Menjaga Kepercayaan Tradisional Marapu Lewat Pendidikan Agama

123rf.com/Tinnakorn Jorruang
Ilustrasi orang berdoa, agama kepercayaan.
Penulis: Reza Pahlevi
Editor: Sorta Tobing
26/5/2023, 13.01 WIB
 
  • Pendidikan kepercayaan tradisionalnya menjadi upaya pemerintah melestarikan kepercayaan tradisional di Indonesia.
  • Namun, masih ada masalah kepastian hukum soal status pengajar di tengah aturan setiap guru harus memiliki ijazah S1.
  • Guru pengajar agama Marapu di Sumba Timur, NTT  hanya mendapat uang transportasi sebesar Rp 300 ribu per bulan.

Selama bertahun-tahun, Linse Wey Lepir mendapat pelajaran agama Kristen saat bersekolah di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pendidikan ini ia terima dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Masalahnya cuma satu, Linse bukan penganut agama Kristen.

Ia adalah penghayat kepercayaan Marapu, sebuah kepercayaan tradisional masyarakat Pulau Sumba. Marapu secara harafiah berarti “yang sudah tuntas”. Ini dapat berarti nenek moyang atau leluhur. Penghayat Marapu memuja leluhur sebagai perantara mereka dengan Tuhan.

Meski kepercayaan asli Sumba, Marapu tidak diajarkan di sekolah-sekolah di sana hingga 2018. Bertahun-tahun pula, ribuan anak-anak Marapu di Sumba tidak terpapar pendidikan kepercayaannya sendiri di sekolah formal.

Satu-satunya pilihan adalah mengikuti pelajaran agama resmi yang diakui pemerintah. Bahkan, beberapa penghayat Marapu justru mendapat diskriminasi di lingkungan sekolahnya jika tidak mengikuti pelajaran agama lain.

Kondisi tersebut perlahan-lahan berubah. Marapu mulai diajarkan di SMA Negeri 1 Rindi Umalulu pada 2018. Ini menjadi sekolah formal pertama yang mengajarkan pendidikan aliran kepercayaan di Sumba.

Linse menempuh pendidikan di sekolah itu. Siswi kelas XI ini menerima pelajaran kepercayaan Marapu sejak kelas X. “Di sekolah, kami diajari sejarah Marapu dan tata cara ritual-ritualnya,” katanya ketika ditemui di Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur, NTT, Rabu (24/5).

Mata pelajaran itu ia pelajari setiap Rabu dan Kamis. Linse kini merasa dirinya dapat diterima di sekolah . "Kami setara dengan teman-teman lainnya," ucapnya. 

Linse Wey Lepir, siswa kelas XI penghayat kepercayaan Marapu yang bersekolah di SMAN 1 Rindi Umalulu, Sumba Timur, NTT. (Katadata/Reza Pahlevi)

Kepala Sekolah SMAN 1 Rindi Umalulu Benyamin Nimrud Djutallo bercerita tantangan awal memberi pendidikan Marapu adalah mencari tenaga pengajarnya. Kesulitan ini karena syarat pendidik sekolah negeri harus memiliki ijazah sarjana strata satu.

“Waktu itu, pertanyaannya siapa yang pantas mengajar? Banyak sarjana di Sumba yang S1, tapi sedikit yang paham Marapu,” kata Benyamin.

Awalnya, SMAN 1 Rindi Umalulu menunjuk seorang penghayat kepercayaan lulusan SMA untuk mengajar. Namun, ini hanya bertahan dari 2018 sampai 2020.

Ketika kepala sekolah berganti, pendidik Marapu tersebut sempat berhenti. Penyebabnya, kepala sekolah ketika itu taat dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang mengharuskan pengajar memiliki ijazah S1.

Benyamin mencoba menghidupkan kembali pendidikan Marapu ketika menjabat kepala sekolah pada 2022. “Siapa yang dapat memberikan pengajaran kepada mereka jika bukan sekolah?” katanya.

Ini dimulai dari mengadakan bimbingan teknis untuk calon pengajar Marapu. Bimbingan ini bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Kini, SMAN 1 Rindi Umalulu sudah memiliki satu penyuluh kepercayaan Marapu bersertifikat yang tetap. Total ada 70 peserta didik penghayat Marapu di sekolah ini. Sebanyak 33 anak di kelas X, 21 anak di kelas XI, dan 16 anak di kelas XII.

Bagian dari Pelestarian Kepercayaan Tradisional

Mendidik anak-anak Sumba dengan kepercayaan tradisionalnya adalah bagian dari upaya pemerintah melestarikan kepercayaan tradisional di Indonesia. Direktur Kepercayaan dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek Sjamsul Hadi mengatakan ada kekhawatiran putusnya perpindahan pengetahuan kepercayaan tradisional di Indonesia.

“Ketika tetuanya meninggal, sementara yang muda tidak mendapat transfer knowledge kepercayaannya, kami khawatir itu putus,” kata Sjamsul saat diwawancara di Hotel Kambaniru, Sumba Timur, NTT, pada Rabu lalu.

Pada 1982, Marapu adalah kepercayaan yang dihayati oleh mayoritas masyarakat Sumba. Jumlah penghayat kepercayaan Marapu mulai terkikis pada 1990-an. Pada 2023, penduduk kepercayaan Marapu hanya tersisa 6,75% atau 16.790 orang dari total penduduk di Sumba Timur.

Sebagai informasi, penduduk Nusa Tenggara Timur menjadi yang paling banyak menganut aliran kepercayaan. Jumlahnya sebanyak 35.877 jiwa atau 0,65% dari total penduduk NTT.

