- Banyak negara bergerak ke level pendapatan yang lebih tinggi pada 2022 seiring pemulihan dari pandemi Covid-19.
- Namun, situasi yang sulit pada paruh kedua 2023 akan berdampak ke banyak negara, termasuk Indonesia.
- Jarak antara level pendapatan Indonesia dan batas minimum untuk negara berpendapatan tinggi dalam klasifikasi Bank Dunia masih lebar.
Indonesia kembali masuk kelompok negara menengah atas versi Bank Dunia pada Juli 2023. Namun, negara ini masih berada pada posisi yang rentan.
Setiap 1 Juli, Bank Dunia memperbarui klasifikasi negara berdasarkan level pendapatan untuk keperluan analisis. Institusi keuangan internasional itu mengelompokkan negara-negara ke dalam empat grup, yaitu negara berpendapatan rendah, menengah bawah, menengah atas, dan tinggi.
Indonesia naik kelas seiring dengan pertumbuhan pendapatan nasional kotor alias GNI per kapita yang dihitung dengan metode Atlas dari Bank Dunia. Metode ini mempertimbangkan fluktuasi nilai tukar dalam tiga tahun terakhir dan perbedaan tingkat inflasi domestik-internasional.
Menurut Bank Dunia, GNI Indonesia tumbuh 9,8% dibandingkan tahun sebelumnya ke US$ 4.580 per penduduk pada 2022. Level pendapatan ini lebih tinggi 2,5% dari batas minimum terbaru untuk kelompok negara berpendapatan menengah atas.
Selain Indonesia, El Salvador dan Tepi Barat-Gaza memiliki GNI Atlas yang sangat dekat dengan batas minimum untuk pendapatan menengah atas pada 2021. "Sehingga, pertumbuhan (produk domestik bruto) yang sedang pada 2022 sudah cukup untuk mendorong negara-negara ini ke kategori tersebut,” tulis ekonom Bank Dunia Nada Hamadeh, Catherine Van Rompaey, dan Eric Metreau dalam blog yang terbit pada 30 Juni 2023.
Dalam blog itu tertulis, pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan populasi dapat memengaruhi pendapatan nasional kotor per penduduk dari sebuah negara. Revisi metode dan data juga bisa berpengaruh.
Ketiga ekonom Bank Dunia itu menambahkan, hampir semua negara yang pindah kelompok pendapatan bergerak ke level yang lebih tinggi pada 2022 seperti yang diharapkan. Tren ini sejalan dengan kelanjutan pemulihan dari pandemi Covid-19.
Kira-kira 80% dari negara anggota Bank Dunia menunjukkan GNI per kapita yang lebih baik pada 2022 dibandingkan periode prapandemi atau 2019.
Indonesia, dalam catatan Badan Pusat Statistik, juga menunjukkan pertumbuhan yang positif tahun ini. Angka produk domestik bruto alias PDB riil naik 5,31% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kenaikan tersebut menandai kelanjutan pemulihan dari resesi yang terjadi pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Pada 2020, pembatasan kegiatan masyarakat bermuara ke kontraksi tahunan PDB riil di 2,07%.
Ketidakpastian Global Masih Membayangi Indonesia
Menanggapi laporan Bank Dunia tersebut, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, Indonesia berada di jalur proses pemulihan pandemi yang cepat.
Pandemi Covid-19 sempat bermuara ke kemerosotan level pendapatan Indonesia pada 2020. Bank Dunia sempat menurunkan Indonesia ke kelompok negara berpendapatan menengah bawah pada Juli 2021.
GNI Indonesia ketika itu turun 4,1% ke US$ 3.900 per kapita pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Level pendapatan ini lebih rendah 4,7% dari batas minimum pendapatan menengah atas saat itu.
Sebelum Covid-19 menghantam, Indonesia sempat masuk ke klub negara-negara berpendapatan menengah atas. Negara ini berhasil melampaui batas minimum pendapatan menengah atas pada 2019, ketika GNI-nya mencapai US$ 4.070. Tingkat pendapatan ini lebih tinggi 0,6% dari batas minimum saat itu.
Terlepas dari pemulihan cepat tersebut, Presiden Jokowi mengatakan Indonesia akan menghadapi situasi yang sulit pada paruh kedua 2023 akibat ketidakstabilan ekonomi global dan ketegangan geopolitik.
“Ini berimbas pada pertumbuhan ekonomi dan aktivitas perdagangan yang melemah. Kelihatan ekspor kita juga menurun. Kemudian berbagai lembaga internasional memprediksi perlambatan ekonomi global. Ini harus betul-betul kita lihat,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu di Jakarta Pusat pada Senin (3/7).
