- Pemerintah didesak untuk mengutamakan transparansi data dan informasi.
- Perlu dibangun Daftar Lepasan dan Perpindahan Polutan yang lebih komprehensif.
- Ada polutan lain yang berbahaya dari polusi udara yang jarang dibicarakan.
Belum selesai menangani polusi udara di Jabodetabek, Indonesia diadang persoalan sama di sebagian Kalimantan dan sebagian Sumatera. Penanganan polusi udara di Indonesia masih terus dibahas. Berdasarkan data IQAir pada Rabu (6/9), kualitas uda Ibu Kota berada di kategori tidak sehat dan menduduki peringkat tiga dunia sebagai kota terpolusi dunia.
Kota-kota satelit di sekitar Jakarta, seperti Depok, Tangerang Selatan, Tangerang dan Serang, juga masuk dalam kategori tidak sehat. Masuk dalam kategori yang sama adalah Indralaya, Sumatera Selatan; Palangkaraya, Kalimantan Tengah; dan Mempawah, Kalimantan Barat.
Perbedaannya, sejumlah titik api muncul di area Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara.
Menurut Indeks Standar Pencemar Udara milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada sejumlah stasiun di sekitar Jabodetabek yang menunjukkan kualitas udara pada Rabu lalu tidak sehat. Yaitu stasiun pemantau Sumur Batu, Bantar Gebang, Lubang Buaya, Tangerang Selatan BSD, Tangerang Pasir Jaya.
Transparansi Data, Kunci Penanganan Polusi Udara
Yuyun Ismawati Drwiega, Co-founder dan Senior Advisor The Nexus Foundation for Environmental Health and Development, mendorong pemerintah untuk membuka data-data terkait dengan emisi dan sumber pencemar secara terbuka. "Baik dari sumber bergerak maupun dari sumber tak bergerak," kata dia.
Ia mengatakan dengan adanya transparansi data, penanganan polusi dapat dilakukan secara efektif dan seluruh pihak dapat membantu dengan porsi yang tepat. Dengan adanya transparansi justru akan terjadi pertukaran informasi dan data secara harmonis dan dapat meningkatkan kredibilitas informasi dan data.
"Misalnya, data milik pemerintah berbeda dengan data milik organisasi sipil, bisa duduk bersama untuk saling melengkapi sebetulnya," kata Yuyun.
Ia mengatakan Indonesia bisa meniru cara Eropa yang memiliki Pollutants Release and Transfer Register (PRTR) atau Daftar Lepasan dan Perpindahan Polutan. Melalui PRTR ini, semua pihak dapat mengetahui jumlah emisi dan lepasan polutan dengan senyawa kimia yang dibuang ke lingkungan (air, udara, tanah, dan perpindahannya)
Data-data di Benua Biru itu berasal dari proses aktivitas badan usaha yang dilaporkan ke pemerintah. Daftar inventarisasi emisi dan lepasan ini dibangun berdasarkan informasi senyawa-senyawa tertentu yang sudah ditentukan, sesuai dengan regulasi Uni Eropa.
Di Australia, PRTR ini diimplementasikan sebagai National Pollutant Inventory (NPI). Kanada mengimplementasikannya sebagai National Pollutant Release Inventory (NPRI) dan Amerika Serikat mengimplementasikannya sebagai Toxics Release Inventory (TRI).
KLHK sebetulnya telah memiliki Informasi Geospasial Emisi Sektor Industri. Dalam IGESI, publik dapat melihat persebaran industri, data beban emisi hingga data konsumsi energi.
Informasi geospasial ini merupakan bagian dari Sistem Informasi Pemantauan Emisi Industri Kontinyu (SISPEK). Yaitu sistem yang menerima dan mengelola data hasil pemantauan emisi cerobong industri yang dilakukan dengan pengukuran secara terus menerus atau Continuous Emissions Monitoring System (CEMS).
