan bulan untuk mencapai jumlah yang sama. Sedangkan, Instagram butuh waktu 2,5 tahun.
“Dalam 20 tahun mengikuti perkembangan aplikasi di internet, kami belum pernah menemukan peningkatan yang lebih cepat di aplikasi internet konsumen dibandingkan ChatGPT,” tulis analis bank investasi UBS, dikutip dari Reuters.
Singkatan dari generative pre-training , ChatGPT adalah pengembangan terakhir dari teknologi GPT yang diteliti OpenAI sejak 2018. Pengembangan model AI-nya berbasis tanggapan dari manusia.
Mungkinkah ChatGPT Gantikan Pekerjaan Manusia?
Ahli keamanan teknologi Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengatakan AI adalah inteligensi buatan yang belajar dari data yang diberikan oleh manusia. Untuk itu, ia memiliki kemampuan lebih besar daripada manusia, karena bisa menampung informasi tanpa batas, dan bisa bekerja selama 24 jam secara penuh.
“Jadi kalau kita ngomong ChatGPT bakal menggeser keadaan manusia, suatu hari itu akan terjadi. Karena manusia ada batasnya,” kata Alfons.
Karena itu, menurut dia, pekerjaan yang cenderung rutin berpotensi bakal digantikan oleh ChatGPT. Beberapa di antaranya adalah programmer, pengacara, akuntan, hingga pemasuk data alias data input.
Namun, sebagai sebuah sistem komputer, ChatGPT tidak bisa melakukan pekerjaan yang membutuhkan kreativitas atau kasus baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Laporan LinkedIn bertajuk Future of Skills 2019 menyebut, tenaga kerja dengan soft skill yang baik pun masih dibutuhkan. Sebanyak 47% responden menjawab soft skill dibutuhkan karena merupakan kemampuan unik manusia di tengah automasi.
Soft skill yang dimaksud dalam laporan tersebut berkaitan dengan kreativitas, adaptabilitas, manajemen waktu, dan berpikir analitis. Dengan kemampuan itu, tenaga kerja bisa membuat keputusan yang efektif dari beragam informasi yang dia terima.
Pandangan serupa dilontarkan ketua embaga riset siber Communication & Information System Security Research Center (CISSRec), Pratama Prasadha. Pekerjaan yang membutuhkan inteligensi atau kemampuan berpikir manusia berpotensi digantikan oleh AI tersebut.
Contoh pertama adalah profesi analis dan advokat yang bisa tergantikan oleh kemampuan analisis ChatGPT. Namun, ChatGPT hanya bisa mengambil alih proses analisis dan konsultasi yang dilakukan advokat. Sedangkan pekerjaan advokat saat proses sidang tidak bisa digantikan.
Pekerjaan guru pun rentan digantikan oleh ChatGPT. Posisi tradisional guru, menurut Pratama, sudah bergeser beberapa tahun terakhir dengan adanya YouTube dan aplikasi pendidikan.
Kondisi ini diperkeruh dengan adanya ChatGPT yang bisa menuntun dan mengajari apapun yang diinginkan penggunanya. "Apapun pengetahuan dan pertanyaan bisa dijawab dengan baik, apalagi rencananya ChatGPT bisa diakses gratis,” ujarnya.
Terlepas dari ancaman tersebut, Alfons justru menanggapinya dengan pandangan optimistis. Ia melihat ada pandangan yang keliru dari orang-orang yang takut pekerjaannya akan direnggut AI.
Padahal, AI adalah sebuah alat alias tools yang harus dikuasai untuk memaksimalkan pekerjaan sehari-hari. “Jadi jangan kamu melawan tools, karena tidak akan menang. Pada akhirnya, pasti AI menang karena tidak bisa lelah dan tidak punya batas data,” kata Alfons.
Pertarungan AI dan Mesin Pencari
Tidak sebatas bersenda gurau, ChatGPT juga bisa digunakan untuk kepentingan akademis dan formal. Josanda, misalnya, seorang pekerja laboratorium medis yang menggunakan ChatGPT untuk memahami konsep biologi dan cara kerja mesin.
