- Sistem kerja hibrid belum cukup efektif untuk menangani persoalan polusi udara di Jabodetabek.
- Pemerintah Cina berhasil mengatasi polusi udara dengan membatasi kendaraan berbahan bakar fosil dan membatasi penggunaan batu bara.
- Perlu dukungan pembiayaan jumbo untuk mengurangi penggunaan batu bara di level rumah tangga dan industri serta berinovasi menggunakan energi bersih.
Sudah dua pekan para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjalankan sistem kerja dari rumah (WFH) demi mengurangi polusi udara. Jumlah aparatur sipil negara di DKI Jakarta yang dikenai WFH pun ditingkatkan per September, dari 50% menjadi 75%.
WFH menjadi salah satu ikhtiar pemerintah untuk mengatasi persoalan polusi udara yang dianggap berasal dari sumber bergerak atau kendaraan. Ini dibuktikan dengan terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pada Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Salah satunya berisi arahan untuk WFH 50% bagi ASN, karyawan perusahaan pelat merah (BUMN) dan daerah (BUMD).
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal ZA mengatakan instruksi ini merupakan tindak lanjut atas rapat terbatas yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada 14 Agustus lalu. "Selain menginstruksikan pegawai pemerintah untuk menerapkan sistem kerja hibrid, pemda di wilayah Jabodetabek juga didorong untuk bekerja sama dengan swasta dan dunia usaha agar juga dapat melakukan penerapan WFH dan WFO," kata dia, saat dihubungi Rabu (23/8).
Dalam beleid tersebut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan sejumlah arahan selain WFH, antara lain pembatasan kendaraan bermotor, peningkatan pelayanan transportasi publik, pengetatan uji emisi, optimalisasi penggunaan masker, dan pengendalian emisi lingkungan.
Tak Cukup WFH untuk Atasi Polusi Jakarta
Pada 31 Agustus lalu, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, tiga dari lima stasiun menunjukkan kualitas udara berada di kategori tidak sehat dengan parameter kritis dominan PM2,5.
Di saat bersamaan, Jakarta dikelilingi daerah-daerah dengan nilai ISPU di kategori tidak sehat seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Kota dan Kabupaten Bogor, Bekasi hingga Kabupaten Karawang. Yang menjadi parameter kritis umumnya sama, yaitu PM2,5.
Tak jauh berbeda dari ISPU KLHK, data IQAir hari yang sama menunjukkan kualitas udara Jakarta berada dalam kategori tidak sehat dengan indeks 174. Polutan utamanya adalah PM2,5 dengan konsentrasi 100,7 µg/m&³3; (mikrogram per meter kubik). Adapun kontributor data IQAir berasal dari 28 stasiun yang di antaranya dioperasikan oleh KLHK dan BMKG.
Menurut IQAir konsentrasi PM2,5 tersebut 20,1 kali di ambang batas aman yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dalam ISPU milik KLHK disebutkan jika nilai ISPU ada di kategori tidak sehat, tingkat kualitas udara itu bersifat merugikan manusia, hewan dan tumbuhan.
Menurut Yobel Novian Putra, Climate Policy Officer Global Alliance for Asia Pacific (GAIA) Global, pemerintah perlu berinvestasi besar jika ingin masyarakat berpindah ke transportasi publik untuk mengatasi polusi dari sumber bergerak. "Saat ini, meminta masyarakat berpindah ke transportasi publik saja belum cukup," kata dia.
Ia mengatakan harus ada jaminan ketersediaan transportasi publik terintegrasi yang cukup jumlahnya dan layak. Selain itu, harus ada ketegasan untuk menghentikan sumber polusinya seperti pensiun dini PLTU batu bara.
Setelah berkali-kali menyatakan pembangkit listrik tenaga uap dan industri bukanlah penyebab polusi udara di Jakarta, KLHK akhirnya menyatakan keduanya sebagai salah satu penyebab polusi. Tak berhenti di situ KLHK juga menjatuhkan sanksi terhadap 11 industri yang menjadi biang keladi pencemaran udara Jakarta.
Yuyun Ismawati Drwiega, Co-founder dan Senior Advisor The Nexus Foundation for Environmental Health and Development berpendapat, polusi udara tak hanya dihasilkan dari sumber bergerak. "Polusi udara itu disebabkan dari sumber bergerak dan tidak bergerak," kata dia.
Sebab itu, pemerintah harus benar-benar membangun transparansi data untuk menyisir sumber-sumbernya. Dari situ, kata dia, barulah pemerintah bisa mengambil langkah yang benar-benar tepat untuk mengatasi akar polusi udara.