Terdapat 10 sektor industri yang wajib menaati SISPEK yaitu peleburan besi dan baja, pulp & kertas, rayon, carbon black, migas, pertambangan, pengolahan sampah secara termal, semen, pembangkit listrik tenaga termal, pupuk dan amonium nitrat.
Namun, data yang tersaji tersebut masih dianggap belum cukup. Dalam dashboard misalnya, disebutkan ada 23.683 perusahaan, yang memiliki 30.609 cerobong, dengan beban emisi 490.597 ton per tahun dan konsumsi energi 58.517 GWh.
"Lalu bagaimana dengan pengawasan terhadap cerobongnya? Apakah datanya sudah diverifikasi? Beban emisinya paling besar dari sektor industri yang mana?" tanya Yuyun.
Dalam IGESI, ada empat parameter yang digunakan yaitu nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), partikulat (PM), dan merkuri (Hg). Namun, dalam dashboard baru tersaji data NOx.
Selain parameter yang digunakan masih terbatas, menurut Yuyun, pekerjaan rumah pemerintah masih banyak, antara lain menyesuaikan parameter tersebut dengan berbagai pedoman internasional.
Jelaga dan Debu Halus yang Jarang Dibicarakan
Yuyun mengatakan ada hal yang luput dibicarakan dari pembahasan mengenai polusi udara Jakarta, yaitu black carbon (BC). Padahal, BC banyak ditemukan di dalam polutan PM2,5.
PM2,5 merupakan partikel debu halus yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer/µm) atau sama dengan 2,5 µm.
Yobel Novian Putra, Climate Policy Officer Global Alliance for Asia Pacific (GAIA) Global, menjelaskan BC dihasilkan dari proses pembakaran berbahan bakar fosil dan biomassa yang tidak sempurna. "BC berbeda dengan karbon dioksida (CO2)," kata dia.
Pembakaran yang sempurna akan menghasilkan gas CO2, yang dapat bertahan di atmosfer selama bertahun-tahun, bahkan ribuan tahun. Sedangkan BC yang terbentuk dari pembakaran tidak sempurna dan berupa partikel, hanya akan bertahan selama 4-12 hari.
Meski relatif lebih sebentar, BC merupakan komponen kedua setelah CO2 yang berperan dalam pemanasan global dengan dampak pemanasan yang ditimbulkan 1.500 kali lebih kuat daripada CO2 per unit massa.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh gabungan ilmuwan atmosfer global pada 2013 menunjukkan, BC dapat menyerap energi satu juta kali lebih banyak daripada CO2.
Yobel menjelaskan BC sangat baik dalam menyerap radiasi matahari dalam rentang yang luas. "Energi yang diserap kemudian ditransfer ke atmosfer sebagai panas dan berkontribusi terhadap pemanasan global," kata dia.
Dalam situs The National Aeronautics and Space Administration (NASA) menyebut, BC mampu menyerap radiasi matahari dalam gelombang spektrum yang luas, dari gelombang yang terlihat hingga inframerah. Dengan kemampuan penyerapan yang baik, BC menjadi sangat berkontribusi besar dalam memanaskan atmosfer.
Riset yang diterbitkan di Jurnal of Geophysical Research-Atmospheres itu memperkirakan dampak BC terhadap pemanasan atmosfer sebesar 1,1 watt per meter persegi per tahun. Adapun yang menjadi benchmark--karbon dioksida-- menghasilkan 1,56 watt per meter persegi per tahun.
Sarah J. Doherty, salah satu pakar mengenai studi atmosfer dari University of Washington mengatakan, riset tersebut menunjukkan peran spesifik BC dalam memanaskan bumi berkorelasi dengan penanganan kualitas udara dan lingkungan.
"Mungkin dengan mengendalikan emisi ini kita dapat mencegah perburukan perubahan iklim lebih cepat dibandingkan dengan upaya mengendalikan karbon dioksida," kata dia dikutip dari situs web University of Washington. Katadata.co.id telah berupaya menghubungi Doherty via surat elektronik tapi belum mendapatkan balasan.
