Toko Buku Berguguran, Tak Mempan Ditopang Digitalisasi

123rf.com/Frank van Leeuwen
Ilustrasi toko buku tutup.
31/5/2023, 10.26 WIB
  • Kehadiran toko buku ritel sudah terbatas dan tidak merata di Indonesia.
  • Penjualan buku digital belum bisa mengompensasi penurunan penjualan buku cetak.
  • Covid-19 menyebabkan penurunan penjualan buku lebih dari 50%.

Rencana penutupan toko buku Gunung Agung hanya menunjukkan puncak gunung es dari masalah industri buku di Indonesia. Dalam catatan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), penjualan buku cetak telah menurun sejak lama. Penjualan buku digital pun belum tumbuh sesuai harapan.

Perintis toko buku ritel PT GA Tiga Belas berencana untuk mengakhiri perjalanan bisnisnya selama 70 tahun dengan menutup lima toko gerai terakhirnya pada 2023. Di puncak kejayaannya pada 1990-an, perusahaan itu mengoperasikan 40 gerai Gunung Agung.

Direksi Gunung Agung mengatakan penutupan toko buku yang berlangsung secara bertahap ini terpaksa terjadi karena perusahaan tidak lagi mampu menanggung kerugian yang selalu membengkak setiap bulannya. Penjualan buku “tidak sebanding” dengan biaya operasional.

Ketua Umum IKAPI Arys Hilman Nugaraha menyebut masalahnya tidak hanya berkaitan dengan digitalisasi. “Persoalannya adalah buku-buku tersebut tidak menemukan pembacanya di dunia digital. Lalu, di dunia cetak, (penjualannya) itu sudah semakin tergerus,” kata Arys pada Jumat (26/5).

Rencana gulung tikar Gunung Agung mengemuka di tengah penutupan bukan hanya toko buku tapi juga lokapasar buku. Di Indonesia, toko buku Aksara dan Books & Beyond telah menutup bisnisnya lebih awal. Di Inggris, lokapasar buku Book Depository menerima pesanan terakhirnya pada 26 April 2023.

Bahkan sebelum tren penutupan ini, kehadiran toko buku ritel sudah terbatas dan tidak merata di Indonesia. Komite Buku Nasional mencatat, ada 313 toko buku ritel pada 2019. Ini berarti hanya ada kira-kira 1 toko buku untuk setiap 1 juta penduduk. Toko-toko ini umumnya terletak di kota besar.

Digitalisasi Belum Menyelesaikan Masalah

Arys menyebut tekanan terhadap penerbit dan toko buku terjadi meskipun keduanya telah mengambil langkah-langkah digitalisasi. Penerbit telah menerbitkan buku digital dan menjual lewat lokapasar. Bahkan, sejumlah buku memiliki fitur realitas berimbuh (augmented reality).

Berdasarkan riset IKAPI, jumlah buku digital yang terbit terus meningkat antara 2017 dan 2019. Pada 2017, para penerbit merilis 2.819 buku elektronik (buku-el) atau kira-kira 4,5% dari total buku yang terbit. Pada 2019, porsinya melonjak ke hampir 18%.

Namun, penjualan buku digital belum bisa mengompensasi penurunan penjualan buku cetak. Harga buku digital cenderung lebih murah. Banyak komponen dalam harga buku cetak yang hilang, seperti komponen distribusi.

“Ini yang orang sering lupa, digitalisasi membuat buku jadi murah. Maka, bagi penerbit, (digitalisasi) membuat bisnis tidak sustainable,” kata Arys. Penerbit butuh perhitungan lainnya untuk dapat bertahan.

INFOGRAFIK - Mengapa Banyak Toko Buku Tutup di Indonesia? (Katadata/Yana)

Penerbit PT Gramedia Asri Media (Gramedia), misalnya, menjual buku digital Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring di Rp 79 ribu. Ini lebih murah kira-kira 24% dari buku dengan sampul kertasnya (softcover).

Selain beradaptasi lewat buku digital, penerbit telah mengambil inisiatif untuk menjual bukunya sendiri secara daring. Kira-kira 76% dari penerbit telah menjual buku secara daring untuk mengantisipasi kesulitan penjualan lewat toko.

Penjualan daring ini terlihat di lokapasar seperti Tokopedia dan Shopee. Contohnya, penerbit PT Pustaka Abdi Bangsa (Republika Penerbit), yang bergabung ke Tokopedia sejak Desember 2019. Di sisi lain, sejumlah penerbit juga membuka lokapasar sendiri pada situs web resminya, seperti Gramedia.

Namun, menurut Arys, para penerbit masih menghadapi tantangan dari segi penjualan buku bajakan di lokapasar-lokapasar tersebut. Di sisi lain, penindakan terhadap penjual buku bajakan masih terbatas di penurunan lapak (take down) meskipun mereka telah melakukan kejahatan.