Ia menyebut, AI tersebut bekerja lebih cepat daripada Google. “Kalau saya pakai Google, saya cuma akan diberikan link yang harus dibaca dan dirangkum, mungkin butuh waktu 10 menit,” ujar lelaki 24 tahun ini. “Tapi kalau ChatGPT jelaskan, bisa langsung jadi rangkuman, dan tinggal cross-check dengan literatur yang ada.”
Josanda bukan satu-satunya orang yang menyadari keunggulan chatbot tersebut. Nun jauh di negeri Paman Sam, mesin pencarian Google sudah mulai terguncang dengan keunggulan ChatGPT.
Dalam catatan Katadata, Alphabet selaku induk perusahaan Google sudah mengundang pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin dalam sebuah pertemuan pada Desember lalu. Bahasannya, tak lain dan tak bukan, adalah ChatGPT yang diperkirakan dapat mengancam bisnis Google hingga US$ 149 miliar atau sekitar Rp 2.259 triliun.
CEO Alphabet Sundar Pichai pun menerjemahkan ancaman ini sebagai “red code”, sehingga mulai mengembangkan ChatGPT versi Google. Rencana ini mulai terwujud dengan adanya acara yang akan diadakan Google pada Rabu pekan lalu.
Jurnalis The Verge melaporkan, dirinya diundang datang ke acara berrtajuk perkembangan AI besutan Google. Lalu, dalam catatan The New York Times, prototipe dan produk AI baru itu mungkin diluncurkan dalam acara Google IO pada Mei nanti.
Fenomena ini pun dinilai pengamat teknologi sebagai sebuah ancaman bagi Google. Pratama mengatakan, Google memang bisa digunakan untuk mencari informasi, tapi pengguna masih harus memilih informasi dan menganalisanya.
Sedangkan ChatGPT langsung mencari informasi yang paling sesuai, menyajikannya dengan bentuk matang, dan bisa langsung digunakan. “Jelas Google yang akan pertama kali ditinggalkan oleh netizen global,” katanya.
Pratama pun menemukan sisi positif lainnya dari ChatGPT, bahwa AI ini memiliki “moral”. Kecerdasan buatan tersebut akan otomatis menolak pertanyaan pengguna yang berpotensi digunakan untuk tindak kejahatan.
Sayangnya, moral ChatGPT ini masih bisa ditembus. Jevon, bukan nama sebenarnya,, menjelaskan bahwa penggunanya bisa bertanya dengan sistem permainan peran atau role play. Hal tersebut ia sampaikan dengan kapasitasnya sebagai threat analyst vendor keamanan di Amerika Serikat.
Pengguna dapat memberi arahan ke ChatGPT untuk membuat cerita. Misalnya, bagaimana seseorang ingin membobol rumah. "Lalu, pengguna membuat alur cerita terlebih dahulu, kemudian meminta ChatGPT melengkapi alur cara membobol rumah. Itu bakal dijawab oleh ChatGPT,” tuturnya pada Katadata.co.id.
Di sisi lain, kemudahan pengguna untuk memberikan tanggapan atas jawaban ChatGPT pun bisa mengurangi kualitas informasi AI tersebut. Alfons menyebutkan hal ini selaras dengan prinsip garbage in, garbage out (GIGO).
“Kalau orang kasih data sampah ke ChatGPT, maka mungkin juga data dan analisa yang dikeluarkan itu data sampah juga. Jadi jangan telan mentah-mentah informasinya, harus dipilih juga,” jelas Alfons.
Pengalaman Alfons mengakses ChatGPT pun menunjukkan bahwa AI tersebut masih belum banyak menerima data dari Indonesia. Bila pengguna meminta informasi yang terlalu spesifik terkait Indonesia, maka AI ini bisa memberikan informasi yang salah, bahkan mengaku tidak tahu. “Jadi masih kelihatan begonya,” kata Alfons.