Menurut Yuyun, Indonesia bisa mencontoh sistem transparansi data emisi dan kualitas udara milik Eropa. Ia mengingatkan pemerintah untuk benar-benar serius mengatasi polusi udara yang terbukti berdampak buruk terhadap kualitas kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
"Harus ingat setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ini tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1," kata dia.
Belajar dari Sampai ke Negeri Cina
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengusulkan agar Indonesia meniru Cina dalam mengatasi persoalan polusi udara. Jika negara-negara lain memerlukan waktu hingga 20 tahun, Cina hanya memerlukan waktu selama tujuh tahun. "Dia mengejar agar Olimpiade Beijing tidak di-bully oleh dunia internasional karena polusi udara," kata dia, Rabu (30/8).
Ia menyebutkan lima hal yang dilakukan Tiongkok untuk menurunkan polusinya, yaitu pengendalian emisi industri, pengendalian emisi kendaraan bermotor, pengendalian debu, pemantauan kualitas udara, dan penurunan risiko serta dampak kesehatan.
Selain itu, Negeri Panda dapat melakukan intervensi kebijakan dengan tepat berkat pemasangan seribu alat monitor kualitas udara. "Ketika terdeteksi jelek, dia kirim mobil yang bisa ngecek sumbernya dari mana, apakah dari PLTU, pembakaran sampah atau transportasi," kata dia.
Menurut Yuyun Ismawati Drwiega, Co-founder dan Senior Advisor Nexus3 Foundation, yang paling signifikan dari upaya Cina adalah pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil dan pembakaran batu bara, baik untuk pembangkitan tenaga listrik maupun untuk industri.
Mengutip laporan dari Time Magazine, upaya Cina selama tujuh tahun melalui pembatasan itu terbukti setara dengan upaya Amerika Serikat selama tiga dekade. Selain itu, menurut riset University of Chicago’s Energy Policy Institute, jumlah partikel berbahaya seperti PM2,5 dan PM10 menurun sebanyak 40% dari 2013 ke 2020.
Tanpa adanya penurunan polusi udara dari Cina, menurut Professor Michael Greenstone, pemimpin riset yang dilakukan University of Chicago, dunia saat ini berperang melawan polusi udara jauh lebih keras daripada dulu. Mengingat, kata dia, kualitas udara dunia memburuk dengan kontributor utama negara-negara di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Tengah.
Ia menyebutkan Indonesia, India, Pakistan, Kamboja, Thailand sebagai negara penyumbang perburukan kualitas udara di dunia. "Beban kesehatan akibat polusi udara di Asia Selatan dan Asia Tenggara sungguh mencengangkan," kata Greenstone melalui surat elektronik.
Jor-joran Ala Tiongkok
Untuk menangani polusi di negaranya, pada 2013 pemerintah Cina mengucurkan dana sebesar US$ 277 miliar. Pada 2020, Beijing menginvestasikan US$ 360 miliar untuk energi bersih seperti solar, angin dan air, yang diklaim menciptakan 13 juta lapangan kerja baru dalam prosesnya.
Total seluruh dana yang dihabiskan Beijing dalam mengatasi polusi udara sebesar US$ 817 miliar. Ini setara Rp 12.450 triliun dengan kurs sekitar Rp 15.230 per dolar AS.
Di luar itu, sebanyak US$ 500 juta pinjaman lunak mengalir dari Bank Dunia untuk membiayai program 'Pembiayaan Inovatif untuk Pengendalian Udara Jing-Jin-Ji', pada Maret 2016. Selain itu, pemerintah Cina juga menunjuk Bank Hua Xia sebagai bank komersial yang menjadi sumber pinjaman untuk membiayai skema-skema terkait dengan peningkatan kualitas udara.
Cara ini ditempuh oleh Pemerintah Cina untuk meningkatkan partisipasi dunia usaha atau industri, terutama yang berada di segitiga Jing-Jin-Ji. Jing-Jin-Ji merujuk pada tiga wilayah ekonomi utama di Cina yaitu Beijing-Tianjin-Hebei.
Ketiga wilayah ini tercatat memiliki konsentrasi PM2,5 rata-rata sebesar 93 µg/m&³3; pada 2014. Jauh melebihi rata-rata standar WHO saat itu sebesar 10 µg/m&³3;, yang kemudian diperbarui pada 2021 sebesar 5 µg/m&³3;.
