Divestasi Saham Vale di Tengah Mimpi Hilirisasi Nikel Indonesia

Kristaps Eberlins/123RF
Ilustrasi divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
26/7/2023, 08.00 WIB
  • Kementerian ESDM memberi tenggat waktu pengajuan harga saham divestasi saham Vale paling lama Desember 2024, setahun sebelum kontrak karya berakhir.
  • Pemerintah berpeluang mendapat saham Vale hingga 14%, lebih tinggi dari kewajiban awal 11%.
  • Vale sedang gencar membangun pabrik pengolahan alias smelter nikel untuk mendukung hilirisasi pemerintah.

Kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk (INCO) akan berakhir pada 28 Desember 2025. Perusahaan tambang asal Kanada ini harus memenuhi syarat perpanjangan KK menjadi izin usaha pertambangan khusus alias IUPK apabila ingin melanjutkan usaha di Tanah Air. Syarat tersebut adalah divestasi 51% sahamnya ke pemerintah Indonesia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah memberi tenggat waktu pengajuan harga saham divestasi paling lama Desember 2024, setahun sebelum KK berakhir. Hingga pertengahan Juni lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan penawaran harga saham belum datang.

“Kalau terlambat pengajuan, ya setop,” katanya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (16/6).

Namun, Arifin menyatakan pihaknya masih berkoordinasi dengan Vale terkait hal itu. Kementerian ESDM menargetkan, pada Desember 2024 sudah ada kepastian divestasi Vale ke pemerintah. 

Sebagai informasi, kewajiban divestasi perusahaan tambang termaktub dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pengajuan perpanjangan kontrak karya menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi tambang, berlaku paling cepat dalam jangka waktu lima tahun dan paling lambat setahun sebelum kontrak berakhir. 

Kontrak karya Vale mulai berlaku pada 1968 dan diperpanjang satu kali pada Januari 1996. Dengan sejarah tersebut, sudah lebih dari 50 tahun perusahaan ini mengeruk tambang nikel Tanah Air.

Divestasi Tambang Nikel Milik Vale Indonesia (ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad)

Utak-Atik Porsi Divestasi

Bila merujuk data hingga Juni 2023, pemegang saham mayoritas INCO adalah Vale Canada Limited dengan porsi 43,79%. Pemerintah punya saham INCO 20% dari holding badan usaha milik negara pertambangan, MIND ID.

Lalu, perusahaan asal Jepang, Sumitomo Metal Mining, memiliki 15% saham INCO. Untuk porsi saham di masyarakat, terdiri dari non-warkat senilai 20,37% dan warkat 0,81%.

Dengan memasukkan perhitungan saham yang sudah dilepas ke publik plus milik MIND ID, Vale sebenarnya hanya perlu melepas 11% sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Totalnya sudah pas 51%. 

Nah, porsi 11% itu sudah muncul dalam rapat antara Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Badan Koordinasi Penanaman Modal, serta Kementerian Keuangan pada 4 Mei lalu. 

Arifin menyebut, Vale bersedia membuka peluang divestasi lebih dari 11%. Namun, kendali operasional dan konsolidasi finansial masih di tangan Vale. Pemerintah tak sepakat dengan opsi ini karena tidak menguntungkan untuk MIND ID, sebagai calon pengendali.

Negosiasi akhirnya berakhir pada peluang pemerintah mendapat saham Vale hingga 14%, lebih tinggi dari kewajiban awal.

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut pemerintah ingin menguasai lebih banyak saham Vale, melalui MIND ID. Bahkan, pemerintah berkeinginan menjadi pemegang saham pengendali Vale Indonesia.

“Berapapun (jumlah saham yang dilepas Vale), BUMN punya uang. Kami punya laba bersih Rp 250 triliun,” kata Erick pada wartawan selepas membuka BUMN Fest di Kementerian BUMN, Jakarta, pada 17 Juli lalu.

Dengan divestasi 14%, MIND ID tak cukup kuat untuk menjadi pengendali karena hanya menguasai saham Vale sebesar 34%. Perusahaan pelat merah itu berencana meningkatkan kepemilikannya menjadi 40%. 

Kepala Divisi Institutional Relations MIND ID Selly Adriatika mengatakan, dengan menjadi saham pengendali INCO, perusahaan dapat memberi kontribusi bagi pembangunan industri pertambangan dan mineral di Indonesia terutama dalam sektor nikel.

"Meskipun begitu, MIND ID tetap mendukung kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah terkait INCO," kata Selly, dalam keterangan resmi pada 6 Juli lalu.

Katadata.co.id juga mencatat ada pihak lain yang berkompetisi membeli saham Vale, selain pemerintah Indonesia. Mereka adalah konsorsium investor asal Arab Saudi yaitu PIF, Mitsui & Co., dan Qatar Investment Authority.

PIF sudah memasukkan penawaran senilai US$ 2,5 miliar atau setara Rp 37,4 triliun. Seluruh dana ini disiapkan untuk mengakuisisi 10% saham Vale untuk unit logam dasar.  

Katadata.co.id mencoba menghubungi Vale terkait waktu divestasi sahamnya ke pemerintah. Namun, Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto tak ingin berkomentar terkait hal itu.

“Terkait divestasi, yang bernegosiasi adalah MIND ID, Vale Canada, dan Sumitomo antar pemegang saham,” katanya beberapa waktu lalu. “Kami tidak bisa menyampaikan hal-hal yang menjadi urusan pemegang saham.”