Pada Juni lalu, Bank Dunia melaporkan, laju pertumbuhan tahunan ekonomi global diproyeksikan akan melambat ke 2,1% pada 2023 dari 3,1% pada 2022. Perlambatan ini akibat dari pandemi dan invasi Rusia ke Ukraina sehingga memicu kondisi keuangan global yang ketat.
Guncangan yang tumpang tindih tersebut bisa merugikan pembangunan di negara berkembang dengan konsekuensi yang berkepanjangan. Bank Dunia memproyeksikan laju pertumbuhan tahunan PDB riil Indonesia akan melambat ke 4,9% pada 2023.
Angka itu lebih lambat kira-kira 0,4 poin persentase dari laju pertumbuhan aktual pada 2022. Perlambatan diproyeksikan terjadi di tengah normalisasi permintaan di dalam negeri dan perlambatan ekonomi global.
Presiden Jokowi menyebut, Indonesia juga perlu mewaspadai pengetatan suku bunga dan tingkat inflasi global yang masih tinggi pada tahun ini. Dua hal tersebut juga dapat membuat tekanan lebih berat pada pertumbuhan ekonomi domestik.
Perjalanan Masih Panjang untuk Menjadi Negara Kaya
Pemerintah telah menargetkan Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2036 sebagai bagian dari apa yang disebut Visi Indonesia 2045. Visi ini akan menandai perjalanan pembangunan negara ini setelah 100 tahun merdeka.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas berharap, target tersebut dapat mengeluarkan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah alias middle income trap. Istilah ini merefleksikan negara berpendapatan menengah yang gagal untuk bertransisi ke ekonomi berpendapatan tinggi akibat ongkos yang melonjak dan penurunan daya saing.
Menurut Bappenas, ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh secara tahunan 5,7% antara 2016 dan 2045. Proyeksi ini mengasumsikan Indonesia terus melakukan reformasi struktural, memanfaatkan bonus demografi, mendorong kemajuan teknologi, dan meningkatkan daya saing.
“Indonesia diperkirakan menjadi negara pendapatan tinggi pada tahun 2036 dan PDB terbesar ke-5 pada tahun 2045. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif akan meningkatkan jumlah kelas pendapatan menengah menjadi sekitar 70 persen penduduk Indonesia pada tahun 2045,” tulis Bappenas dalam laporan yang terbit pada 2019.
Namun, jarak antara level pendapatan Indonesia dan batas minimum untuk negara berpendapatan tinggi dalam klasifikasi Bank Dunia masih lebar. GNI minimum terbaru untuk negara berpendapatan tinggi berada di US$ 13.845 per kapita. Angkanya tiga kali lebih tinggi dari GNI per kapita Indonesia pada 2022.
Di Asia Tenggara, hanya Singapura dan Brunei Darussalam yang telah masuk ke klub negara berpendapatan tinggi tersebut. GNI per kapita Singapura mencapai US$ 67.200 dan Brunei Darussalam US$ 31.410 pada 2022.
Dari grafik Databoks di atas juga terlihat Malaysia yang berada di posisi ketiga memiliki GNI per kapita yang jauh dari Indonesia. Namun, Negeri Jiran masih masuk negara berpendapatan menengah.
Dari laporan Bank Pembangunan Asia atau ADB pada 12 Januari 2017, Singapura butuh waktu 29 tahun untuk menjadi negara berpendapatan tinggi. Sedangkan Hong Kong membutuhkan waktu 24 tahun. Kini, kedua negara tersebut kuat bertengger di posisi negara kaya.
Banyak negara, menurut laporan itu, membutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk naik kelas ke kelompok negara berpendapatan menengah atas dari menengah bawah. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan terhadap 23 dari 107 negara yang berhasil naik kelas antara 1960 dan 2014.
ADB juga menemukan, 15 negara yang berhasil masuk ke kelompok berpendapatan tinggi dari menengah atas membutuhkan rata-rata 23 tahun. "Terdapat bukti, banyak negara membutuhkan waktu lebih lama untuk bergerak ke pendapatan tinggi dari menengah atas dibandingkan dari menengah bawah ke menengah atas," tulsi ADB.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dalam laporan itu tertulis, selama 24 tahun negara ini masuk kategori bependapatan rendah. Setelah itu, Indonesia baru menjadi negara bependapatan menengah. Untuk menjadi negara kaya, tampaknya perjalanan masih akan panjang.