Tiga wilayah ini merupakan pengkonsumsi utama batu bara dengan jumlah konsumsi rata-rata 1,8 miliar ton per tahun. Adapun total konsumsi batu bara di Cina sampai 2014 adalah sebesar empat miliar ton per tahun. Sebesar 66% energi di Cina dihasilkan dari batu bara saat itu.
Langkah awal yang ditempuh oleh Cina untuk mengatasi persoalan udara adalah dengan mengadopsi Environmental Air Quality Standard yang memiliki nilai baku mutu lebih ketat. Baku mutu ini termaktub pula dalam rencana aksi mitigasi terpadu yang dikeluarkan pada 2013.
Dengan rencana aksi yang jelas disertai dukungan pembiayaan, termasuk untuk swasta, pemerintah Cina dapat mematikan empat PLTU terbesar di Beijing pada Juli 2014 dan membatalkan pembangunan 103 PLTU baru.
Melalui pembiayaan itu, The Wangping Power Company, perusahaan batu bara terbesar di wilayah Datong mengembangkan inovasi yang memanfaatkan limbah panas dari produksi listrik. Dua unit heat recovery dan pipa panas sepanjang 21 kilometer ke arah Huairen dipasang untuk memasok pemanas bagi bagi perumahan.
Dengan cara ini, perusahaan dapat mematikan 10 boiler batu bara kecil yang selama ini digunakan untuk memproduksi pemanas bagi perumahan. Inovasi ini diklaim mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 420 ribu ton, lebih dari 6.330 ton nitrogen oksida, dan sulfur dioksida (SO2) sebesar 13.100 ton setiap tahun.
Sedangkan di Shandong, produsen makanan terbesar Qingyuan Food Company mematikan 35 boiler batu bara. Perusahaan itu menggunakan pembiayaan untuk berinovasi dalam co-generation. Co-generation ini memungkinkan produksi listrik dan panas dapat dilakukan bersamaan.
Dengan inovasi tersebut, generator dapat menyediakan pemanas bagi 300 ribu rumah tangga dan 160 perusahaan kecil di bagian utara Shandong. Selain itu, dengan adanya baku mutu udara dan lingkungan yang ditingkatkan oleh pemerintah, perusahaan tersebut harus berinovasi pula untuk menyesuaikan dengan baku mutu itu.
Qingyuan lantas memanfaatkan pendanaan dari pemerintah untuk mengembangkan teknologi ESP (electrostatic precipitator) basah. Dalam wawancara dengan Time Magazine, Zhu Zhenhua, General Manager Pembangkit Listrik dan Panas Qingyuan mengatakan perusahaannya mengalami peningkatan desulfurisasi dan denitrifikasi untuk empat boiler yang mereka pertahankan.
Mereka mengklaim berhasil menghilangkan partikel debu sisa produksi yang berkontribusi terhadap polusi udara, dengan efisiensi hingga 95%. "Kami telah memenuhi standar emisi ultra-rendah tertinggi di Provinsi Shandong," kata dia.
Pemakaian Energi Bersih
Dengan membatasi penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, Cina mendorong masyarakatnya untuk beralih ke kendaraan listrik. Untuk memenuhi kebutuhan peralihan tersebut, Cina membuat jalan raya tenaga surya pertama di dunia dan memasang panel photovoltaic di ruang terbuka di sepanjang jalan raya Jinan, Ibu Kota Shandong.
Panel yang mengonversi radiasi matahari menjadi energi listrik ini dipasang juga di dekat pintu masuk terowongan, di atas pintu tol, hampir di setiap tempat yang memungkinkan. Pada 2018, sebanyak 10 ribu panel photovoltaic dipasang di jakan raya sejauh 1 kilometer.
Pemasangan panel ini menguntungkan pemilik kendaraan listrik yang melintasi jalan rata tersebut karena dapat mengisi daya kendaraannya secara nirkabel. Selain itu, panel ini dapat digunakan untuk mencairkan salju sehingga pengendara dapat melintasi jalan raya tersebut dengan aman.
Cina juga menjadi lebih ambisius dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia pada 2019. Panel-panel tersebut dipasang di area gurun Provinsi Qinghai yang terhubung ke saluran listrik bertegangan sangat tinggi yang menghubungkan ke daerah berpenduduk padat di timur.
Namun, pemerintah Cina kembali meningkatkan konsumsi batu bara dan meneruskan pembangunan sejumlah PLTU baru setelah polusi udara teratasi. Pada 2022, kualitas udara Cina berada di posisi 25 terburuk di dunia dengan Beijing sebagai daerah dengan kualitas udara terburuk di Cina.