Kunjungan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko ke PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako Luwu Timur Sulawesi Selatan (Kantor Staf Presiden)

Menagih Ketegasan Pemerintah

Perhitungan terkait porsi saham ini memantik pro-kontra di kalangan pengamat pertambangan. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli, berpendapat MIND ID harus mengakuisisi 14% saham INCO. “Kalau 11% masih belum menjadi pihak pengendali,” katanya dalam pesan singkat.

Di sisi lain, peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman berpendapat, pemerintah harus menjelaskan asal angka 14% tersebut. Apalagi di tengah Vale gencar membangun pabrik pengolahan alias smelter untuk mendukung hilirisasi pemerintah.

Proyek tersebut meliputi pembangunan tiga smelter baru di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, kemudian Sulawesi Tengah, dan di Sulawesi Selatan. Bila dijumlahkan, ketiga proyek ini bisa meningkatkan kapasitas produksi hingga 250 ribu metrik ton nikel. Selain tiga proyek ini, Vale Indonesia sudah punya satu smelter di Sorowako berkapasitas 70 ribu ton nickel matte.

Salah satu proyek Vale Indonesia di Sulawesi Tengah bahkan masuk dalam Proyek Strategis Nasional. Bersama dengan PT Bahodopi Nickel Smelting Indonesia, ini adalah smelter terintegrasi dimana pertambangan dan pengolahan berada di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. 

“Saya tidak mengerti juga kenapa dia tiba-tiba bangun tiga pabrik smelter meski belum pasti diperpanjang IUPK-nya,” kata Ferdy.

Berkaca pada gencarnya pembangunan tersebut, Ferdy berpendapat pemerintah sebaiknya mendukung Vale karena sejalan dengan upaya hilirisasi tambang. Dukungan ini bisa ditunjukkan dengan kejelasan terkait divestasi yang juga tidak ditunda-tunda. 

Hilirisasi produk mineral nikel menjadi salah satu andalan pemerintah untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional. Larangan ekspor tambang ini sudah berjalan sejak 1 Januari 2020. Harapannya, langkah tersebut dapat mendorong pengolahan dan ekspor komoditas nikel, yang tak lagi berupa bahan mentah.

Data Survei Geologi Amerika Serikat menunjukkan, cadangan nikel Indonesia menempati peringkat pertama dunia. Angkanya sekitar 21 juta ton atau setara 22% cadangan global. 

Produksi nikel domsetik juga menempati peringkat pertama, sebesar 1 juta ton. Hilirisasi nikel, dalam catatan pemerintah, kini berkontribusi 2,17% dari total ekspor non-migas. Barang tambang ini sedang banyak dipakai untuk bahan baku pembuatan baterai, terutama untuk mobil listrik dan pembangkit listrik. 

Kembali ke soal Vale, masalah lain yang Ferdy sorot adalah isu kepemilikan berbeda di 20% saham publik perusahaan. Informasi ini disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR Bambang Haryadi mengatakan Vale memanfaatkan perusahaan cangkang untuk mengklaim saham publik. 

“Bahkan terindikasi ada dana pensiun PT Sumitomo. Padahal PT Sumitomo sudah memiliki saham yang tercatat di PT Vale. Menurut kami, ini palsu-palsu lah yang 20% publik, karena 80% dimiliki mereka juga dengan baju publik,” ujar Bambang di rapat kerja dengan Kementerian ESDM pada 5 Juni 2023.

Menanggapi hal itu, Menteri Arifin berencana menemui Otoritas Jasa Keuangan alias OJK. Dua institusi ini bakal memeriksa komposisi kepemilikan saham publik PT Vale Indonesia. 

Tudingan ini ditepis oleh pihak Vale. Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto menjelaskan pembelian saham perusahaan mengikuti aturan dan mekanisme yang berlaku di Bursa Efek Indonesia. Dengan itu manajemen tidak punya kendali atas transaksi di bursa yang merepresentasikan 21% saham publik INCO. 

"Siapapun, selama memenuhi aturan yang berlaku, bisa bertransaksi baik menjual atau membeli saham di bursa efek. Itu ditentukan mekanisme pasar," kata Bernardus, kepada Katadata.co.id, Selasa (6/6).

Vale Indonesia-Divestiture (ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad)

Meningkatkan Dividen Negara

Terlepas dari segala polemik Vale–pemerintah, Ferdy menyebut divestasi Vale akan menguntungkan kedua belah pihak. Seiring dengan turunnya porsi saham Vale, maka konsolidasi keuangan pun akan terbagi dengan pemilik saham lainnya.

“Tapi secara proporsional, beban investasi juga akan dibagi dengan MIND ID,” ucap Ferdy. “Dari segi keuntungan, tidak rugi juga karena beban investasinya akan dibagi. Angka keuntungan mungkin turun, tapi beban investasi juga turun.”

Keuntungan tersebut, menurut Ferdy, tidak bisa diterima mentah-mentah. Ia melihat salah satu divestasi yang sukses, Freeport. Namun, MIND ID cenderung pasif menerima dividen saja. Padahal dari divestasi itu, Ferdy menilai MIND ID bisa memperoleh pengetahuan baru yang meningkatkan kinerja BUMN tersebut. 

Di sisi lain pengamat pertambangan dari Sulawesi Tengah, Arianto Sangadji, menyatakan akuisisi MIND ID atas Vale bisa memberi keuntungan dividen bagi negara. Keuntungan lain juga bisa datang dari royalti atu sewa tanah.

“BUMN sudah selayaknya menguasai modal dan proses pembuatan nickel matte setelah Vale beroperasi puluhan tahun,” katanya pada Juni lalu. 

Reporter: Amelia Yesidora