Benyamin mengatakan usaha ini tidak Kemendikbudristek lakukan sendirian. Untuk melestarikan Marapu, Kementerian bermitra dengan Marungga Foundation dan Sumba Integrated Development (SID).

Kemitraan Marungga dan SID ini menghasilkan proyek Lii Marapu. Ini inisiatif untuk meningkatkan akses pendidikan dan sosial bagi penghayat Marapu di Sumba Timur. Proyek tersebut didanai oleh Voice Global, sebuah lembaga swadaya yang fokus mendukung hak kelompok-kelompok termarjinalkan.

Pelatihan untuk penyuluh kepercayaan Marapu di Sumba Timur, NTT. (Katadata/Reza Pahlevi)

Manajer Proyek Lii Marapu, Anton Jawamara mengatakan selama ini proyeknya tidak hanya membantu tersedianya pendidikan Marapu di sekolah. Proyek Lii Marapu juga membantu mencari dan mendidik penyuluh Marapu yang nantinya disebarkan di sekolah-sekolah.

Saat ini, sudah ada total 18 pengajar Marapu yang tersebar di 6 sekolah formal. Ini terdiri dari 4 SMA yaitu SMAN 1 Rindi Umalulu, SMAN 1 Haharu, SMAN 1 Kahaungu Eti, dan SMAN 1 Rindi. Sementara, ada dua SD yaitu SDN Wainggai dan SDN Nari.

Lii Marapu juga berencana membangun lima sekolah adat untuk pengajaran Marapu di Sumba Timur. 5 sekolah ini akan ditempatkan di 5 desa di 5 kecamatan berbeda. Sekolah adat ini akan menyasar anak-anak yang tidak terjangkau dengan sekolah-sekolah formal.

 

Masih Ada Masalah

Namun, masih ada masalah dalam pelaksanaan pendidikan Marapu. Yang utama adalah tidak adanya kepastian hukum soal status pengajar di tengah aturan setiap guru harus memiliki ijazah S1.

Benyamin mengatakan SMAN 1 Rindi Umalulu menyiasati ini dengan mendorong pengajar di sekolahnya untuk mendapat sertifikat. Sertifikasi ini biasanya dilakukan lewat bimbingan teknis (bimtek) yang diadakan Kemendikbudristek bersama mitra-mitra. “Sertifikat ini melegalkan sebagai penyuluh di sekolah,” katanya.

Sertifikat juga membuat penyuluh setidaknya berhak mendapat uang transportasi untuk mengajar. Masalahnya, uang transportasi ini kecil nominalnya. Penyuluh Marapu hanya mendapat uang transportasi sebesar Rp 300 ribu tiap bulannya.

Benyamin pun mendapat keluhan dari penyuluh soal kecilnya nominal ini. Di sekolahnya, dia pun membuat kebijakan adanya sumbangan komite khusus untuk menganggarkan upah tambahan bagi penyuluh Marapu.

Masalah lainnya, tidak semua sekolah dapat mengandalkan sumbangan komite seperti SMAN 1 Rindi Umalulu. Kepala Sekolah SDN Wainggai, Ngabi Kahewamarak mengatakan penyuluh Marapu di sekolahnya hanya bertahan dua bulan karena upah yang minim.

“Pada November 2022, tiga kali pertemuan dalam seminggu, Januari tidak masuk lagi. Sampai sekarang masih tidak masuk,” kata Ngabi.

Rumah adat Sumba (Katadata/Reza Pahlevi)

Hal yang sama dialami Kepala Sekolah SMAN 1 Haharu, Julita Ina Lende. Di sekolahnya, pengajaran Marapu sempat berjalan lancar selama satu semester tetapi berhenti di semester selanjutnya. Alasannya sama, penyuluh yang berhenti di tengah jalan.

Kedua kepala sekolah ini meminta Kemendikbudristek untuk setidaknya menaikkan nilai uang transportasi yang diberikan ke penyuluh. Selain itu, legalitas untuk penyuluh ini juga diperlukan agar tidak ada lagi yang berhenti di tengah jalan.

Ada dua hal yang dilakukan Kemendikbudristek untuk masalah ini. Pertama, mereka mencoba mendorong anak-anak Marapu untuk mengambil S1 Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Surabaya.

Sjamsul mengatakan sudah ada lima anak Marapu yang melanjutkan sarjana strata stau di Untag. Dia mengatakan kelimanya disekolahkan dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Selanjutnya, soal upah, Kemendikbudristek sedang menjajaki kemungkinan mengupah penyuluh kepercayaan dari sumber-sumber lain. Sumber ini termasuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau juga Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan.

Arman Ranja Muda, seorang penyuluh di SDN Nari, tidak menampik kecilnya upah yang diterima penyuluh Marapu. Namun, hal ini tidak memberatkan dia sebagai penyuluh.

Upah yang dia dapat selama mengajari Marapu pun masih mengendap di rekeningnya, tidak pernah dia ambil. “Saya murni mengajar untuk menjaga Marapu,” katanya.

Pelaksaan pendidikan Marapu memang belum sempurna. Namun, Arman mengatakan pendidikan ini harus terus berjalan demi menjaga eksistensi agama tersebut. Dia berkata seharusnya tidak ada lagi anak Marapu yang diberikan pelajaran agama lain.

Dia mengingat saat pertama kali mengajar, sekitar setengah dari muridnya tidak mengetahui marga khas Marapu yang mereka miliki. Dengan pendidikan Marapu, dia ingin anak-anak ini bangga dan tidak takut mengaku sebagai anak Marapu.

“Kalau bukan generasi saya yang menjaga Marapu, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” kata Arman.

Reporter: Reza Pahlevi