- PKB memiliki lumbung suara besar di dua wilayah yang tidak dimiliki Anies Baswedan.
- Strategi politik menggaet sosok NU kerap dipakai dalam Pemilu, belum tentu berhasil.
- Hasil survei menujukkan, Ganjar Pranowo unggul di lumbung suara NU.
Hotel Majapahit, Surabaya, riuh pada Sabtu (2/9) lalu. Hotel yang dulunya pernah menjadi saksi perobekan bendera Belanda menjadi bendera Merah Putih, kini menjadi saksi deklarasi bakal calon presiden dan wakil presiden pertama menjelang Pilpres 2024.
“Insya Allah, Gus Imin, kita jalan bersama-sama, kita jalan bergandengan tangan, kita tengok ke depan. Kita tengok bukan hanya karena percaya diri, tapi karena kita yakin bahwa yang kita ikhtiarkan adalah sebuah kebaikan untuk semua,” kata bakal calon presiden Anies Baswedan.
Deklarasi Anies yang menggandeng Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar itu diiringi seruan riuh para hadirin. Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh juga nampak manggut-manggut sembari tersenyum.
“Kita berdiri, memberikan applause untuk mereka berdua!” ujar Surya Paloh.
Hadirin yang memenuhi Hotel Majapahit pun berdiri, bertepuk tangan, dan berteriak, “Amin! Amin! Amin!”. Seruan ini merupakan gabungan nama capres dan cawapres tersebut, Anies dan Muhaimin.
Saling Mengisi Kantong Elektoral
Dosen Komunikasi Politik Universitas Gajah Mada Nyarwi Ahmad menilai langkah Nasdem dan PKB ini adalah manuver politik yang cerdik. Momentumnya cukup tepat, beberapa pekan setelah Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar menyatakan bergabung ke koalisi Prabowo Subianto.
Langkah Surya Paloh dan Cak Imin tidak hanya berpotensi mengguncang blok koalisi pengusung Prabowo. “Tapi juga bisa mengguncang basis dukungan Prabowo dan Ganjar, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah,” katanya pada Katadata, Jumat (1/9).
Prabowo, selaku Ketua Umum Partai Gerindra, beberapa waktu lalu mengumumkan nama koalisi yang mengusungnya, yaitu Koalisi Indonesia Maju. Ada lima partai di dalamnya, yaitu Gerindra, Golkar, PKB, Partai Bulan Bintang, dan PAN. Namun, setelah Cak Imin berpasangan dengan Anies, PKB keluar dari kelompok ini.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan ada dua alasan mengapa Anies menggandeng Cak Imin sebagai wakil presidennya. Pertama, Anies ingin mengambil suara dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang juga adalah basis massa Nadhlatul Ulama (NU) alias Nahdliyin dan PKB.
Pada pemilu 2019, PKB berhasil mendapatkan 13,57 juta suara secara nasional atau sekitar 9,69% suara. Perolehan suara partai berwarna hijau ini juga terus meningkat dari pemilu 2004 hingga 2019.
“Artinya, Cak Imin sukses membesarkan PKB. mungkin ini berpengaruh juga di Pemilu 2024,” kata Ujang. Inilah celah yang ingin dimasuki Anies, yaitu suara akar rumput NU.
PKB, Cak Imin, dan Nahdlatul Ulama memiliki sejarah satu sama lain. PKB didirikan oleh para kyai NU dan Cak Imin selaku Ketua Umum PKB adalah keturunan salah satu kyai tersebut, yaitu KH Bisri Syansuri.
Tidak hanya bersejarah, NU juga tergolong sebagai organisasi masyarakat Islam dengan pengikut terbanyak di Indonesia. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyebutkan anggota NU berjumlah sekitar 150 juta jiwa atau sekitar 59,2% dari total penduduk Muslim Indonesia pada 2022.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada 3-9 Agustus lalu, basis pemilih Anies memang rendah di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Namanya justru kuat di Sumatera dan DKI Jakarta, seperti ditunjukkan grafik berikut:
Nah, PKB memiliki lumbung suara besar di dua wilayah yang tidak dimiliki Anies Baswedan. Riset LSI di periode yang sama menunjukkan partai ini memiliki basis suara di Jawa Timur dengan elektabilitas partai 25,7%, diikuti dengan Jawa Tengah dan Yogyakarta (11,4%) dan Jakarta (7,2%).
“Harapannya, orang-orang NU pemilih PKB itu paling tidak memilih Anies-Cak Imin. Jadi kepentingannya adalah mengisi wilayah yang kurang di sisi Anies,” kata Ujang.