Dalam situs web University of Washington, Doherty mengatakan sebelum hasil riset ini dipublikasikan, ada kecenderungan negara-negara di dunia meremehkan emisi BC. "Emisi BC dari pembakaran hutan, ladang pertanian, dan padang rumput serta dari pembakaran terkait energi di Asia Tenggara da Asia Timur cenderung dianggap tak signifikan dampaknya bagi kesehatan maupun bagi pemanasan bumi," kata dia.
Riset itu menunjukkan BC menjadi terdakwa utama bagi percepatan laju pelelehan es di Arktik. Karbon hitam yang mengendap di permukaan salju dan es menggelapkan permukaan yang mengurangi albedo (kemampuan untuk merefleksikan cahaya). "Akibatnya, terjadi peningkatan panas pada permukaan es dan salju yang mempercepat pelelehan," kata dia.
Riset Marc Jacobson dari Standford University dan NASA menunjukkan pengurangan emisi jelaga yang berasal dari pembakaran fosil dan biofuel selama 15 tahun ke depan dapat mengurangi pemanasan Arktik hingga 1,7 derajat Celcius (°C). Sebagai perbandingan, laju pemanasan Arktik selama satu abad terakhir adalah sebesar 2,5°C.
Mengutip dari NASA, kemampuan BC lainnya adalah mempengaruhi karakteristik dan proses-proses di awan. Caranya adalah dengan menyerap panas pada tingkat pembentukan awan sehingga akan menguap dengan cepat dan akan mengubah curah hujan.
Persoalannya, menurut Yobel, meskipun terkait erat dengan polusi udara dan krisis iklim, pencatatan terhadap BC belum dilakukan dengan baik di Indonesia. "Di NDC kita juga belum tercatat," kata dia. Sehingga target penurunan BC belum terpantau dengan baik.
Selain BC, PM2,5 juga mengandung beberapa zat berbahaya seperti asam benzoat, parafin, dan sejumlah zat yang berpotensi menyebabkan karsinogen. "PM2,5 itu seperti transporter yang menjadi tempat menempel BC, sulfat, nitrat, amonia, natrium klorida, karbon hitam, debu mineral dan air," kata dia.
Persoalannya, partikel dalam polusi udara ada pula yang berukuran jauh di bawah 2,5 µm, dikenal dengan nama ultrafine particles (UFPs). UFPs merupakan aerosol dengan ukuran diameter aerodinamis 0,1 µm atau kurang.
Tingkat bahaya partikel super halus ini, menurut Yobel, setingkat di atas PM2,5. "Karena massa dan ukurannya lebih kecil, jadi lebih mudah untuk mencapai daerah paru-paru paling dalam, bahkan menembus jaringan darah," kata dia.
Dalam sebuah riset yang diterbitkan di Nature, Experimental & Molecular Medicine, pada 17 Maret 2020 menyebutkan, efek kesehatan sistemik yang berbahaya dari PM10 atau PM2.5 sering kali justru disebabkan oleh jumlah partikel dari fraksi UFPs yang mendominasi di udara.
Riset itu menjelaskan UFPs menembus tubuh pertama kali melalui hidung kemudian masuk ke dalam sistem pernapasan, gastrointestinal, plasenta, hingga menembus otak, bertranslokasi dalam aliran darah dan mencapai sistem saraf glimfatik dan pusat.
Apabila dibandingkan dengan PM10 dan PM2,5, UFPs lebih mudah untuk didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah.
Dalam diagram dijelaskan, dengan massa yang sama, partikel UFPs jauh lebih banyak dalam hal jumlah dan mampu menguasai area yang lebih luas. Efeknya, kemampuan UFPs untuk menyerap material toksin menjadi lebih tinggi.
Selain itu, apabila PM10 masih dapat disaring oleh saluran pernapasan bagian proksimal, UFPs dapat langsung masuk ke sistem peredaran darah. "Karena itu, lebih berbahaya," kata Yobel.