Menguatkan Peran Daerah dan Kolaborasi dalam Restorasi Gambut

Katadata
Ilustrasi. Kolaborasi dalam restorasi gambut
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Dini Pramita
4/12/2023, 10.19 WIB
  • Siak Hijau merupakan contoh inisiatif daerah untuk melakukan konservasi lingkungan termasuk perlindungan dan restorasi gambut.
  • Dalam melakukan restorasi diperlukan inisiatif pemerintah daerah baik provinsi, maupun kabupaten/kota. 
  • Restorasi gambut memerlukan anggaran sebesar Rp 20-25 juta untuk merestorasi satu hektare lahan gambut.

 Sejak 2016, pemerintah Kabupaten Siak, Riau, telah mendeklarasikan Siak Hijau. Upaya ini adalah ikhtiar Pemerintah Siak untuk menjaga kelestarian sumber daya yang dimiliki, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui Siak Hijauk, pemerintahnya berkomitmen untuk menjaga ekosistem gambut.

Program ini diciptakan karena ketergantungan masyarakat Siak yang sangat besar terhadap lahan. Mayoritas pekerjaan utama masyarakat adalah bertani. Di satu sisi, 57% tanah di Siak berupa gambut. Karena itu, dalam Siak Hijau ada berbagai program yang dirancang untuk mengurangi tekanan terhadap lahan gambut yang kerap dilakukan masyarakat dengan membabat habis lahan, terutama mencegah pembukaan lahan baru dengan cara dibakar.

Kebutuhan industri terhadap lahan juga tinggi di Siak. Di kabupaten yang masih kental dengan adat Melayu itu terdapat setidaknya 20 perizinan Hak Guna Usaha (HGU) dan 16 perizinan untuk Hutan Tanaman (IUPHHKHT/ Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman).

Sebab itu, Pemerintah Siak membagi lima zonasi berdasarkan kebutuhan lahan yang berpayung hukum Peraturan Bupati Nomor 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. Kelima zona tersebut adalah Zona Konservasi, Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan, Industri, dan Pemukiman.

Pembagian tersebut juga berdasarkan klaster yang terbagi menjadi klaster industri, konservasi, budi daya dan ekonomi. Menurut Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Siak, Budhi Yuwono, kawasan industri banyak berada di daerah pesisir sedangkan area konservasi menjadi areal yang tak dapat diganggu siapapun.

Ia mengatakan karena hampir sebagian besar wilayah Siak berjenis gambut, setiap klaster memiliki program untuk menjaga gambut, tidak hanya klaster konservasi saja. "Paling tidak, kebasahan lahan terjaga dan lahannya dimanfaatkan sehingga kebakaran hutan bisa dicegah," kata dia.


Dimulai dari Kampung

Kepala BKD Siak, Budhi Yuwono, mengatakan di Siak ada 122 desa yang sudah menerapkan transfer anggaran kabupaten berbasis ekologi yang salah satu indikatornya dilihat dari skor indeks kampung hijau. "Semakin tinggi indeks kampung hijau sebuah desa, semakin banyak anggaran yang mereka terima," kata dia.

Perhitungan indeks kampung hijau itu dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung Siak. Budhi menyebutkan hal-hal yang dapat meningkatkan indeks kampung hijau antara lain peraturan terkait lingkungan, aktivitas masyarakat, hingga komitmen masing-masing penghulu atau kepala desa.

Dalam menghitung indeks, bobot untuk aktivitas lebih kecil ketimbang bobot untuk aturan. "Skornya kira-kira 80%. Bobot aturan lebih besar karena dinilai sebagai komitmen dari penghulu untuk menjadikan desanya lestari,” kata Budhi.

Meski telah memiliki payung hukum dan program yang jelas di bawah Siak Hijau, menurut Budhi, tidak serta merta menyelesaikan seluruh persoalan mengenai gambut dan ekonomi warga Siak. Sampai saat ini, kata dia, belum ada komoditas dengan nilai keekonomian tinggi, tidak mengeringkan gambut, yang menjadi favorit masyarakat.

Ia mengatakan sawit menjadi komoditas masyarakat yang hampir pasti menyebabkan kebakaran karena cenderung mengeringkan lahan gambut. "Kami sedang mencoba porang dan sagu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, tapi terkendala pasar. Masih ditingkatkan bertahap," kata dia.

Dalam Perbup 22/2018 yang menjadi cantolan hukum Siak Hijau disebutkan salah satu sasaran deklarasi Siak Hijau adalah untuk menekan tingkat kerusakan sumber daya alam, khususnya gambut dan DAS Siak. Sasaran lainnya adalah menciptakan keselarasan antara konservasi dengan pertumbuhan ekonomi.

Strategi untuk mencapainya disesuaikan ke dalam masing-masing zonasi. Untuk zona perkebunan dan kehutanan, misalnya, disebutkan peningkatan peran serta masyarakat untuk pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan, di samping mendorong penerapan best management practices dengan pendekatan ISPO/RSPO atau sertifikasi lestari lainnya.

Sedangkan dalam arah kebijakan disebutkan upaya untuk tetap menjaga kawasan lindung gambut dari aktivitas industri. Misalnya, kawasan lindung gambut yang telah diberikan izin namun belum dibuka, dipertahankan sebagai kawasan hutan agar tetap menjaga tata air secara alami. Apabila sudah dilakukan aktivitas pembukaan atau pemanfaatan, ada berbagai macam kewajiban untuk memastikan ada upaya dari pemegang izin memperbaiki kualitas tata air.

Upaya lainnya adalah dengan memfasilitasi perkebunan rakyat untuk mengimplementasikan pengelolaan berkelanjutan melalui sertifikasi ISPO dan RSPO. Pemerintah Siak juga berkomitmen untuk memfasilitasi Perhutanan Sosial bagi desa-desa yang memiliki tujuan pengelolaan selaras dengan Siak Hijau.

Menurut Budhi, keberhasilan pelaksanaan program Siak Hijau tergantung pada komitmen di tingkat tapak alias dari kampung ke kampung. "Karena kami ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan kelestarian dan keberlanjutan," kata dia. '

Meski begitu, rancangan Siak Hijau masih belum sempurna. Ada beberapa masukan dari masyarakat di antaranya keterbukaan informasi ihwal capaian Siak Hijau, rancangan pelibatan seluruh pihak termasuk pemegang izin konsesi yang belum detil dan belum bersifat memaksa, hingga program-program terkait pencegahan karhutla yang dianggap masih belum jelas.


Menagih Komitmen Pemerintah Daerah, Mengejar Komitmen Kolaborasi Lintas Sektor

Sebagai wilayah yang memiliki luas ekosistem gambut mencapai 5.355.374 hektare dengan lahan gambut terluas di Indonesia yaitu 3.565.502,56 hektare, Riau menyimpan poyensi karbon sebesar lebih dari 14.605 juta ton. Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi hijau rendah karbon, Gubernur Riau Syamsuar mencanangkan Riau Hijau dan menerbitkan Peraturan Gubernur Riau Nomor 56 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon.

Program Riau Hijau menggunakan berbagai indikator antara lain Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dan Emisi Gas Rumah Kaca dan peningkatan kualitas restorasi ekosistem, terutama restorasi ekosistem gambut. Salah satu cara yang ditempuh adalah melibatkan masyarakat melalui Perhutanan Sosial.

Pada awal 2023, Syamsuar mengumumkan ada peningkatan jumlah Perhutanan Sosial (PS) yang dibina ke arah restorasi ekosistem sebesar 35%. Selain itu, ia mengklaim vegetasi tutupan lahan meningkat sebesar 8%.

Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengatakan pekerjaan untuk merestorasi gambut di Riau tak akan selesai tanpa kolaborasi antarpihak. Ia menekankan, penanganan gambut yang hanya dikuasai oleh pemerintah daerah juga bukan merupakan hal baik karena dalam satu ekosistem gambut terdapat berbagai kewenangan pihak lain yang berada di luar wewenang pemerintah daerah.

Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 2 tahun 2023 tentang Penugasan Pelaksanaan Kegiatan Restorasi Gambut Tahun Anggaran 2023 ditekankan pelimpahan sebagian urusan kepada gubernur di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut. Salah satu mandatnya adalah bantuan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur pembasahan gambut, bantuan pemeliharaan petak percontohan revegetasi di lahan bekas terbakar dan bantuan operasian pembasahan.

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang merupakan perubahan dari PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pemerintah daerah seperti gubernur, wali kota dan bupati, memiliki andil dalam pengelolaan ekosistem gambut. Andil itu ditunjukkan melalui pembuatan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tingkat provinsi dan tingkat kota atau kabupaten sesuai kewenangannya.

Selain itu, dalam pasal 32A disebutkan pemulihan fungsi ekosistem pada lahan dan hutan gambut pada areal penggunaan lain (APL) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Okto menjelaskan, kewenangan pemerintah daerah tidak sampai pada konsesi yang kerap ditemukan masih melanggar komitmen no deforestation, no peat and no exploitation alias NDPA yang membahayakan ekosistem gambut.

Sebab itu, diperlukan koordinasi para pihak yang bertanggung jawab atas upaya pemulihan gambut sesuai undang-undang, mulai dari KLHK, BRGM, pemilik usaha, hingga masyarakat di tingkat tapak. Di Riau, kata dia, telah terbentuk Tim Restorasi Gambut Daerah alias TRGD.

Menurut evaluasi yang dilakukan Jikalahari pada 2021, TRGD di Jambi dan Sumatera Selatan dianggap lebih kolaboratif ketimbang di Riau. "TRGD di Riau hanya melibatkan unsur pemerintah daerah saja sehingga tidak kolaboratif dan koordinasi dengan para pihak yang terkait untuk menangani gambut kurang lancar," kata dia.

Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero, mengatakan pemerintah daerah juga berperan dalam memelihara infrastruktur pembasahan lahan gambut yang sudah dibangun oleh BRGM. "Tidak semuanya lantas menjadi peran BRGM, ada peran daerah yang harus diperkuat misalnya dalam pembasahan untuk mencegah kebakaran pada saat kemarau panjang," kata dia.

Bambang mengatakan, pemerintah daerah seharusnya dapat belajar dari pola karhutla dari periode sebelumnya yang umumnya mulai terjadi pada Juli. "Sehingga dengan perencanaan yang matang, dengan adanya manajemen KHG yang baik untuk menekan kebakaran, pemerintah daerah pun dapat merencanakan penganggaran untuk kebutuhan pembasahan dalam rangka pencegahan karhutla dengan baik," kata dia.

Menurut Bambang, peran pemerintah daerah dan seluruh pihah terkait di dalam satu kesatuan hidrologi gambut dapat membantu BRGM mengatasi persoalan anggaran yang minim dan keterbatasan kewenangan. "Tidak bisa semuanya dilimpahkan kepada BRGM, masing-masing memiliki anggaran untuk ikut merestorasi gambut," kata dia. 

Kepala Kelompok Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto mengakui adanya keterbatasan penganggaran untuk merestorasi gambut. "Ini adalah a huge task, dengan keterbatasan anggaran dan wewenang, BRGM tidak akan bisa sendiri menyelesaikan restorasi gambut dalam waktu empat tahun. Di satu sisi, kami memerlukan waktu untuk merangkul lebih banyak pihak yang bersifat multi sektor," kata dia. 

Mengutip perhitungan Bank Dunia dan CIFOR, biaya untuk merestorasi satu hektare lahan gambut sekitar Rp 6-36 juta per hektare. Dalam penjelasan di situsnya, Transformasi untuk Keadilan (TuK Indonesia) menghitung untuk merestorasi lahan gambut seluas 400 ribu hektare seperti yang ditargetkan pada 2017, membutuhkan dana sekitar Rp 1,44 triliun, namun saat itu anggaran yang tersedia untuk BRG adalah sebesar Rp 865 miliar yang kemudian dipangkas lagi menjadi Rp 428 miliar. 

Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengatakan hal serupa. Menurut dia, karhutla di Kalimantan Tengah yang menyumbang emisi tertinggi, bukan sebuah hal yang tak dapat diprediksi. "Sudah banyak kajian yang dilakukan akademisi dan organisasi sipil mengenai karhutla, yang dapat dijadikan parameter awal untuk mengidentifikasi area yang rentan mengalami karhutla dan melakukan pencegahan," kata dia.

Tetapi, menurut Bayu, pencegahan berbasis kajian tersebut tidak pernah dilakukan dengan serius oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah. "Pemerintah ini selalu berada di belakang api sehingga lebih fokus pada pengendalian karhutla, nunggu ada api baru ada aktivitas yang dilakukan sehingga ini tidak akan pernah menyelesaikan akar masalahnya," kata dia.

Menurut Bayu, dalam konteks restorasi gambut sebagai pencegah karhutla, semua pihak harus terlibat. Ia memberi contoh KHG Sungai Sebangau-Sungai Kahayan di Kabupaten Pulang Pisau sebagai salah satu ekosistem gambut paling rawan terbakar di Kalimantan Tengah.

Harusnya, kata dia, semua pihak dalam KHG seluruhnya berperan maksimal dan membangun koordinasi yang baik, untuk mengatasi keterbatasan kewenangan masing-masing pihak. "Kita bisa lihat aktornya, ada KLHK yang berwenang di dalam kawasan hutan, ada pemerintah daerah di dalam area penggunaan lain, ada private sector juga, tetapi sayangnya kami melihat belum ada upaya yang terintegrasi dari masing-masing aktor dalam upaya restorasi," kata dia.

Sementara itu, menurut Okto dari Jikalahari, ada keterbatasan BRGM yang dapat ditangani dengan baik melalui kolaborasi dengan KLHK. "Karena sampai saat ini belum ada koneksi antara konsesi dan luar konsesi dalam hal restorasi gambut dalam satu kesatuan hidrologis gambut. Padahal gambut tidak bisa memilih mau di luar atau di dalam konsesi, tapi penanganannya berada di lembaga berbeda," kata dia.

Okto tidak memungkiri ada pengurangan kebakaran hutan dan lahan setelah adanya BRGM, namun jumlahnya tidak signifikan. Oleh sebab itu, kata dia, masih ada waktu bagi BRGM untuk mengoptimalkan kinerjanya hingga 2024. "BRGM didirikan dengan semangat positif, ada badan yang khusus mengurusi gambut. Tapi dari target kuantitas dan fakta di lapangan, itu belum memenuhi target yang disampaikan," kata dia.

Untuk memenuhi target itu, pertama, kata dia, BRGM membuka partisipasi publik mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi. Kedua, mengoptimalkan kinerja TRGD dan seluruh pihak yang berwenang di dalam satu kesatuan ekosistem gambut. "Ketiga, menjadikan masyarakat sebagai garda terdepan restorasi gambut dan mangrove," kata dia.