Kendati lumbung suara Cak Imin melengkapi kebutuhan Anies Baswedan, elektabilitasnya dibanding calon wakil presiden lainnya masih rendah. Survei Litbang Kompas mencatat elektabilitasnya dari Januari–Agustus 2023 masih di kisaran 0,2% hingga 0,4%.
Namanya terpaut jauh dari calon wakil presiden lainnya seperti Erick Thohir, Ridwan Kamil, dan Sandiaga Uno. Selain dari sisi elektabilitas, Ujang melihat Cak Imin bisa menyatukan beberapa kelompok Islam yang berada pada sisi oposisi dengan Presiden Jokowi.
“Sepertinya kelompok Islam ini, baik dari kanan dan tengah, ada di kelompok Anies. Dengan adanya Cak Imin, sadar atau tidak sadar, kelompok Islam yang anti-Jokowi ada di situ,” ujar Ujang.
Masih Relevankah Strategi Menggaet NU?
Strategi politik menggaet sosok NU kerap dipakai dalam Pemilu, bahkan wakil presiden Ma’ruf Amin adalah seorang kyai NU. Namun, peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro berpendapat strategi ini tidak bakal berarti apa-apa bagi perolehan elektoral pemilu apabila tidak dipadukan dengan kerja politik.
Ia berkaca dari Pilpres 2004. Ada tiga kader NU yang menjadi kontestan. Mulai dari KH Salahuddin Wahid yang berpasangan dengan Wiranto, KH Hasyim Muzadi yang berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, dan Hamzah Haz dengan cawapresnya Agum Gumelar.
Kala itu, yang keluar sebagai pemenang Pemilu 2004 adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, bukan representasi Nahdlatul Ulama. Karena itu, menurut Bawono, menggandeng figur berlatar belakang NU saja tidak cukup. Langkah ini harus diiringi dengan pendekatan terhadap elite dan warga NU secara struktural dan kultural.
Hal yang juga menarik untuk dinantikan adalah, apakah warga NU atau pemilih PKB bakal otomatis memilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. “Mengingat selama ini Anies Baswedan identik sebagai figur dari kelompok politik Islam konservatif, sedangkan NU dan pemilih PKB dikenal sebagai kelompok islam moderat tradisionalis," ucap Bawono.
Bila merujuk pada survei Litbang Kompas Agustus lalu, partai berwarna hijau ini tidak menjadi pilihan utama bagi kaum NU baik secara nasional atau di wilayah Jawa Timur. Warga Nadhliyin justru paling banyak menjatuhkan pilihan pada PDIP, seperti dirangkum Databoks berikut:
Nama Anies pun bukan pilihan pertama kaum NU, menurut survei tersebut. Ganjar Pranowo dipilih oleh 25,6% responden NU, sengit dengan Prabowo Subianto di angka 25%. Sedangkan Anies bercokol di posisi ketiga dengan elektabilitas 12,8%.
Urutan berbeda muncul bila mengubah sudut pandang dari responden pemilih NU di Jawa Timur. Provinsi ini menjadi salah satu lumbung suara terbesar kalangan NU.
Ganjar Pranowo memimpin suara NU di Jawa Timur dengan porsi 37,1%, sementara Prabowo Subianto di angka 20,8%. Anies mengantongi angka 7,5%.
“Artinya, dari ketiga kelompok pemilih, yakni pemilih secara umum nasional, pemilih berlatar belakang NU secara nasional, dan pemilih berlatar belakang NU di Jawa Timur, pamor Anies masih berada jauh di bawah Ganjar dan Prabowo," kata tim Litbang Kompas dalam laporannya.
Ujang menyebut strategi menggaet tokoh NU ini adalah langkah opsional. Partai politik harus mempertimbangkan elektabilitas dan ketokohan dari kader Nahdliyin ini. Selain cawapres, tokoh NU sebenarnya juga bisa mengisi tim ketua pemenangan dari masing-masing capres.
Berbicara soal NU, Ujang menyebut ada tiga nama tokoh NU yang tengah gencar didekati bakal calon presiden lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Ketiga nama ini adalah Menkopolhukam Mahfud MD, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan Yenny Wahid.
Nama terakhir adalah putri kedua Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Erick Thohir juga, tapi dia itu bukan asli NU, melainkan yang di-NU-kan. Saya kira tiga sekitar nama-nama itu saja,” kata Ujang.