Toko Buku Gunung Agung Akan Tutup Seluruh Cabang di Akhir Tahun 2023 (Muhammad Zaenuddin|Katadata)

Covid-19 Tambah Tekanan ke Industri Buku

Gunung Agung, perusahaan yang bermarkas di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat, mulai menutup sejumlah gerai sejak 2013. Penutupan ini merupakan langkah untuk mengatasi kerugian akibat biaya operasional yang lebih besar dari pendapatan penjualan buku setiap tahun.

Arys mengatakan, penjualan buku pada umumnya di Indonesia telah merosot bahkan sejak 2010. Lalu, datanglah pandemi Covid-19, menambah tekanan ke perusahaan-perusahaan buku yang sudah terpojok.

Berdasarkan riset IKAPI pada 2020, kira-kira 58% dari penerbit melaporkan Covid-19 telah bermuara ke penurunan penjualan lebih dari 50%. Hanya 4% dari penerbit yang melaporkan mereka tidak membukukan kemerosotan dalam penjualannya.

“Pandemi Covid-19 berdampak serius pada dunia penerbitan. Ditandai dengan semakin terbatasnya judul buku untuk tujuan komersial diterbitkan pada 2020. Selain itu, penjualan penerbit juga mengalami penurunan tajam,” tulis IKAPI pada situs webnya.

Pada 2020, Gunung Agung menutup gerainya yang tersebar di kota-kota besar, seperti Surabaya di Jawa Timur, Semarang di Jawa Tengah, Gresik di Jawa Timur, Kabupaten Magelang di Jawa Tengah, Bogor dan Bekasi di Jawa Barat, serta ibu kota.

IKAPI juga melaporkan, akibat penutupan kira-kira tiga dari 10 penerbit sempat berencana untuk mengurangi antara 10% dan 20% dari karyawannya. Sebanyak 10% dari penerbit berencana untuk memutus hubungan kerja setengah karyawannya.

Arys menambahkan, penjualan buku digital bahkan tidak mengalami “lonjakan yang berarti” di tengah percepatan digitalisasi akibat pembatasan mobilitas selama pandemi.

Toko Buku Gunung Agung Akan Tutup Seluruh Cabang di Akhir Tahun 2023 (Muhammad Zaenuddin|Katadata)

Dukungan Komunitas Dorong Kebiasaan Membaca

Digitalisasi bukan menyerang toko buku, menurut Arys, tapi kebiasaan membaca masyarakat. Buku harus bersaing dengan platform-platform untuk mendengarkan audio dan menonton video yang tengah berkembang pesat.

Konsep itu menimbulkan tantangan bukan hanya ke industri buku, namun juga ke minat baca masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat kegemaran membaca Indonesia telah membaik ke 63,9 pada 2022 dari 59,5 pada tahun sebelumnya.

Dengan skala antara 0 dan 100, tingkat kegemaran membaca itu tergolong “Tinggi.” Indikator kebiasaan masyarakat memperoleh pengetahuan dan informasi ini mempertimbangkan frekuensi dan durasi membaca dan mengakses internet, serta jumlah buku yang dibaca.

Peningkatan kegemaran membaca terjadi di tengah pertumbuhan komunitas baca. Hadissa Primanda, misalnya, membangun komunitas KumpulBaca bersama tiga temannya pada 2019. Mereka mengadakan pertemuan pertama KumpulBaca pada Februari 2019.

KumpulBaca menyelenggarakan pertemuan setiap akhir pekan yang dimulai dengan membaca selama satu jam. Dalam pertemuan yang biasanya terjadi di taman kota itu, para peserta saling menceritakan buku yang tengah mereka baca dan apa yang telah dikonsumsi selama sesi membaca tersebut.

Pembentukan komunitas ini berangkat dari kesadaran Hadissa dan teman-temannya bahwa banyak orang di sekitar mereka yang kesulitan meluangkan waktu untuk membaca buku.

“Akhirnya kita bikin lah KumpulBaca ini. Dengan harapan, ketika baca buku itu diagendakan, maksudnya dibikin acaranya, jadwalnya, kegiatan membacanya jadi terlaksana,” kata perempuan asal Padang, Sumatera Barat, itu pada Selasa lalu.

KumpulBaca berhasil menarik 20 peserta pada pertemuan pertama. Hanya tiga dari mereka yang berasal bukan dari lingkungan Hadissa dan teman-temannya. Mayoritas peserta berasal dari komunitas bahasa Inggris yang mempertemukan para pendiri. Namun, jumlah peserta baru ini terus tumbuh.

Target peserta dari KumpulBaca adalah orang-orang yang ingin membangun kebiasaan membaca, termasuk pekerja kantoran seperti Hadissa sendiri. Sebagian besar pesertanya merupakan mahasiswa dan pekerja yang berusia hingga 30-an tahun.

Hadissa mengatakan komunitas baca seperti KumpulBaca terus bertambah terutama sejak pandemi Covid-19. “Aku menyadari bahwa oh ternyata sebagai pembaca kita juga butuh support system,” kata perempuan yang gemar baca sejak sekolah dasar itu.

Jadi, ia berinisiatif membentuk komunitas supaya kegiatan membaca menjadi menyenangkan. "Karena kalau sendirian kadang-kadang mengantuk dan bosan," ucapnya.

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman