- Perempuan disabilitas mengalami diskriminasi berlapis, sebagai perempuan maupun penyandang disabilitas itu sendiri.
- Penyedia layanan digital kerap abai terhadap pengguna disabilitas.
- Pemberdayaan ekonomi perempuan bisa dimulai dari desa. Jika mereka kuat dan berdaya, maka desa tidak akan ringkih.
- Forum pengajian dapat menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan mengenai dasar-dasar bisnis dan literasi keuangan.
Rina Prasarani mengenang pertemuannya dengan satu keluarga yang memiliki dua anak tunanetra. Anak yang tertua perempuan, sedangkan adiknya laki-laki. Rina bercerita, orang tua mereka galau ketika harus memutuskan satu di antara kedua anak yang dapat melanjutkan sekolah.
“Karena ibunya nggak bisa melulu mendampingi kedua-duanya,” kata Rina kepada Katadata.co.id di Aula Perpustakaan Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Kamis, 14 Desember 2023. “Akhirnya, mereka memutuskan sang adik yang dapat melanjutkan sekolah.”
Dari pengalaman ini, Rina belajar ketidaksetaraan gender juga menimpa penyandang disabilitas. Ini yang membuat perempuan penyandang disabilitas menerima diskriminasi berlapis. Mereka tidak hanya mendapat diskriminasi sebagai penyandang disabilitas, tetapi juga sebagai perempuan.
Masalah ini menjadi sorotan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Dalam organisasi ini, Rina menjabat sebagai Ketua I Advokasi dan Peningkatan Kesadaran. Rina bergabung saat organisasi ini mulai dibentuk pada 1997.
Rina yang juga penyandang tunanetra, sehari-harinya tidak hanya aktif berorganisasi. Ibu tunggal dua anak ini juga bekerja sebagai staf hotel bintang lima di bilangan Kuningan, Jakarta. Pekerjaannya sebagai staf hotel ini sudah dijalankan sejak 2004. Aktivitas organisasi dia lakukan di luar shift kerjanya di hotel.
Pekerjaannya sebagai staf hotel sempat terancam ketika pandemi Covid-19. Bisnis hospitality dan pariwisata, termasuk perhotelan, adalah yang paling merana tersengat pandemi. Hampir tidak ada tamu hotel yang menginap akibat pembatasan aktivitas sosial. Banyak rekan kerja Rina yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Meski tidak menjadi korban PHK, pandemi memaksa Rina untuk mencari alternatif pendapatan. Di sela-sela kesibukannya, dia menjual makanan dan pakaian lewat media sosial.
Rina bercerita kondisi pandemi menunjukkan pentingnya kemandirian keuangan bagi perempuan, apalagi penyandang disabilitas. Kemandirian ini membuat perempuan disabilitas dapat lebih berdaya.
Persoalannya, kata dia, perempuan disabilitas menghadapi tantangan karena platform digital masih belum ramah disabilitas. Rina pernah mengalami kesulitan mengakses satu platform e-commerce setelah pembaruan aplikasi.
“Waktu itu malamnya baru update aplikasi. Paginya dibuka, nggak bisa dipakai karena belum compatible sama screen reader. Udah tuh hari itu aku nggak bisa belanja,” katanya.
Tunanetra memanfaatkan fitur pembaca layar atau screen reader untuk berinteraksi dengan perangkat digital sehari-harinya. Screen reader akan menjelaskan apa yang tampil di layar untuk pengguna tunanetra.
Pengalaman ini tidak hanya dialami Rina, tetapi juga banyak penyandang disabilitas lain. Menurut Rina, masih banyak penyedia layanan digital, termasuk di sektor keuangan, yang belum menganggap akses disabilitas sebagai sesuatu yang penting. Padahal, seharusnya ini menjadi peluang mereka menggaet pengguna lebih banyak.
HWDI pun memiliki pekerjaan tambahan. Mereka tidak hanya memberdayakan perempuan disabilitas tetapi juga “mengajari” para penyedia layanan keuangan untuk lebih inklusif bagi penyandang disabilitas.
Bekerja sama dengan Women’s World Banking (WWB), HWDI telah memberikan rekomendasi kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar menjadi acuan bagi penyedia jasa keuangan di Indonesia.
Rina mengatakan, pelibatan penyandang disabilitas dalam desain platform keuangan seharusnya dimulai sejak dari perencanaan hingga pengaplikasiannya ke masyarakat. Dia berharap penyedia layanan dapat merekrut penyandang disabilitas agar dapat memastikan akses disabilitas yang lebih baik.
“Mereka memang punya keahlian mendesainnya, tapi kami yang ahli soal disabilitas,” katanya.
Pulang Kampung Memberdayakan Desa
Misbach Isnaifah lahir di Lumajang, Jawa Timur, dalam kondisi keluarga yang serba terbatas. Meski punya mimpi tinggi, dia dinikahkan sebelum lulus SMA. Tidak lama setelah melahirkan anak pertama, suaminya mengajak merantau ke Malaysia menjadi buruh migran. Mereka masuk ke negeri jiran tidak melalui jalur resmi, melainkan sebagai imigran gelap.
Dia bekerja di Malaysia selama dua tahun. Selama itu pula, hidupnya hanya berkutat pada dua hal, sebagai buruh pengaduk semen dan menghindar dari razia polisi.
“Pagi sampai siang bekerja, malam tidak bisa tidur. Terkadang sampai mengungsi ke hutan,” kata Misbach kepada Katadata.co.id, pada Selasa, 19 Desember.
Sepulang dari Malaysia, Misbach menjadi staf advokasi kasus di Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI). Dari pengalamannya sendiri, serta berbagai kasus yang ditanganinya selama di SBMI membuatnya sadar kemandirian ekonomi merupakan sesuatu yang penting.
Ini yang membuatnya mendirikan Gerakan Masyarakat Peduli Lumajang (Gemapalu) setelah keluar dari SBMI. Misbach berpikir meningkatkan kemampuan ekonomi bisa dimulainya dari yang terdekat, yakni kampungnya sendiri.
“Ketika masyarakat desa itu cukup kuat, cerdas, dan secara ekonomi kuat, desa tidak akan ringkih,” kata Misbach.
Lewat Gemapalu, Misbach mulai fokus memberdayakan ekonomi perempuan di Lumajang. Di dusun-dusun, dibentuk kelompok seperti Kelompok Lumbung Perempuan, Kelompok Srikandi, Kelompok Arimbi, yang memiliki spesifikasinya masing-masing.
Arimbi misalnya, fokus pada pemberdayaan pertanian alami. Sedangkan kelompok Srikandi fokus di pemberdayaan kesehatan perempuan. Kelompok-kelompok ini setiap minggu bertemu, menabung beras, menabung kopi, juga menabung uang.
Seiring bertambahnya anggota, kini jumlahnya ada ribuan, Gemapalu kemudian membuat lembaga keuangan mandiri berbentuk koperasi. Kemudian membentuk lembaga pemasaran untuk memenuhi kebutuhan sembako anggotanya hingga membuat layanan berbasis komunitas. Program layanan ini bertujuan menganalisis kebutuhan pelatihan dan pendampingan anggota-anggotanya.
Perempuan Pendorong UMKM Berdaya
Awalnya Griya Lilin adalah usaha rumahan souvenir wahana Eki Puji Lestari menuangkan keterampilannya membuat cendera mata pada 2010. Seiring berjalannya waktu, usahanya berubah fokus memproduksi lilin aromaterapi yang dipoles dalam berbagai model dan kemasan. Pada tahun ini, produk lilin teakwood buatannya berhasil dipasarkan ke Prancis dan Australia.
Namun, perjalanan Griya Lilin tidak begitu saja mulus. Pandemi Covid-19 sempat memaksa Eki memberhentikan sejumlah karyawan lantaran usaha lilinnya padam. Sebelumnya, Eki bahkan bisa memberdayakan tetangga di sekitarnya rumahnya.
Eki memanfaatkan hibernasi selama pandemi untuk mengikuti sejumlah pelatihan. Dia ingin mengasah kemampuan dan pengetahuan dalam berbisnis. Mulai dari inkubasi bisnis hingga mengatur ulang strategi inovasi pascapandemi. Berkat berbagai pelatihan, Eki memutuskan untuk mencoba peluang ekspor.
Berbekal dari hadiah sejumlah lomba yang pernah diikutinya, Eki memulai kembali usaha cendera mata lilin teakwood. Agar pasarnya semakin berkembang, dia menjalin kerja sama dengan perusahaan mebel di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Saya ingin memberdayakan karyawan-karyawan saya yang dulu lagi. Makanya saya mencoba peluang ekspor,” cerita Eki kepada Katadata.co.id, pada Jumat, 15 Desember lalu.
Kepedulian Eki untuk memberdayakan perempuan, dia tunjukkan dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan ke sesama perempuan pelaku UMKM. Dia melakukannya bersama Yayasan Jalatera melalui sistem training of trainers (TOT).
Saat ini Eki aktif sebagai salah satu ketua di kelurahan yang membawahi 50 UMKM. Di sana dia melatih bagaimana cara mengurus usaha; mulai dari mendapatkan perizinan, mengambil foto produk, hingga strategi pengiklanan.
“Karena saya pernah merasakan. Perempuan kalau kekurangan secara ekonomi itu, sangat tidak enak. Makanya saya memberikan motivasi supaya mereka bisa kerja. Perempuan harus punya nilai dan meningkatkan kapasitas,” kata Eki.
Koperasi merupakan salah satu sarana untuk memberdayakan perempuan. Fitriani Sunarto, Sekretaris Eksekutif Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), mengatakan koperasi yang dibentuknya menyasar perempuan di daerah kumuh perkotaan dan perdesaan agar bisa membangun UMKM sendiri.
Di koperasi ini mereka mendapatkan pendampingan, bantuan, dan kredit mikro untuk memulai usaha. “Dengan koperasi, perempuan-perempuan ini juga saling mendukung satu sama lain. Meski jumlah pinjaman dari koperasi tidak besar, ini tetap membantu mereka memulai,” kata Fitriani kepada Katadata.co.id.
PPSW sudah melakukan kegiatan ini sejak 1986. Saat ini, Fitriani mengatakan, PPSW sudah memiliki 26.288 anggota koperasi yang tersebar di 74 koperasi primer.
Sementara, tokoh pendidikan Mien R Uno melihat kewirausahaan lewat UMKM sebagai salah satu solusi sempitnya lapangan pekerjaan. Dia mengupayakan dengan mendirikan Mien R Uno Foundation (MRUF) pada 2000 untuk membantu anak-anak muda, terutama perempuan, yang kesulitan mencari kerja setelah lulus kuliah.
“Melalui wirausaha maka seseorang menjadi lebih berani mengambil risiko, lebih bertanggung jawab, dan berpikir panjang sebelum bertindak,” kata Mien kepada Katadata.co.id, pada Kamis, 14 Desember.
Mien juga percaya kewirausahaan mampu membuat perempuan menghasilkan sesuatu yang dapat meningkatkan perekonomian dan taraf hidupnya. Efeknya pun berganda, seperti lebih mandiri dan lebih berdaya.
Saat ini, MRUF telah memiliki lebih dari 414 binaan yang sebagian besarnya atau 82% berstatus pengusaha. MRUF mencatat para pengusaha yang mengikuti program dapat meningkat pendapatannya hingga lebih dari tiga kali lipat.
Belajar Keuangan Melalui Pengajian
Di Bantul, Yogyakarta, Perkumpulan Rahima mengajak ulama-ulama perempuan untuk memberikan informasi terkait keuangan pada perempuan lewat pengajian.
Khotimatul Husna, salah satu mitra Rahima, menjelaskan perempuan tetap memiliki tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Meskipun dalam Islam nafkah hanya dibebankan kepada laki-laki.
“Saya kira penting untuk perempuan mandiri secara ekonomi, karena kebutuhan keluarga membutuhkan peran dua pihak, suami dan istri,” kata Khotimah kepada Katadata.co.id, Rabu 13 Desember.
Khotim, nama panggilannya, mengatakan literasi keuangan bagi kelompok perempuan di desa-desa seperti di Bantul sangat dibutuhkan. Dia bercerita masih banyak perempuan yang menabung uang dalam rumah atau bahkan dalam bentuk ternak.
Akses teknologi di desa memang masih minim. Jangankan rekening bank, akses ke ponsel pintar juga masih rendah. “Waktu itu dari 55 jamaah, paling yang punya handphone hanya separuhnya,” kata Khotim.
Bersama Rahima, Khotim pun mengajarkan dasar-dasar keuangan mulai dari mencukupi kebutuhan primer, pengelolaan pendapatan yang terbatas, hingga soal tabungan. Pengetahuan ini sekaligus mencegah para perempuan jamaah pengajian Rahima terjebak pinjaman yang melebihi kemampuan.
Tidak hanya itu, Rahima turut mendirikan koperasi simpan pinjam khusus untuk jamaah. Koperasi ini membantu jamaah yang belum punya akses perbankan, atau yang suatu saat butuh uang.
Pinjaman biasanya dipakai untuk modal hajatan, anak masuk sekolah, bayar cicilan, dan sebagainya. “Jumlah pinjamannya memang kecil, tapi setidaknya ini berarti ekonomi desa tetap berputar,” kata Khotim.
Pengalaman serupa juga dijalankan Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Sejak 2000, Aisyiyah melakukan literasi keuangan dan pemberdayaan kelompok perempuan wirausaha kecil.
Aisyiyah aktif terlibat dalam dialog, diskusi, dan kerja sama dalam mendukung literasi dan inklusi keuangan anggotanya. Komitmen tersebut dimulai dengan dibentuknya Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan atau MEK. Utik Bidayati mengetuai majelis ini sejak 2022.
MEK di Pimpinan Pusat Aisyiyah memiliki beberapa divisi seperti Lembaga Keuangan Mikro, Divisi UMKM, Divisi Ketahanan Pangan, hingga Divisi Pekerja Migran dan Rentan. “Majelis Ekonomi sangat dekat dengan perempuan pelaku usaha. Kami intens mengedukasi lewat berbagai produk layanan keuangan,” kata Utik kepada Katadata.co.id, pada Kamis, 21 Desember.
Utik menemukan bahwa di tengah maraknya produk keuangan dan fasilitas lembaga keuangan, masih banyak anggotanya, termasuk perempuan pelaku usaha, yang tidak pernah mendapatkan sosialisasi dan literasi tentang produk-produk tersebut. “Apalagi keuangan digital,” katanya.
Tantangan ini semakin besar ditemukan di daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang memiliki akses internet terbatas.
Menurutnya, tantangan ini bisa diatasi dengan membangun kolaborasi dengan berbagai pihak, dengan lembaga keuangan seperti perbankan, OJK, lembaga nirlaba, dan kementerian-kementerian terkait.
“Kerja sama bisa dilakukan lewat edukasi dan membuat modul yang sesuai dengan kebutuhan akses layanan keuangan,” kata Utik.